Tuesday, January 27, 2009

Esistenze tra i rifiuti: un dramma asiatico

27 Gennaio 2009

SVILUPPO NEGATO

Nell’Asia che vibra di attività e di potenzialità, appannate dall’incertezza di questi tempi di debolezza, ma comunque lontane da indicare un ripiegamento consistente, le carenze nei sistemi sanitari e nella gestione dei rifiuti rappresentano le spine nel fianco delle amministrazioni cittadine. Le immense discariche indonesiane, filippine, indiane, cambogiane, bangladeshi o pachistane mostrano l’altra faccia dello sviluppo continentale, sono cartine di tornasole delle sue potenzialità e delle sue velleità.

Attorno a esse, ma sovente 'su' di esse sciamano centinaia di migliaia di sventurati che, in cambio di una possibilità di vita, seppure stentata e resa precaria da malattie e incidenti, traggono dai rifiuti risorse preziose in un contesto in cui crescono scarti e sprechi, sebbene molto meno dei fondi necessari per la loro gestione. E così, aree di antico o nuovo degrado delle metropoli vedono file interminabili di camion scaricare rifiuti raccolti durate ogni ora del giorno e della notte sotto una cappa pestilenziale che minaccia la salute e la vita stessa delle persone che qui lavorano e spesso vivono. In un ambiente da incubo, spesso aggravato da piogge torrenziali o da un sole implacabile, gli uomini scaricano i mezzi di trasporto, donne e bambini frugano tra il contenuto estraendo con abilità ogni avanzo di metallo, carta, plastica vetro riciclabile per venderlo. Un’umanità 'a perdere', che è sventuratamente spesso considerata "sub-umana".

Anche nei casi, tutt’altro che rari, in cui questa gente non possa definirsi povera in assoluto secondo gli standard locali, essa finisce immancabilmente per ritrovarsi nei livelli più bassi della società, se già da questi non proviene. Nuovi schiavi, nomadi, immigrati, esponenti delle minoranze etniche o religiose, forniscono tradizionalmente la manodopera prima, trasformando le proprie esistenze in vite bruciate nelle discariche o nelle fogne dell’Asia. Ancora una volta, tuttavia, è l’India, forte dei suoi grandi numeri e delle radicate povertà associate a disparità sociali a sfondo religioso, a indicare una via particolare all’ineguaglianza e allo sfruttamento.

Perché qui, nel Paese in cui il Mahatma Gandhi ebbe a dire, nel 1925, che «le fognature sono più importanti dell’indipendenza», a gestire i rifiuti e a consentire alle città di sopravvivere ai propri scarti sono soprattutto i dalit, 'gli esclusi', eredi della divisione castale radicata nell’induismo e soprattutto nella sua interpretazione opportunistica o fanatica da parte di gruppi connessi a interessi economici, politici, di potere. È così che il riciclo manuale dei rifiuti, come pure la pulizia delle latrine o delle strade, attività dure e a volte umilianti, perpetuano una discriminazione antica e senza speranza, che rinnova solo i suoi metodi ma non i suoi protagonisti. Ben 167 milioni di dalit e 84 milioni di tribali (ovvero una popolazione che eguaglia quella combinata di Italia, Germania, Gran Bretagna e Francia) sono accomunati da discriminazione sociale ed emarginazione economica, vittime di sfruttamento e di abusi dei diritti umani, depositari di mestieri attribuiti – con i loro rischi e il loro stigma sociale – per nascita. La gestione manuale dei rifiuti e la costruzione e manutenzione di latrine sono in India proibite per legge, tuttavia continuano ad esistere. Sotto accusa oggi non sono tanto i limiti finanziari e tecnologici alla gestione dei rifiuti e degli scarti della popolazione, quanto la mancanza di possibilità di lavoro e di benessere concrete per un gran numero di persone che rischia quotidianamente la salute in attività indispensabili alle metropoli, ma che della cui vita e della cui morte e malattia nessuno sembra accorgersi.

«Privati dell’onore delle armi e di una proclamazione postuma di martirio, questi soldati sacrificano la vita per consentire alla marea dei liquami di fluire liberamente», scriveva recentemente un editorialista del settimanale indiano Tehelka. «Che cosa succede dei rifiuti organici che provengono dal 18,02 per cento degli indiani che secondo il censimento 2001 dispongono di servizi igienici moderni nelle loro abitazioni? Qual è la sorte dei dalit costretti a ripulire le latrine del resto della popolazione?», si chiedeva ancora il giornale. La risposta può essere drammatica, visto che sono almeno 22mila i dalit di varie sottocaste che muoiono ogni anno lavorando nel ventre delle metropoli indiane. A Hong Kong un lavoratore specializzato nella manutenzione delle fognature abbisogna di 15 diversi brevetti, non così in India.

Delhi si appoggia su un reticolo sotterraneo di 5.600 chilometri di condotte che convogliano ogni giorno 2,8 milioni di litri di liquami. In questo mondo crepuscolare, attraversato da correnti di gas tossici, in tanti hanno perso la vita, soprattutto manovali arruolati dal subappalto che nella infinita disponibilità di dalit e tribali immigrati abitualmente diluisce le già scarse regole. Secondo statistiche ufficiali, in soli 14 dei 24 distretti in cui è diviso il sistema fognario della municipalità di Bombay, nel 2004­2005 sono morti 288 lavoratori. Erano stati 316 nel 2003-2004, vittime delle condizioni di lavoro precarie, di malattie croniche, come la tubercolosi, l’asma o di disfunzioni al fegato e all’intestino, problemi aggravati dalla malnutrizione e dallo stress di una vita sempre al limite. In condizioni di miseria, ai margini della società e senza possibilità di riscatto.

Stefano Vecchia
http://www.avvenire.it/Mondo/Esistenze+tra+i+rifiuti+un+dramma+asiatico.htm

Tuesday, January 20, 2009

Mereka Telah Bersahabat dengan Banjir

Ekspedisi Kompas Ciliwung 2009

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO / Kompas Images
Aktivitas warga bantaran Sungai Ciliwung di kawasan Bukit Duri, Jakarta Selatan, Selasa (20/1). Bagi mereka, setiap musim hujan, banjir bukan lagi sebuah ancaman.


Rabu, 21 Januari 2009 | 03:11 WIB

Oleh M Zaid Wahyudi

Banjir tak selalu identik dengan bencana yang membawa penderitaan. Kejadian yang terus berulang tanpa penyelesaian tuntas dari pemerintah malah melahirkan sikap adaptif untuk berdamai dengan keadaan.

Bagi warga Bukit Duri, Jakarta Selatan, dan Kampung Pulo, Kampung Melayu, Jakarta Timur, banjir bukanlah peristiwa istimewa. Setiap tahun, saat hujan mencapai puncaknya antara Januari dan Februari, mereka sudah mengamankan barang-barang berharga ke tempat yang lebih tinggi.

”Kalau banjir mau datang, silakan saja…. Kami sih tidak kaget, tenang-tenang saja,” kata Hasan (36), warga RT 6 RW 12 Bukit Duri, Selasa (20/1).

Akibatnya, rutinitas sesaat menjelang puncak musim hujan bukan lagi menjadi hal yang melelahkan. Memindahkan aneka perabotan kayu dan alat elektronik ke lantai dua atau menyiapkan makanan instan untuk mengantisipasi jika terisolasi banjir adalah sebagian kegiatan yang harus dilakukan sebelum banjir.

Hal serupa diungkapkan Nanang (30), warga Kampung Pulo, RT 15 RW 02 Kampung Melayu, yang tinggal di bantaran Ciliwung. Saat banjir datang, tak ada yang bisa diperbuat warga untuk mencegahnya. Warga hanya bisa bersiaga agar banjir tak sampai menimbulkan kerugian jiwa dan materi.

Upaya yang dilakukan adalah membangun sistem peringatan dini terkait akan datangnya banjir. Di sejumlah pos RT maupun dinding rumah warga di Bukit Duri dan Kampung Pulo dipasang papan pengumuman tentang ketinggian air di Bendung Katulampa dan Pos Pemantau Air Ciliwung di Depok, yang terus diperbarui dalam rentang waktu tertentu. Para ketua RT di wilayah yang rawan banjir itu umumnya juga dibekali dengan radio komunikasi untuk memudahkan penyebaran informasi tentang ancaman banjir.

Meski demikian, masih banyak warga yang tak peduli dengan banjir saat air bah itu benar-benar melanda perkampungan mereka. Menurut Widodo (29), pemuda yang biasa membantu evakuasi warga, sebagian masyarakat enggan mengungsi meski banjir sudah hampir menenggelamkan seluruh permukiman dan mengisolasi rumah mereka. Padahal, persediaan makanan dan minum mereka belum tentu mencukupi hingga banjir usai.

Selain membangun rumah bertingkat hingga tiga lantai, strategi adaptasi lain dari warga Bukit Duri adalah dengan menempatkan berbagai barang elektronik milik mereka di tempat yang tinggi. Lemari es yang umumnya diletakkan di atas lantai, ditaruh di atas meja setinggi 1 meter di atas lantai.

Lucia Ken Ayu MP dari kelompok pemberdayaan masyarakat Sanggar Ciliwung Merdeka mengakui, sebagian besar warga Bukit Duri dan Kampung Pulo yang tinggal di bantaran Ciliwung adalah warga pendatang ilegal. Mereka umumnya bekerja sebagai pedagang maupun buruh di kawasan niaga Jatinegara. Mereka menggantikan sebagian penduduk asli kedua kampung yang tak tahan dengan bencana yang terus berulang dan memilih pindah ke sejumlah daerah penyangga Jakarta, seperti Bekasi atau Depok.

Upaya masyarakat berdamai dengan banjir memang tak akan mampu mencegah banjir yang terjadi. Beberapa kelompok masyarakat mulai mencoba mengurangi dampak banjir dengan menanam sejumlah tanaman di bantaran sungai yang tersisa atau mengolah sampah masyarakat yang tak tertangani oleh pemerintah.

Lahan ilegal

Sebagian masyarakat yang tinggal di bantaran Ciliwung menyadari bahwa mereka tinggal secara ilegal di lahan terlarang. Namun, untuk mencari alternatif tempat tinggal lain bukan perkara mudah. Warga yang umumnya berprofesi sebagai pedagang itu membangun rumah di Kampung Pulo atau Bukit Duri karena lokasinya berdekatan dengan kawasan niaga Jatinegara.

Menurut Lucia, pembangunan permukiman baru yang mengokupasi daerah aliran sungai marak terjadi sejak tahun 2000. Lebar Ciliwung yang membelah Bukit Duri dan Kampung Pulo yang semula 14 meter kini hanya tersisa 8 meter. Kondisi ini selaras dengan pantauan Ekspedisi Kompas Ciliwung 2009 dari tengah Ciliwung. Selepas jembatan Kampung Melayu hingga Pintu Air Manggarai, terjadi penyempitan sungai secara masif di sejumlah tempat membuat lebar sungai tinggal 8 meter.

Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane Pitoyo Subandrio mengatakan, lebar Ciliwung seharusnya 30 hingga 45 meter plus bantaran sungai 10 hingga 15 meter. ”Banyak pihak yang menyebut warga korban banjir telah bersahabat dengan banjir. Sebenarnya, mereka bukan akrab dengan banjir, tetapi malah sengaja mendatangi banjir,” ujarnya.

Dosen Sosiologi Universitas Indonesia, Paulus Wirutomo, mengungkapkan, kecenderungan masyarakat di bantaran sungai memilih untuk bersahabat dengan banjir menunjukkan kemampuan mereka beradaptasi dengan lingkungan. Segala konsekuensi dari pilihan itu telah mereka terima dan dicoba untuk diatasi.

Warga bantaran sungai yang ilegal dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu tinggal sementara atau tinggal untuk menetap.

Mereka yang tinggal sementara umumnya datang dari kampung halaman ke Jakarta mencari penghidupan dengan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk berbagai keperluan di desa. Mereka yang masuk dalam kategori ini umumnya memiliki kepedulian untuk memperbaiki kualitas hidup dan mengatasi banjir.

”Bagi warga di bantaran sungai, tinggal di atas sejengkal tanah di Jakarta sudah merupakan perjuangan besar. Asalkan bisa tetap punya uang, mereka siap hidup dengan serba minimal. Risiko itu tidak besar karena mereka siap dengan hidup apa adanya,” kata Paulus.

Sementara itu, warga yang berorientasi menetap di bantaran sungai cenderung takut pindah karena tidak ada kepastian hidup setelah pindah. Kondisi itu terjadi akibat ketidakmampuan pemerintah menyediakan hunian layak.

Karena itu, lanjut Paulus, sudah saatnya pemerintah menyiapkan alternatif tempat tinggal yang layak bagi masyarakat.

Pemerintah juga harus tegas dalam menata kota dengan membebaskan permukiman di bantaran sungai agar tata ruang kota tidak semakin hancur.(LKT/WAS/NEL/ELN)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/01/21/03110242/mereka.telah.bersahabat.dengan.banjir