Monday, September 22, 2008

Paradoks Demokrasi Popularitas

ANALISIS POLITIK
Selasa, 23 September 2008 | 03:00 WIB

J KRISTIADI

The country has all the ingredients for success:

a stable democracy, a wealth of natural resources

and a large consumer market.

But Indonesia is not keeping pace with Asia's booming economies.

Majalah ”Time” edisi 12 September, 2008)


Kutipan dari artikel Michael Schuman di majalah Time di atas mewakili kegetiran rakyat Indonesia. Bangsa Indonesia memiliki semua persyaratan untuk berhasil: demokrasi yang stabil, kekayaan alam yang melimpah, serta pasar yang besar. Akan tetapi, sayangnya Indonesia tidak melesat sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi Asia.

Justru sebaliknya, rakyat merasakan impitan kemiskinan yang kian menindih. Ada anggota masyarakat yang bertahun-tahun mengonsumsi daging sisa-sisa makanan hotel dan restoran yang dimasak bercampur zat pewarna tekstil. Bahkan, ada anggota masyarakat yang benar-benar secara harfiah mengonsumsi sampah buah dan sayuran di tempat pembuangan kotoran.

Sementara di Senayan, terbetik berita para wakil rakyat selain mengantre disuap, berkubang di tengah hujan duit (cek) bernilai ratusan juta, bahkan mungkin miliaran rupiah.

Tragedi yang sangat menyayat hati ini seharusnya membuka mata hati dan nurani para elite politik agar segera bertobat dan berhenti memburu kenikmatan di atas penderitaan rakyat.

Ungkapan yang menyatakan tidak ada asap tanpa api menjadi semakin valid dengan terbongkarnya skandal dan aib yang selama ini dicoba disembunyikan rapat-rapat. Aroma busuk transaksi politik di Senayan, baik itu dalam bentuk uji kepatutan dan kelayakan, dengar pendapat dengan departemen terkait, maupun proses membuat undang-undang, semakin menyengat baunya.

Harapan untuk meningkatkan kualitas para wakil rakyat pada Pemilu 2009 tampaknya tidak besar. Proses perekrutan politik untuk menentukan kandidat anggota parlemen mulai dari tingkat pusat sampai daerah hanya memperkuat bangunan oligarki dan dinasti politik.

Nilai-nilai luhur yang melekat dalam tatanan demokrasi, terutama asas persamaan warga negara, menjadi porak poranda karena amukan badai nafsu untuk mewujudkan ambisi kekuasaan. Mereka yang mempunyai ”darah biru” baik secara biologis-geneologis maupun hubungan patron-klien, memiliki privilese dan derajat lebih tinggi dibandingkan dengan anggota masyarakat lainnya.

Perekrutan politik dilakukan tanpa prinsip meritokrasi dan sangat kental dengan pertimbangan mediokriti (mediocre). Kursi wakil rakyat akan diisi oleh anak, adik, keponakan, dan kerabat para petinggi parpol, pejabat pemerintah, mulai dari presiden, mantan presiden, menteri, hingga pemimpin lembaga tinggi negara. Mereka akan menentukan nasib negara dan bangsa.

Para petinggi partai juga tidak segan-segan memanfaatkan atau menyalahgunakan kepopuleran seseorang meskipun sangat miskin pengalaman. Upaya lain adalah membuat program pencitraan seseorang agar seakan-akan menjadi humanis, peka terhadap penderitaan rakyat, dan berperilaku manis agar dikenal masyarakat.

Hampir dapat dipastikan proyek pencitraan itu tidak dapat menghasilkan kandidat yang mempunyai komitmen terhadap penderitaan rakyat. Popularitas hanya dijadikan daya tarik palsu untuk mencari simpati rakyat.

Namun, sejalan dengan tingkat perkembangan kesadaran politik masyarakat, sebagian publik tidak mudah lagi terkecoh dengan segala hal yang populer.

Kekalahan beberapa kandidat kepala daerah yang dianggap cukup populer, seperti Helmy Yahya, Qomar, Dicky Chandra, dan Syaiful Djamil, merupakan petunjuk bahwa eforia politik pencitraan yang melekat pada demokrasi prosedural sudah sampai ke titik jenuh.

Gejala tersebut juga mulai menegaskan bahwa sekadar populer tidak selalu berkorelasi dengan elektabilitas. Masyarakat semakin matang. Masyarakat juga tidak mudah lagi takluk dengan intimidasi dan tergiur oleh operasi serangan fajar dengan amunisi sembako atau sejenisnya.

Pengalaman tersebut mudah-mudahan semakin menyadarkan pemimpin partai politik kalaupun mencalonkan seseorang yang populer harus disertai dengan persyaratan lainnya. Misalnya, rekam jejak prestasi dan kepedulian terhadap keprihatinan masyarakat, gigih memperjuangkan nasib kaum yang termarjinalkan, hak-hak perempuan, buruh, dan budaya multikultural.

Oleh sebab itu, partai-partai politik harus melanjutkan kaderisasi yang memihak pada kepentingan rakyat serta pemerintahan yang bersih. Parpol tak bisa lagi sekadar memoles orang tanpa bekal yang memadai.

Ranah politik adalah medan perjuangan yang memerlukan investasi jangka panjang untuk menghasilkan kader-kader yang andal. Ibaratnya seperti menanam pohon jati yang kokoh dan kuat, bukan menanam pohon jagung atau pohon pisang yang hanya beberapa bulan berbuah, tetapi kemudian terus mati.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/23/00161895/paradoks.demokrasi.popularitas


No comments: