Tuesday, September 2, 2008

Berhimpit di Ruang Sempit

Kependudukan

Apakah Indonesia ini cukup kecil? Tidak! Ini cukup jelas. Apakah di negara kita tidak cukup bahan: kayu dan pasir untuk membangun rumah-rumah? Jika ada jajak pendapat, tentu 100% akan mengatakan: tidak! Namun mengapa banyak saudara-saudara kita berhimpit-himpit di ruang sempit? Di manakah negara, sebagai sebuah "kontrak sosial"? Apakah nasibi-nasib meraka ini masuk dalam agenda penting dalam pembicaraan kita sebagai bangsa? (Ig. Budiono)

Senin, 1 September 2008 | 00:12 WIB
Mohammad Hilmi Faiq

Memasuki permukiman di RT 01 RW 12 Kelurahan Cicadas, Kecamatan Cibeunying Kidul, Kota Bandung, bak memasuki labirin tanpa ujung.

Suatu hari, Rabu (27/8) lalu. Jalan yang rata-rata hanya selebar 1 meter itu berkelok, menurun, dan menanjak. Pejalan kaki yang bersimpangan dengan sepeda motor terpaksa menempelkan badan ke dinding atau pagar jalan agar tak terserempet. Tak jarang sepeda motor harus memutar balik karena jalan di depannya tak cukup lebar untuk dilalui.

”Kita jalan kaki saja biar gampang melihat rumah warga. Nanti saya tunjukkan gang yang hanya bisa dilewati dengan badan miring,” ajak Ketua RT 01 RW 12 Kelurahan Cicadas Satiman (58) kepada Kompas.

Gang yang dimaksud Satiman benar-benar ada. Lebarnya tak lebih dari 40 sentimeter (cm). Di kanan kirinya berdiri bilik bambu atau tembok rumah.

Bau bacin menyergap hidung. Bau ini datang dari salah satu pembuangan air limbah rumah tangga yang ditampung di galian tanah yang dibiarkan terbuka.

Di Kelurahan Cicadas berdampingan dengan Kelurahan Cikutra berdiri rumah-rumah berukuran 12-20 meter persegi Setiap rumah dihuni 6-10 jiwa.

Tengoklah rumah Yoyoh Rokayah (55). Ia tinggal bersama 12 anggota keluarganya di rumah seluas 4 meter x 5 meter. Rumah ini disekat menjadi tiga petak. Satu petak untuk dia dan suaminya, dua petak lain untuk anak, menantu, dan cucunya.

Kondisi serupa terdapat di Kelurahan Cikutra, Cibeunying Kidul. Di kawasan ini, kebanyakan rumah warga berukuran kecil dan terbuat dari papan kayu dan bilik bambu, seperti keluarga Ujang Sujana (48), warga RT 07 RW 06 Kelurahan Cikutra.

Ujang bersama istri dan tujuh anaknya tinggal di sebuah rumah berukuran 3 meter x 5 meter. Dinding rumah terbuat dari triplek dan bambu. Sebagian lain berupa batu bata tetapi itu tembok rumah tetangga. Saat malam, anak-anak Ujang tidur beralas karpet di depan televisi, berhimpitan di ruang sempit.

”Di sini susah air bersih,” kata Ujang yang bekerja sebagai buruh bangunan dengan upah Rp 30.000 per hari ini. Ia berlangganan air pipa Rp 3.000 per jam atau sekitar 200 liter. Air ini keruh kehitaman. Ujang harus menyaring tiga hingga empat kali sebelum memasaknya.

Dalam sebulan, paling hanya 20 hari Ujang bekerja, selebihnya menganggur. Pria yang tak lulus sekolah dasar ini menyekolahkan anak sulungnya, Riska Casanova (18) sampai SMP. ”Riska sekarang bantu-bantu cari uang dengan jadi penyanyi dangdut di acara nikahan atau agustusan. Lumayan, sekali tampil bisa dapat Rp 100.000,” kata Ai Wiyarsih (36), istri Ujang.

Keluarga Ujang merupakan potret tipologi keluarga yang tinggal di daerah Cicadas.

Mereka terjebak dalam kemiskinan karena minimnya akses ekonomi akibat rendahnya pendidikan. Masa depan anak-anak suram karena orangtuanya tak mampu menyekolahkan—sebuah lingkaran setan.

Sebagian besar warga hanya lulus SD dan SMP. Rata-rata mereka bekerja sebagai kuli bangunan, tukang ojek, tukang sayur, buruh pabrik, dan pemulung dengan upah Rp 30.000 sampai Rp 40.000 per hari.

Untuk menutupi kekurangan, mereka berutang kepada rentenir dengan bunga 20 persen per bulan. ”Kalau perut lapar, suami tidak kerja, padahal butuh makan, akhirnya kami ngutang,” kata Halimah (41), warga RT 07 RW 06 Kelurahan Cikutra. Di rumahnya ada 29 penghuni.

Pengetahuan warga tentang reproduksi rupanya minim. Hanya sedikit yang ikut program Keluarga Berencana (KB). Kalau pun ikut, tidak bertahan lama. Contohnya keluarga Ujang. Ketika punya empat anak pada 1998, istrinya ikut KB suntik, inplan, dan pil. Memasuki tahun 2000 semua dihentikan. ”Soalnya istri malah subur dan gampang hamil. Saya sendiri enggak mau pakai kondom,” kata Ujang.

Daerah Cicadas yang meliputi Kelurahan Cicadas dan sebagian Kelurahan Cikutra merupakan daerah terpadat di Indonesia. ”Ada yang bilang, daerah ini terpadat di dunia. Yang terpadat ada di RT 12, 14, dan 15,” kata Sekretaris Lurah Cicadas Cicadas Jajat Supriatna. Beruntung, warganya rukun dan hidup saling menolong. Saat perayaan 17 Agustus lalu, mereka patungan Rp 1.500-Rp 5.000 per keluarga.

Pejabat Wali Kota Bandung Edi Siswadi mengatakan daerah-daerah tersebut menjadi perhatian tersendiri bagi Pemerintah Kota Bandung.

Agar daerah-daerah itu tidak menjadi kawasan kumuh, Pemkot Bandung membangun rumah susun sewa di Jamika dan Cingised yang diproyeksikan menampung 1.000 keluarga. ”Semoga akhir tahun ini bisa ditempati, terutama Cingised,” kata Kepala Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Juniarso Ridwan.

Persoalan papan mungkin bisa teratasi, namun masalah yang dihadapi semua warga Cicadas tak sekadar itu. Mereka harus berebut akses untuk menjalani hidupnya di tengah kepadatan kampungnya. Entah bagaimana dengan masa depan anak cucu mereka...

No comments: