Friday, November 28, 2008

Menolong Bos Yes, Menolong Rakyat No!

Rabu, 19 November 2008 | 14:00 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: "Masak, Bakrie hanya sedikit dibantu satu-dua hari tidak boleh. Tidak ada diskriminasi. Itu terlalu kecil bantuannya kalau hanya minta tolong diawasi jika dibanding yang lain," ujar Wakil Presiden Jusuf Kalla seperti ditulis Koran Tempo, 15 November 2008. Pernyataan itu sekaligus sebuah pengakuan bahwa pemerintah benar-benar telah menolong PT Bumi Resources, salah satu bagian Grup Bakrie, dari kebangkrutan.

Dalih nasionalisme pun dilontarkan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk membenarkan tindakan tersebut. Logika yang dipakai adalah Grup Bakrie merupakan perusahaan nasional, maka wajar dibantu, apalagi korporasi tersebut juga merupakan pembayar pajak di negeri ini. Mungkin Wakil Presiden lupa bahwa bukan kali ini saja pemerintah "menolong" Grup Bakrie. Saat Lapindo, yang merupakan bagian dari Grup Bakrie, mengalami konflik dengan penduduk lokal Sidoarjo akibat semburan lumpur panas, pemerintah juga dengan sigap menolongnya.

Di saat ribuan warga Sidoarjo terusir dari tempat tinggalnya dan hidup dalam kondisi lingkungan yang buruk akibat semburan lumpur Lapindo, pemerintah dengan cepat mereduksi persoalan ganti rugi yang harus ditanggung oleh Lapindo menjadi sekadar jual-beli aset fisik korban. Akibatnya, kerugian warga yang berupa meningkatnya biaya kesehatan akibat semburan lumpur Lapindo tidak masuk hitungan. Padahal fakta di lapangan menunjukkan semburan lumpur panas itu telah berdampak buruk bagi lingkungan hidup dan kesehatan.

Akhir Agustus lalu, beberapa korban lumpur Lapindo mendatangi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk melakukan mediasi dengan Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, yang juga Dewan Pengarah dari Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Dengan disaksikan oleh anggota Komnas HAM dan beberapa wartawan, korban Lapindo mengeluhkan buruknya kondisi lingkungan hidup dan kesehatan setelah semburan lumpur panas muncul di Sidoarjo. Polusi udara dan sulitnya air bersih adalah bagian yang dikeluhkan warga pada saat itu. Menurut penuturan korban Lapindo, beberapa warga, bahkan anak balita, pun telah menjadi korban buruknya kondisi lingkungan hidup di kawasan Porong, Sidoarjo.

Pada saat itu Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto berjanji akan menindaklanjuti keluhan warga korban Lapindo atas buruknya kondisi lingkungan hidup, di antaranya dengan memberikan air bersih. Namun, hingga tulisan ini dibuat, janji itu belum terwujud. Bahkan, dalam sebuah diskusi di Jakarta beberapa waktu yang lalu, salah satu anggota komisioner Komnas HAM, Ridha Saleh, mengatakan hasil mediasi tersebut di lapangan adalah nol besar alias tidak dilaksanakan.

Bayangkan, setelah Lapindo "dibebaskan" dari mengganti rugi dampak buruk lumpur panas bagi lingkungan hidup dan kesehatan, pemerintah pun enggan melaksanakan hasil mediasi dengan korban Lapindo untuk menyediakan air bersih bagi korban Lapindo.

Bukan itu saja kenikmatan yang diperoleh salah satu bagian Grup Bakrie tersebut. Sebelumnya, pemerintah juga, tanpa merasa bersalah, mengambil miliaran rupiah uang rakyat yang ada di APBN untuk ikut merehabilitasi infrastruktur dan kerugian publik lainnya di luar peta dampak yang seharusnya tak menjadi kewajiban pemerintah. Kucuran uang rakyat itu 100 persen gratis karena tidak ada kewajiban bagi Lapindo untuk menggantinya di kemudian hari.

Bahkan, jika dirunut ke belakang, pertolongan pemerintah kepada Lapindo itu telah ada jauh sebelum muncul semburan lumpur. Bagaimana tidak, Peraturan Daerah Mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sidoarjo Tahun 2003-2013 sebenarnya dengan jelas menyatakan bahwa kawasan Porong, khususnya wilayah Siring, Renokenongo, dan Tanggulangin, adalah wilayah permukiman dan budidaya pertanian. Namun, dengan berbagai argumentasi yang seakan-akan ilmiah dan masuk akal, RTRW Kabupaten Sidoarjo itu pun dilanggar. Izin untuk melakukan eksplorasi pertambangan di kawasan padat penduduk pun dikeluarkan. Akibatnya, bukan gas yang keluar, melainkan justru semburan lumpur panas yang muncul. Di saat semburan lumpur semakin besar dan dampak lingkungan semakin luas, dengan tanpa merasa bersalah pemerintah kembali menggelar karpet merah bagi Lapindo.

Dari uraian di atas, dengan jelas terlihat perbedaan perlakuan yang dilakukan pemerintah terhadap Grup Bakrie di satu sisi dan terhadap rakyat jelata di sisi lainnya. Begitu mudahnya tangan pemerintah diulurkan untuk menolong Grup Bakrie, namun begitu sulitnya tangan yang sama terulur untuk menolong rakyatnya yang menjadi korban lumpur Lapindo di Sidoarjo. Padahal korban Lapindo seharusnya lebih pantas mendapat pertolongan daripada sebuah korporasi yang telah bergelimang kekayaan. Kini korban Lapindo masih hidup di pengungsian dan rumah-rumah kontrakan, sementara pemilik korporasi yang ditolong pemerintah itu tetap tinggal dengan nyaman di rumah mewah dengan segala fasilitasnya.

Kebijakan pemerintah yang telah menolong Grup Bakrie untuk kesekian kalinya ini tak lebih merupakan ketidakadilan yang dipertontonkan kepada 200 juta lebih rakyat Indonesia secara telanjang. Sebagai rakyat yang memiliki kedaulatan di negeri ini, tentu kita harus bersikap atas hal itu. Pada Pemilu 2009, pejabat yang menjadi aktor ketidakadilan tersebut sudah saatnya tidak diberi kesempatan lagi memimpin negeri ini. *

Firdaus Cahyadi, pengamat lingkungan hidup, tinggal di Jakarta

http://www.tempointeraktif.com/hg/kolom/2008/11/19/kol,20081119-43,id.html

Thursday, November 6, 2008

Altar di Ladang Rakyat

Jumat, 7 November 2008 | 00:58 WIB

Rikard Bagun

Altar dan mimbar yang selalu diagungkan di tempat yang tinggi telah diturunkan jauh ke bawah, ke ladang rakyat, ke tengah permukiman kumuh perkotaan dan lingkungan petani gurem di banyak negara Amerika Latin. Luar biasa!

Ayat-ayat suci pun dibahas dalam kesederhanaan bahasa rakyat di bawah pohon singkong, jagung, jeruk dan pisang, tidak jauh dari rumpun tomat dan sayur-sayuran sebagai tanaman kehidupan dalam arti sesungguhnya.

Percakapan tentang ayat suci, yang menjadi acuan utama dan pertama neososialisme Amerika Latin, semakin menggairahkan karena bersentuhan langsung dengan tanah sebagai ibu (motherland), ayah (fatherland), rumah (homeland), yang memiliki watak kesucian (holy land), sumber impian (dreamland), sumber nafkah yang sangat menjanjikan (promised land).

Ajaran agama benar-benar dibumikan. Namun, tantangan juga muncul karena tanah menjadi isu sensitif oleh struktur kepemilikan tidak adil seperti fenomen latifundista (kepemilikan tanah di atas 100 hektar), yang menjadi gejala umum di berbagai negara di Amerika Latin. Sekadar ilustrasi, 77 persen lahan Paraguay dikuasai hanya oleh 1 persen dari 6,5 juta penduduk.

Kontras dengan kehidupan para tuan tanah yang eksklusif, petani kecil dan gurem terus menghimpun diri dalam komunitas basis, berbincang tentang nasib dalam perspektif iman.

Tanpa harus menyebut neososialisme, anggota komunitas basis menjalankan prinsip kebersamaan, kepedulian, solidaritas, dan saling membantu, yang dalam budaya Indonesia disebut gotong royong.

Prinsip dasar, yang paralel dengan ajaran agama itu diikat kuat pada komitmen kegiatan harian pribadi dan kelompok pada lingkungan komunitas basis.

Spiritualitas keagamaan ditransformasikan menjadi praxis (refleksi dan praktik) sebagai pergulatan yang bersifat pragmatis untuk melawan kemelaratan dan kemiskinan.

Gerakan perlawanan terhadap kemiskinan dan kemelaratan pun dimulai dengan upaya memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, yang bagi masyarakat pedesaan tidak bisa lain harus melalui usaha menanam.

Pengaruhnya luar biasa. Anggota komunitas basis dapat menghasilkan sesuatu untuk dikonsumsi dan mengonsumsi apa yang dihasilkan. Kemandirian ekonomi pada level elementer pun terbentuk, yang bersinggungan langsung dengan peningkatan kesadaran iman pada kelompok alas rumput.

Orientasi yang begitu kuat pada tindakan, pragmatisme, dan praxis dalam kehidupan beragama di Amerika Latin membuat para agamawan meninggalkan retorika dan khotbah berpanjang-panjang. Ritual keagamaan di rumah-rumah ibadat berlangsung singkat, tetapi kuat menyapa kepentingan masyarakat.

Kecemasan tentang kemurnian ajaran agama tetap dianggap penting, tetapi lebih diperlukan lagi sensitivitas terhadap realitas kehidupan orang miskin dan menderita.

Lama sebelum terpilih menjadi presiden Paraguay tahun 2008 ini, Fernando Lugo pernah menggugat, mengapa kaum agamawan begitu cemas dengan ”rok mini”, tetapi tidak sensitif terhadap kemelaratan dan kemiskinan yang sangat menyiksa lahir batin rakyat.

Altar kurban

Ajaran agama telah menjadi sesuatu yang organik, hidup, dan dinamis dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di banyak negara Amerika Latin, lebih-lebih belakangan ini.

Sudah terlalu lama, bahkan sampai ratusan tahun, ayat-ayat suci cenderung dimanipulasi sebagai retorika yang hanya menimbulkan gaung besar dan keasyikan bagi pemuka agama, tetapi kurang memberi makna bagi kehidupan rakyat banyak.

Arus balik terjadi tahun 1960-an saat kalangan agamawan menyadari betapa makna kehidupan beragama akan terancam, hambar, dan terasing jika masyarakat terus dikepung oleh kemiskinan, kesenjangan sosial, dan ketidakadilan.

Perubahan kesadaran itu tidak datang tiba-tiba, tetapi sebagai antitesis terhadap situasi tertekan yang berlangsung puluhan tahun, bahkan ratusan tahun, sejak zaman kolonial.

Namun, perkembangan itu tidak bisa dibayangkan jika tidak dikelola para agen perubahan yang berada di garis depan gerakan Teologi Pembebasan sejak awal tahun 1970-an.

Teologi Pembebasan antara lain bertujuan menyadarkan masyarakat bagaimana melepaskan diri dari kemiskinan. Namun, gerakan itu sempat menimbulkan kecurigaan di kalangan elite dan penguasa pada era Perang Dingin, lebih-lebih karena gugatan terhadap kesenjangan sosial, ketimpangan ekonomi, dan kemiskinan.

Bahkan, terkenal ucapan Dom Helder Camara dari Brasil, ”Ketika saya memberi makanan kepada orang miskin, saya dianggap orang baik. Tetapi, saat saya mempersoalkan kenapa mereka miskin, saya dituduh komunis.”

Camara dan para agamawan lainnya tergerak turun ke bawah, menyatu dalam pola hidup sederhana dengan masyarakat miskin dan menderita. Sikap pembelaan dan pemihakan terhadap kaum miskin dan terpinggirkan begitu jelas dan nyata.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/07/00582339/altar.di.ladang.rakyat

Tuhan dimuliakan



Mulai dari Sila Keadilan


KOMPAS/WISNU WIDIANTORO / Kompas Images
Pemulung cilik di Banjir Kanal Barat di kawasan Jati Petamburan, Jakarta Pusat, awal September 2008. Jumlah warga yang senasib dengan mereka cukup banyak dan seolah-olah sila keadilan sangat jauh dari lingkungan mereka sehari-hari.

Jumat, 7 November 2008 | 03:00 WIB

Wacana melaksanakan nilai-nilai Pancasila dengan urutan terbalik, mulai dari paling dasar, dari sila Keadilan Sosial, cenderung meluas. Lebih-lebih karena bersifat konkret.

paya menegakkan keadilan, terutama dalam bidang ekonomi, merupakan langkah nyata bagi pelaksanaan Pancasila. Nilai keadilan tidak hanya menjadi jargon, tetapi kenyataan dalam kehidupan berbangsa.

Selama Pancasila hanya digunakan dan diperalat untuk kepentingan politik dan bahan retorika, maknanya sebagai ideologi akan melorot dan hambar. Jauh lebih penting lagi, bagaimana keinginan itu tidak berhenti pada wacana atau retorika, tetapi benar-benar diikat dalam program aksi yang dapat dirasakan secara langsung oleh seluruh warga masyarakat.

Sekadar perbandingan, neososialisme di Amerika Latin menjadi kuat karena benar-benar dipraktikkan secara nyata untuk menjawab kebutuhan dan kepentingan rakyat banyak. Sebelumnya, neososialisme dicemooh karena hanya menciptakan retorika dan kesadaran palsu yang tidak membawa perubahan apa-apa bagi rakyat, terutama yang terpinggirkan.

Para pemimpin Amerika Latin, seperti Presiden Venezuela Hugo Chavez dan Presiden Paraguay Fernando Lugo, mengagumi ajaran Bung Karno tentang nasionalisme dan sosialisme. Pengalaman Amerika Latin, sejauh bidang dibanding-bandingkan, memperlihatkan bahwa nilai kemanusiaan harus dibangun di atas landasan ekonomi. Dalam kebutuhan ekonomi, seluruh manusia dipertemukan dan dipersatukan. Semua butuh makan.

Prinsip-prinsip Pancasila dikenal luas di Amerika Latin, terutama di kalangan yang mengenal para pendiri bangsa seperti Bung Karno. Namun, sampai sekarang ide-ide yang banyak memberikan inspirasi itu hanya menjadi kunyahan dan omongan.

Persoalan macam ini pernah dialami juga di Amerika Latin. Para pemimpin sangat pandai berbicara tentang kemajuan dan upaya memberantas korupsi dan kemiskinan, tetapi tidak ada perubahan.

Partai-partai juga hanya bicara visi dan misi, tetapi tidak melakukan pekerjaan lapangan. Hanya pandai berkata-kata, tetapi tidak mampu melakukan transformasi ide dan perilaku yang membebaskan rakyat dan bangsa dari keterbelakangan.

Panggilan sejarah telah mendorong para pemuka agama dan politisi di Amerika Latin berubah. Kata-kata dan ungkapan dijadikan kerja. Iman tidak hanya mencari ilmu pengetahuan, fides quarens intellectum, tetapi juga pencari kesejahteraan, bonum commune.

Gotong royong merupakan kata lain untuk solidaritas dalam melakukan pekerjaan. Keberadaan dan keberlangsungan hidup bangsa Indonesia antara lain karena mampu mempertahankan prinsip itu dalam praktik.

Ibarat anak tangga

Wacana untuk melaksanakan Pancasila dalam urutan terbalik, mulai dasar, dari sila Keadilan Sosial, cenderung berkembang luas, lebih-lebih belakangan ini. Argumennya tergolong kuat. Secara visual, ibarat anak tangga, sila kelima terletak paling bawah, yang perlu ditapaki pertama sebelum melangkah ke atas.

Secara sosiologis, keadilan sosial, terutama dalam bidang ekonomi, menjadi tuntutan fundamental. Kesenjangan sosial akan memberi komplikasi rumit bagi berbagai aspek kehidupan lainnya. Jika prinsip keadilan dan kesejahteraan ekonomi terjamin, jalan menuju sila ke-4, ke-3, ke-2 dan ke-1 menjadi lebih kuat dan lebih mantap.

Tidak terbayangkan kehidupan demokrasi yang dijamin oleh sila ke-4 jika kehidupan ekonomi masih morat-marit. Makna dan kualitas demokrasi akan rendah jika tidak diperkuat oleh kesejahteraan ekonomi.

Kehidupan demokrasi dalam situasi ketidakadilan sama sekali hambar. Orang sulit bersikap demokratis dalam situasi kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi.

Tidak mungkin membayangkan sila keempat, Permusyawaratan Rakyat, jika dijalankan dalam perut lapar karena kesenjangan dan kemiskinan. Kualitas demokrasi antara lain ditentukan oleh kadar kemajuan ekonomi.

Proses demokrasi tidak dapat dijalankan dengan tenang dan aman jika perut lapar. Pembangunan ekonomi bersifat membebaskan dari kemiskinan, sekaligus memperkuat kadar demokrasi.

Basis yang kuat dalam bidang ekonomi akan memperkukuh pula penghayatan terhadap sila ketiga, kedua, dan pertama. Kunci masuk ke dalam Pancasila haruslah melalui sila kelima.

Jika pijakan sosial ekonomi kuat sesuai dengan sila ke-5 dan demokrasi kuat sesuai dengan sila ke-4, kegairahan hidup bersama dan persatuan yang ditegaskan dalam sila ke-3 akan menjadi kuat.

Keadilan sosial dan kehidupan yang demokratis akan memperkuat persatuan bangsa. Orang akan saling menghormati dan menghargai sebagai sesama warga masyarakat dalam semangat demokratis.

Jika sila ke-5, ke-4, dan ke-3 dilaksanakan, tangga sila ke-2 akan terlaksana dengan sendirinya. Kemanusiaan akan tercipta dalam keadilan sosial, demokrasi, dan persatuan.

Tidak mungkin kemanusiaan akan dihormati jika tidak ada keadilan sosial, tidak ada demokrasi, dan tidak ada persatuan. Perpecahan atau permusuhan akan membahayakan kemanusiaan.

Jika empat sila itu dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, penghayatan sila Ketuhanan akan semakin kokoh. Rasa ketuhanan akan rendah jika orang terus bergulat dalam kemiskinan, tidak demokratis, tidak menghargai persatuan dan kemanusiaan.

Tuhan dimuliakan

Tuhan harus dimuliakan dalam perut yang kenyang, bukan dalam wajah yang muram oleh kelaparan dan kemiskinan. Luar biasa pikiran dan ide para pendiri bangsa yang telah merumuskan Pancasila dan Pembukaan UUD 1945, yang menunjukkan arah dan orientasi perjuangan.

Namun, dalam perkembangannya, ide-ide besar Pancasila dan Mukadimah UUD 1945 masih sebatas retorika dan jargon yang hanya membentuk kesadaran palsu dan sama sekali tidak menggerakkan tindakan nyata.

Namun, jauh lebih hebat lagi bagaimana mendapatkan makanan itu. Maka, kemandirian dan kedaulatan pangan diperjuangkan. Tidak gampang mengapai semua itu.

Bagi kelompok miskin yang baru berupaya mengapai kemajuan, makan memang sangat penting, tetapi jauh lebih penting bagaimana mengelola rasa lapar.

Persoalan makan dan kelaparan menjadi enteng jika semua orang mengembangkan semangat persaudaraan, persahabatan dan pertolongan, yang mengacu pada spiritualitas keagamaan. (rikard Bagun)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/07/01375167/mulai.dari.sila.keadilan

Terperangah atas Asketisme Lugo


Jumat, 7 November 2008 | 01:37 WIB

Oleh Rikard Bagun

Sebagai tamu khusus, saya dan politisi muda Indonesia, Budiman Sudjatmiko, dapat berkali-kali memasuki rumah kediaman Presiden Paraguay Fernando Lugo di pinggiran Asuncion, ibu kota negara.

etiap kali masuk, kami berdua dibuat terperangah dan tidak habis pikir mengenai kondisi rumah berukuran sekitar 45 meter persegi itu. Citra kesederhanaan tidak hanya terlihat dari luar, tetapi terutama di dalam rumah warisan keluarga Lugo itu.

Sekalipun Lugo sudah terpilih sebagai presiden pada April lalu, kondisi rumahnya tidak berubah juga, sekurang-kurangnya sampai dua hari setelah dilantik tanggal 15 Agustus lalu.

Dengan diantar oleh Martin Bhisu asal Flores, Nusa Tenggara Timur, saya dan Budiman dapat memasuki rumah itu berkali-kali tanpa halangan sedikit pun.

Rasa terkejut bertambah karena Martin, mantan sekretaris pribadi Lugo, terkesan seenaknya mengajak kami berdua melihat- lihat seluruh ruangan, termasuk dapur dan kamar tidur Lugo.

Namun, belakangan baru diketahui, Martin sebagai mantan sekretaris pribadi Lugo sudah menyatu dengan budaya masyarakat Paraguay yang terkenal ramah terhadap tamu dan cenderung memperlakukan tamu sebagai anggota keluarga.

Tidak segan-segan orang Paraguay, pria atau perempuan, mengajak minum yerba mate, teh khas Paraguay, yang diminum bersama secara bergilir dari satu cangkir kayu. Jika sudah kenal, tamu bisa mengajak lihat dapur dan isi kulkas, bahkan tempat tidur.

Kehangatan macam itu juga terasa di rumah kediaman Lugo. Hanya bagi saya dan Budiman dengan latar belakang Indonesia, alangkah mengejutkan kondisi rumah kediaman presiden yang begitu sederhana, jauh dari kemewahan.

Jika di Indonesia, jangankan presiden, pelantikan seorang pejabat tinggi pun sudah memancing banyak orang yang berkepentingan untuk mengulurkan tangan, memberi bantuan, termasuk memperbaiki rumah.

Karangan bunga pun mengalir. Namun, dalam kasus Lugo, hal macam itu praktis tidak terlihat. Citra asketis sangat kuat pada Lugo, yang terefleksi jelas pada rumah kediamannya.

Cat kusam tetap menyelimuti dinding luar dan seluruh ruangan rumah. Sofa sederhana, yang terkesan agak kusam, tetap berada di ruang tamu yang menyatu dengan ruang makan. Terlihat pula sebuah perangkat TV tua.

Ekspresi kesederhanaan itu semakin terasa kuat pada meja makan. Setiap tamu, termasuk kami bertiga dari Indonesia (saya, Budiman, dan Martin), ikut menikmati makanan harian Lugo berupa singkong rebus, nasi putih, daun kol cacah (salad), dan ikan. Jenis makanan sehari-hari rakyat biasa di Paraguay. Tidak ada yang istimewa.

Sementara itu, di dinding ruang tamu yang kusam tampak tergantung bingkai sederhana berisi surat keputusan komisi pemilu atas kemenangan Lugo dalam pemilihan presiden. Juga terlihat foto pribadi Lugo yang sedang berpidato, yang dibingkai dengan sederhana pula.

Dalam lorong tangga menuju lantai dua terlihat tembok yang kusam terkena tirisan hujan. Potret kesederhanaan itu semakin terlihat pada kamar tidur Lugo yang kecil.

Ketika dilantik menjadi presiden, Lugo terlihat seperti menggunakan baju putih lengan panjang dan celana panjang krem yang sudah biasa dipakainya. Sama sekali tidak memakai seragam lengkap sipil.

Ajak ke istana

Selama menjadi tamu khusus, saya dan Budiman sering terkaget-kaget dengan kiprah Lugo yang terkesan tidak terikat dengan pakem protokoler seorang presiden.

Dua hari sebelum dilantik, Lugo, misalnya, tiba-tiba meminta Martin untuk mengantarnya ke Casa Sentral SVD. Dengan mobil setengah pikap, Lugo bersama kami bertiga dari Indonesia pergi di tengah larut malam ke Casa Sentral SVD di pinggiran Asuncion.

Dua hari setelah dilantik, Lugo tiba-tiba juga mengajak kami bertiga menaiki mobil yang dikemudikannya sendiri ke Istana Kepresidenan. Namun, ajakan itu batal karena kami menggunakan kendaraan lain agar leluasa bisa meninggalkan Kantor Kepresidenan. Akan tetapi, Lugo meminta agar kendaraan kami mengambil posisi langsung di belakang kendaraannya menuju istana.

Sesampai di Istana Kepresidenan, kami bertiga diajak Lugo untuk ikut melihat seluruh ruang kerja, termasuk ruang sidang kabinet dan kamar istirahat yang dilengkapi kasur.

Selama hari pertama mengantor itu, kami bertiga dipersilakan duduk sambil minum kopi dan teh di ruang kerjanya. Secara langsung kami bertiga dapat menyaksikan Presiden Lugo menerima sejumlah anggota kabinet sembari menandatangani sejumlah dekret penting.

Pada hari pertama kerja sebagai presiden itu, Lugo mendapat laporan, anggaran rumah tangga istana hanya tersisa sekitar 20.000 dollar AS untuk kebutuhan empat bulan ke depan. Sebagian dana sudah dihabiskan rezim terdahulu yang terkenal korup.

Sesekali Lugo dan anggota kabinetnya menanyakan situasi terkini Indonesia. Sehari sebelumnya kami bertiga juga diajak mengikuti acara syukuran di San Piedro, tempat Lugo menjadi uskup sebelum terjun ke dunia politik tahun 2006.

Ketika makan pagi, kami menyaksikan bagaimana Lugo bersama Presiden Venezuela Hugo Chavez menyantap makanan rakyat Amerika Latin, seperti ubi kayu, jagung, dan pisang rebus.

Salah satu karakter para pemimpin neososialis Amerika Latin memang kedekatan dengan rakyat. Sosialisme benar-benar dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/07/01373366/terperangah.atas.asketisme.lugo

Bringing God to the side of the poor

A conversation with Roger Friedland

“Making religion an instrument for social justice” is, according to Roger Friedland, who studies the relationship between religious phenomena and the public arena, the profound meaning of Obama’s relationship with faith. “On the one hand, the tradition that Bush follows, that has dominated the discourse of evangelical and fundamentalist communities” says the Professor from Santa Barbara University, “is that sin is located in the individual soul” (most consonant with a celebration of the market with its ethic of individual effort). Obama follows the traditions of the ‘social Gospel’, This is why he believes that the main sources of sin lies within society, in the way it robs individuals of dignity, of the possibility of making righteous choices.”

An interview by Elisabetta Ambrosi.

Obama lays claim to religion’s centrality in the public arena, rejecting all clear distinctions between the public and the private spheres. Do you believe that this position could be described as “post-secular”? Is this in line with Americans’ religious feelings?

Obama as a post-secular American politician? In spite of our strict constitutional separation between church and state, the prohibition against state establishment of religion, religion is and always has occupied a central place in the public sphere, in part because of the very competition and freedom for religious critique that this separation has made possible. More to the point it has never been possible for an American Presidential candidate to be truly secular. Americans believe in God; they believe in heaven and hell, (unlike the Italians, who only believe in hell); they have personal experience of Jesus. More than seventy percent of my countrymen are absolutely certain that God exists and about the same percentage believe that it is essential for a Presidential candidate to likewise believe. So you can see that an atheist cannot get elected President of the United States. At least you have to make the rite moves. Obama is not and cannot be post-secular because we’ve never had a secular electorate.

Is his position perhaps not more authentically religious and able to attract consensus compared to Hilary Clinton’s laicity, albeit favourable to religion?

Unlike Hillary Clinton and like Jimmy Carter, Obama is the real deal and very much like the electorate. Obama carries God in his heart; it is not just an arrow in his quiver of political instruments. The parallels and the differences with President Bush (the second one) are striking. Obama and Bush both found themselves through Jesus. For Bush, it was alcoholism and the prospect of marital and parental failure these portended, that brought him to Jesus who showed him the way. The difference is that Obama found Jesus while working with and for the poor in Chicago’s black South Side. "I learned that my sins could be redeemed,” Obama told the congregation at the United Church of Christ last year, explaining his own salvation experience. “I learned that those things I was too weak to accomplish myself, He would accomplish with me if I placed my trust in Him. And in time, I came to see faith as more than just a comfort to the weary or a hedge against death, but rather as an active, palpable agent in the world and in my own life…. It came about as a choice, and ... kneeling beneath that cross on the South Side, I felt I heard God's Spirit beckoning me. I submitted myself to His will, and dedicated myself to discovering His truth and carrying out His works."

What is the significant difference between Bush and Obama as far as the subject of faith in God is concerned?

The difference between Bush and Obama points to a longstanding division on just how religion has been constituted in America. On the one hand, the tradition that Bush follows is that sin is located in the individual soul, in our weakness, following St. Paul, in our personal rebellion against God. It is this tradition that has dominated the discourse of evangelical and fundamentalist communities. It is this tradition that is most consonant with a celebration of the market with its ethic of individual effort and individual reward. On the other hand, there is the “social gospel” tradition which says that the primary sources of sin are located in the society, in the way it robs individuals of dignity, of the possibility of making righteous choices. Obama comes from this latter tradition. For Obama, being a Christian means fighting for social justice. It is the same tradition that fired the black Baptists who defied the white racists of the South and destroyed segregation. It is, indeed, the same tradition that sent Union soldiers into battle against the southern slave states and ended slavery.

What effect will claiming faith’s centrality in politics, in particular that of the Christian faith, have on other denominations, in particular on the Muslim faith? Will this attitude coexist peacefully with the protection of other denominations?

With a Muslim father and a country which has become increasingly suspicious of Muslims after 911, Obama has to tread carefully in order to get elected. The New Yorker cover showing him in Arab garb, poking fun at the unspeakable undercurrent of fear in our country, sparked a firestorm of controversy. But the basic structure of opinion in America among the followers of different religious faith is one of ecumenicism, of tolerance, of belief that all religions lead to the same God. People are tolerant of other religious traditions. They are less tolerant of those who do not believe. Among the devout, let’s say a Catholic, it is easier to talk to a Protestant, Muslim or a Jew, than it is to talk to somebody who does not believe. What Obama will do, and sincerely, is play on America’s religious cosmopolitanism as a model to think ethically about how we can live together in the world. America is a country with a miserable record in terms of how we treat our poorest citizens. The part of which we can be proud is the ways in which we have absorbed wave after wave of immigration from non-Protestant religious traditions and now non-Christian traditions, in which we all live together with relatively minor frictions. Seeing mobs attack the Roma communities in Italy, I increasingly understand how significant that achievement really is.

Will such a religious president be capable of making secular choices in favour of abortions, gay rights, new families in spite of the fact that the United States is an ethically pluralistic country?
I think what Obama is doing and has done on abortion is recognize that it does not parse easily as a question of citizenship rights, that it is just a matter of a woman having the right to control what happens in her body. He understands it is also a deep moral issue grounded in the definition of the human, of what is a life, of when life begins. Although he later condemned Congress’ passage of a ban on partial-birth abortions, when he had previously served in the Illinois legislature, he refused to vote against those who would ban partial-birth abortions, casting a vote of “present” as opposed to a “no.” (Partial birth abortion is a political term that refers to a late term abortion in which a viable fetus is partially extracted from the mother's stomach and then killed, typically in the second or early third trimester. President Clinton vetoed a bill banning them during his presidency and President Bush finally passed the ban into law in 2003, whose constitutionality was upheld in 2007 by the Supreme Court by just one vote. Thirty six states have bans on partial birth abortions.) I think he is going to work the divide between the personal, ethical-religious side and the institutional, citizenship rights side, in order to try to find a common ground. And most important, as I pointed out above, he is going to work the social gospel side of this, looking at the social conditions that lead to unwanted pregnancies. For a lot of young girls, it is powerlessness vis-à-vis boys that makes them vulnerable to sex without protection; it is the absence of job prospects that makes having a baby something cool to do.

In Obama’s speeches, religion is often a useful rhetorical weapon for emotionally involving the public and creating consensus. Do you believe this is an inappropriate weapon, or does the fact that the speeches made by the candidate for the presidency seem like sermons represent a new means of communication that is more engaging and warmer than Clinton-style intellectualism?

There is no question that religious talk, religious idiom, the insertion of faith, and of moral language is a way to connect with ordinary American people. All Hillary’s technocratic talk about policies doesn’t reach a lot of voters. What reached them was that she endured and maintained her dignity vis a vis a philandering husband, continued to be a good mother. A lot of women I know love her and I mean that literally. They feel her pain, the sexism to which she was subjected by the media. She is one of them. Americans relate to a candidate’s existential condition as much, if not more than, their policy positions. Obama is a guy whose father abandoned him, who nevertheless made it up on his own, who made himself into a successful American, head of the Harvard Law Review, a happily married guy who obviously loves his wife and his children, who reminds us that, given the opportunities, we can make of ourselves something, that we can love and work and be satisfied in life. He represents America’s greatness and we feel it. Religious language in America is not tied to doctrine, to dogma, to theology, but to spirituality, to one’s personal relation to God, to forces beyond us, to a recognition of the limits of our sovereignty as self-contained, autonomous selves who make rational choices like supermen. Religious talk in America is powerful because it taps and produces humility. That’s what Obama has going for him.

In one of his most famous essays, linguist George Lakoff wrote using the image of the “nourishing mother” for the Left and that of an "authoritarian father" for the Right. Where do you think Obama stands within this framework?

I don’t know about this momma-papa divide. Obama does fuse the promise to take care and the demand that we take responsibility. Obama was raised by women. The Reverend Wright was a kind of father-substitute, the man who shepherded him into adulthood, which is why it was so painful to have to repudiate him. Obama had the courage to speak to the black community and call its men to account this last Father’s Day, to say that too many men have gone missing, abandoning their children, just as he was abandoned. That took guts. Jessie Jackson was outraged. Not suspecting that his remarks were picked up by the microphone he said: "See, Barack [has] been talking down to black people . . . I wanna cut his nuts out." Jackson said. Obama has publicly declared that victimhood is not a perpetual possession, that it is time to care and demand personal responsibility in tandem. It is a call to all fathers, not just black ones, to take care. If that’s maternal-paternal, I guess it works.

I think that Obama’s run for Presidency has the potential to transform American politics. Religion is not going to go away. What Obama has the chance of doing is something that President Jimmy Carter, a Baptist, sought to do, to place God back on the side of social justice. This is going to be tough and slow. But there are already signs of movement this way. As of June, 2008, Obama was ahead of McCain among religious voters, by which I mean those who say they are affiliated with other denomination or another. The interesting thing to watch are the evangelical voters. You’ve got to remember that four out of every ten Bush voters last time were evangelicals. If McCain can’t bring them out again, or if he can’t make their loss up with Catholic voters, I don’t think he can win. Indeed, it is likely to be Catholic voters who will decide our future in this country, and hence the world’s future. About a quarter of the evangelicals support Obama now. What is important are the young evangelical voters who represent the future. They are moving much more rapidly than their parents either into the Obama camp or into the undecided camp. This is extraordinary because McCain is opposed to abortion and Obama is not. That was their big issue in the past. There is still a huge partisan division between those for whom religion is a central pillar in their lives and those for whom it is not. But I think that Obama has a chance of muddying the waters. And that would be a good thing.

20 Oct 2008

http://www.resetdoc.org/EN/Friedland-Ambrosi.php