Saturday, September 13, 2008

Bersabar hingga Tuntas


KOMPAS/AGUS SUSANTO / Kompas Images
Warga memenuhi warung pinggir jalan sembari menikmati buka puasa di depan Masjid Agung Sunda Kelapa, Jakarta Pusat, Kamis (4/9). Lokasi yang berdekatan dengan masjid menjadi pilihan warga untuk berbuka puasa yang dilanjutkan sholat di masjid tersebut.

Minggu, 14 September 2008 | 01:27 WIB

Ninuk M Pambudy & Ilham Khoiri

Di tengah riuhnya ajakan untuk berkonsumsi banyak-banyak seperti ditawarkan iklan di televisi dan tawaran diskon berbagai pusat belanja, Nunung (47) tak punya banyak pilihan kecuali tetap harus hidup hemat.

”Untuk buka dan sahur ya seadanya. Saya tetap harus mikir punya uang untuk modal jual gorengan,” kata Nunung. ”Enggak bisa diambil untuk makan (lebih), nanti modalnya bagaimana. Ini saja sudah seminggu enggak jualan. Anak-anak lagi sakit.”

Ibu tujuh anak, dua di antaranya mandiri, yang tinggal di Kampung Beting, Tanah Merah, Kecamatan Koja, Jakarta Utara, itu pencari nafkah utama keluarga. Nunung berjualan tahu, tempe, dan sukun goreng. Suaminya pensiun dari pabrik minyak dan penglihatannya tak baik meski masih bisa membantu pekerjaan rumah tangga.

Setiap bulan dia harus bayar kontrak kamar Rp 400.000. Meski begitu, Nunung yang datang ke Jakarta dari Semarang 25 tahun lalu itu tidak mengeluh. Dia jalani hidup dengan penuh harapan, juga dalam situasi berat saat ini.

”Kalau punya modal saya ingin bisa jual bolu ketan hitam. Modalnya enggak mahal, sekarang lagi laku dan bikinnya gampang,” tambah Nunung.

Bagi pasangan Wartinah (47) yang berjualan makanan kecil di Ciputat, Tangerang, dan suaminya, Tarmizi (46), satpam di lokasi tak jauh dari tempat Wartinah berdagang, Ramadhan adalah bulan pembawa berkah.

Berkah juga dalam arti suami-istri dengan lima anak yang sebagian putus sekolah SMP itu dapat hidup lebih hemat lagi. Jika hari biasa mereka harus makan tiga kali, saat bulan puasa mereka cukup makan dua kali, saat sahur dan buka.

Penghasilan Wartinah yang Rp 10.000 sehari digabung dengan pendapatan Tarmizi Rp 500.000 sebulan harus disisihkan untuk bayar kamar kontrakan Rp 350.000 sebulan. Dengan sisa sekitar Rp 450.000 sebulan itulah keluarga itu memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Menu makan sahur dan buka puasa nasi, sayur bening, dan lauk seadanya. Kadang ikan asin, kadang tempe, kadang bakwan. ”Kami tak mampu beli makan lebih dari itu,” kata Wartinah.

Belajar sabar

Keluarga Nurhayati (38) dan Asman (40) di Pesanggrahan, Bintaro, Jakarta Selatan, tak jauh berbeda. Sayur labu dengan lauk tahu atau tempe goreng, kadang-kadang telur, jadi teman berbuka, sementara untuk sahur bisa nasi, sayur, dan ikan asin.

Karena mengidap diabetes, Nurhayati tak bisa membantu suaminya menambah penghasilan keluarga. Kehidupan suami-istri dengan tiga anak—dua masih bersekolah di SMP dan SD dan yang terbesar sudah lulus SMK—tergantung dari penghasilan tak tentu Asman sebagai partner main tenis.

”Bulan puasa ini penghasilan bukan cuma turun, tetapi jatuh,” kata Asman. Pasalnya, selama Ramadhan langganannya yang berpuasa ikut puasa main tenis.

Buat mereka puasa artinya benar-benar menahan nafsu. ”Menahan nafsu buat belanja pakaian. Buat saya orang kecil belanja pakaian cuma sekali setahun, waktu Lebaran. Untuk anak-anak harus diadain. Anak yang paling kecil sudah nangis melulu. Katanya sudah puasa 10 hari, sekarang minta baju baru buat Lebaran. Belum tahu bagaimana caranya, paling enggak harus ada untuk yang kecil,” kata Asman yang tinggal sejarak 15 meter di pinggir Kali Pesanggrahan dan selalu yang pertama terkena banjir bila kali itu meluap.

Yang jelas, harga kebutuhan sehari-hari sudah naik begitu puasa menjelang. Sunarti (43), buruh cuci baju di Sukmajaya, Depok, dengan penghasilan sekitar Rp 200.000 sebulan harus hidup superhemat karena harga gas elpiji ukuran 3 kg menjadi Rp 17.000, sementara minyak tanah Rp 10.000 per liter. Padahal, suaminya, Suradi (45), hanya bisa membawa pulang uang Rp 50.000 sebagai buruh bangunan bila sedang ada pekerjaan.

”Yang kelihatan di televisi itu teori doang. Kenyataannya orang kecil kayak saya masak air pakai kayu bakar karena gas mahal,” tambah Asman.

Puasa melatih keluarga-keluarga ini bersabar. Sunarti tidak punya pikiran aneh-aneh, seperti belanja ke mal. ”Yang penting puasa tuntas. Kalau pas Lebaran punya uang ya beli baju baru. Kalau lagi bokek, pakai baju yang sudah ada saja,” kata Sunarti.

Wartinah kadang ingin seperti orang yang bisa belanja ke mal. ”Tetapi, kami kan tidak punya uang, ya nonton saja. Puasa membuat kami menahan nafsu biar tidak iri sama orang yang punya rezeki lebih,” kata dia.

Bersabar seperti menjadi mantra yang harus sering diucapkan orang-orang yang penghasilannya pas-pasan.

Brata (36), tukang parkir di Ciputat, yang terbiasa makan sehari dua kali, merasa puasa memberi sedikit ketenangan karena orang banyak bicara soal sabar. ”Mau bagaimana lagi orang kecil seperti saya ini kalau tidak sabar,” kata dia.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/14/0127424/bersabar.hingga.tuntas

No comments: