Tuesday, September 2, 2008

Lugo, Asa Rakyat Miskin Paraguay

Asa Rakyat Miskin Paraguay

Fernando Armindo Lugo Mendez
Kompas: Rabu, 23 April 2008 | 00:56 WIB

Oleh Pieter P Gero

Kalau hanya mengandalkan penampilan, Fernando Lugo (56) sebenarnya tidak akan terpilih sebagai Presiden Paraguay. Rambut dan jenggot yang mulai beruban. Kacamata berbingkai besi keluaran lama yang jauh dari menarik. Apalagi, mantan Uskup Katolik ini lebih banyak tampil di depan umum hanya mengenakan sandal.

Kenyataannya, 41 persen dari pemilih Paraguay hari Minggu (20/4) memberikan suara bagi Lugo. Sebagian besar dari 2,8 juta pemilih menaruh harapan ada perubahan di Paraguay di pundak Lugo. Perubahan itu adalah keluar dari garis kemiskinan yang menjerat 43 persen dari 6,5 juta penduduk negara itu. Hampir 4 dari 10 penduduk Paraguay miskin.

Para pemilih tidak melihat ada harapan perbaikan dari Partai Colorado, yang sejak tahun 1947 mendapat kepercayaan memimpin Paraguay. Selama 61 tahun kekuasaan itu, selain 43 persen penduduk miskin, angka pengangguran mencapai 13 persen. Ada 300.000 petani tanpa lahan. Jumlah warga buta huruf sangat memprihatinkan.

Sekalipun Lugo berpenampilan sangat sederhana dan jauh dari simpatik, rakyat Paraguay menaruh asa padanya. Padahal, Aliansi Patriotik bagi Perubahan yang merupakan koalisi petani miskin, serikat buruh, dan partai politik tradisional itu baru terbentuk delapan bulan lalu. Lugo juga belum punya pengalaman di pemerintahan.

”Kami merasa baik, kami bahagia bersama rakyat, dengan sikap mereka. Ini adalah rakyat yang akan membangun sebuah demokrasi yang kami, orang Paraguay, kehendaki,” ujar Lugo setelah dinyatakan menang.

Lugo menjadi pelipur lara bagi sebagian besar pemilih Paraguay yang putus asa. Penampilan karismatik dengan kalimat-kalimat pendek menghibur memberikan rasa aman sedikitnya untuk sementara ini.

”Hari ini, Anda semua sudah memutuskan, berbicara melalui pemilu,” ujarnya menegaskan kepada pendukungnya. ”Anda telah memutuskan apa yang harus dilakukan di Paraguay, Anda telah memutuskan untuk membebaskan Paraguay, terima kasih,” ujar Lugo.

Intinya, dengan memilih dirinya, berarti rakyat juga harus konsekuen mendukung apa yang akan dilakukan bagi perubahan di Paraguay. Suatu ungkapan dari Lugo bahwa membalik keadaan tidak seperti pekerjaan mengedipkan mata. Perlu proses, perlu pengorbanan. Harus ada saling pengertian.

Lugo juga buru-buru menegaskan bahwa dia adalah orang bebas. Dia tidak ingin menyebutkan dirinya ”kiri” atau disamakan dengan para pemimpin Amerika Latin lainnya yang kiri radikal seperti Presiden Venezuela Hugo Chavez.

”Chavez berlatar belakang militer. Saya berlatar belakang religius,” ujar Lugo yang baru memerintah setelah 15 Agustus. Sebuah penjelasan untuk memastikan bahwa Paraguay tidak akan radikal sebagaimana negara Amerika Latin lainnya yang langsung memasang sikap anti terhadap negara tertentu.

Kampanye kemiskinan

Bahwa biarawan penganut ”Teologi Pembebasan” ini memberikan harapan, karena sejak awal punya misi mengentaskan kemiskinan. Kemiskinan sudah menjadi bagian dari dirinya. Semasa menjadi uskup tahun 1994 di San Pedro, Lugo berhadapan dengan sebagian besar umatnya yang hidup di bawah garis kemiskinan. Dia langsung mengklaim dirinya sebagai ”Uskup bagi Kaum Miskin”.

Akan tetapi, dengan status uskup, Lugo tidak bisa berbuat banyak dalam mengatasi kemiskinan, selain hanya berdoa dan memberikan dorongan moril. Padahal, kemiskinan hanya bisa diatasi dengan perbuatan nyata, dengan mengatasi penyebab kemiskinan itu.

Januari 2005, Lugo memilih menanggalkan jabatan uskup. ”Saya tidak berdaya membantu rakyat miskin,” ujarnya dengan statusnya itu. Vatikan hanya menangguhkan tugas-tugasnya sebagai seorang pastor, seperti mempersembahkan misa dan memberikan sakramen.

Sejak itu, Lugo mulai aktif berkampanye mengatasi kemiskinan. Dikatakan, korupsi para elite yang berkuasa di Paraguay selama 61 tahun ini telah membenamkan rakyat ke dalam kemiskinan yang akut.

Lugo juga menyebutkan ketidaksetaraan sebagai sumber lain penyebab kemiskinan. Dia mulai menggalang kekuatan untuk melakukan reformasi agraria. Sebagian besar tanah pertanian dan peternakan dikuasai para elite. Kemiskinan bisa dicabut dari petani apabila mereka memiliki lahan sendiri.

Lugo melakukan debut politik Maret 2006 saat dia memimpin aksi protes 40.000 orang atas Presiden Nicanor Duarte. Aksi protes menentang kekuasaan Partai Colorado menuai sukses. Akumulasi suara oposisi terus bertambah dan puncaknya saat menang pada pemilu.

Darah politik Lugo datang dari ayahnya. Lahir dengan nama Fernando Armindo Lugo Méndez pada 30 Mei 1951 di San Pedro del Parana, Lugo berasal dari keluarga yang tidak terlalu religius. Ayahnya jarang ke gereja, tetapi seorang politikus. Pamannya, Epifanio Menes Fleitas, adalah seorang anggota Partai Colorado yang membelot.

Sang ayah menghendaki Lugo kecil menjadi pengacara. Tetapi, pada usia 19 tahun dia masuk seminari dan ditahbiskan menjadi imam Katolik tahun 1977. Dia lantas dikirim ke Ekuador selama lima tahun, di mana dia mempelajari Teologi Pembebasan yang sedang hangat di sana.

Teologi yang mengajarkan bahwa Tuhan itu berpihak kepada orang-orang yang tertindas membuat Lugo bersimpati kepada politik praktis. Kini saatnya Lugo mempratikkannya langsung sebagai Presiden Paraguay.

Wawancara dengan Fernando Lugo
Istana untuk Kaum Miskin

Kompas: Sabtu, 16 Agustus 2008 | 00:22 WIB

Rikard Bagun

Kaki saya sudah berdiri untuk kaum miskin. Tidak mungkin kaki yang sama berdiri untuk dua tempat berbeda. Kalau saya berada di istana kepresidenan, posisi berdiri saya tetap untuk kaum miskin.

Rikard Bagun

Semangat keberpihakan kepada kaum miskin itu antara lain ditegaskan Fernando Lugo Mendez dalam wawancara khusus dengan wartawan Kompas, Kamis (14/8) di Rumah Induk Sociedad del Verbo Divino (SVD) di Asuncion, Paraguay, sehari sebelum pelantikannya menjadi presiden.

Malam sebelumnya mantan uskup itu membuat beberapa orang terperangah. Tidak lama setelah tiba di rumah pribadi milik keluarga di pinggiran Asuncion, Lugo bergegas meminta rekan dekatnya dalam gerakan sosial, Martin Bhisu asal Flores, Nusa Tenggara Timur, yang sudah menunggu lama, untuk cepat-cepat ke Rumah Induk SVD.

Tanpa pengawalan apa pun, Lugo menumpang mobil setengah pick-up, kendaraan operasional Martin Bhisu, menjelang tengah malam itu. Di samping Martin, duduk tokoh muda Indonesia, Budiman Sudjatmiko, sementara Lugo duduk di belakang bersama Kompas dalam perjalanan sekitar 40 menit itu.

Terasa sedikit tegang karena ”nasib” pemimpin yang sedang populer di Amerika Latin itu berada di tangan tiga orang Indonesia. ”Aduh, kalau terjadi apa-apa,” terdengar suara bergumam setengah kecut.

Kamar tidur Lugo di Rumah Induk SVD kebetulan pula berdampingan dengan Martin Bhisu dan kamar Kompas, bahkan berhadapan langsung dengan kamar penginapan Budiman.

Sama sekali tidak terlihat petugas keamanan khusus ketika Lugo berada di Rumah Induk SVD, tempat yang sering diinapinya sekalipun sudah terpilih menjadi presiden, April lalu. Kamarnya sangat sederhana, dengan tempat tidur kayu yang ditutupi busa tipis.

Kesederhanaan Lugo juga terlihat pada rumah kediaman yang dihibahkan keluarganya di pinggiran Asuncion, kota berpenduduk sekitar 600.000 jiwa itu.

Dalam rumah berukuran 70 meter persegi itu tidak terlihat perabot baru. Kursi-kursi serba usang lebih menunjukkan semangat asketik pemiliknya.

Dalam wawancara di Rumah Induk SVD di pinggiran Asuncion, kota indah dan sejuk, Lugo didampingi Martin Bhisu, sekretaris pribadinya saat masih menjadi uskup. Martin yang mengikuti kiprah dan pemikiran Lugo mengatakan bahwa tokoh pergerakan itu mengetahui Pancasila dan ajaran Soekarno, yang antara lain menekankan keadilan sosial dan kedaulatan bangsa yang kini sedang diperjuangkan secara nyata di Paraguay dan kebanyakan negara Amerika Latin.

Sesekali dalam wawancara itu tokoh muda Indonesia, Budiman Sudjatmiko, terlibat dalam pembicaraan dengan Lugo tentang gerakan sosial dan politik progresif di Amerika Latin, termasuk kemungkinan pengaruhnya ke Asia dan Afrika.

Berikut hasil wawancara dengan Lugo.

Apa yang mendorong Anda meninggalkan jabatan keagamaan sebagai uskup dan masuk dalam dunia politik yang keras sampai terpilih menjadi presiden?

Saya terpanggil berpolitik dan berjuang menjadi presiden karena desakan keadaan Paraguay. Sudah lebih dari 61 tahun negeri ini berada di bawah rezim yang korup. Paraguay tidak mungkin terus bertahan jika korupsi terus merebak luas, yang membuat jumlah orang miskin dan menderita semakin meningkat.

Lawan-lawan politik Anda didukung oleh kalangan pengusaha dan media besar, sementara dukungan utama Anda kaum miskin. Bagaimana persoalan kepemimpinan Anda?

Setelah terpilih, saya dengan sendirinya menjadi pemimpin untuk semua rakyat Paraguay, kaya atau miskin. Namun, keberpihakan saya jelas tetap terhadap kaum miskin dan menderita.

Apa prioritas pemerintahan Anda?

Peningkatan pelayanan publik dengan pertama-tama melakukan depolitisasi birokrasi. Akan dilakukan pula kontrol ketat atas pengelolaan keuangan negara untuk mencegah korupsi. Akan dilakukan perubahan tata kepemilikan tanah, landreform, serta menciptakan kedaulatan energi.

Anda termasuk penganut neososialisme khas Amerika Latin. Apa yang Anda perjuangkan bersama tokoh Amerika Latin lainnya dari sosialisme baru itu?

Kami selalu belajar dan berjuang agar sosialisme tidak hanya menetap pada tataran konseptual atau gagasan, tapi menjadi gerakan politik efektif untuk mengubah nasib masyarakat secara nyata dan langsung. Ajaran sosial dan nilai-nilai luhur, seperti diajarkan berbagai agama, perlu diwujudkan nyata bagi masyarakat lapis bawah yang umumnya telantar atau ditelantarkan.

Posisi Anda sendiri dalam gerakan sosialisme baru itu?

Saya memandang diri saya sebagai bagian dari sejarah yang sedang berkembang di Amerika Latin. Apa yang terjadi di Amerika Latin merupakan fenomena global dan anak zaman. Bisa-bisa neososialisme yang menekankan praktik, bukan wacana, ini akan segera bertiup di Asia dan Afrika.

Apa pengaruh Teologi Pembebasan bagi gerakan politik Anda?

Terus terang, saya pengagum dan peminat Teologi Pembebasan, yang antara lain telah membuat saya mampu memahami realitas kemiskinan dan ketimpangan sosial.

Lantas, apa hubungannya dengan politik?

Teologi Pembebasan memang bukan gerakan politik dengan wadah partai politik, namun memberikan inspirasi bagi tindakan politik saya. Ketika berpolitik, saya bertindak sebagai warga negara, bukan sebagai penganut Teologi Pembebasan.

Bagaimana Anda merefleksikan kehidupan selama ini, terutama sebagai biarawan, setelah berada di puncak kekuasaan?

Pergulatan keagamaan saya sangat memengaruhi pilihan dan keberpihakan politik saya. Saya anak Gereja dan dibesarkan di dalamnya. SVD adalah ibu yang membesarkan saya. Saya patut berterima kasih atas nilai yang saya peroleh untuk persaudaraan, keadilan, kemanusiaan yang bersifat universal dan lintas budaya.

Anda selama ini bergaul dan hidup dengan orang pinggiran, bahkan dijuluki Uskup Kaum Papa. Apa perasaan Anda ketika memasuki dan hidup di istana?

Saya tidak akan berubah. Sebaliknya, saya ingin mengubah politik dengan nilai-nilai kebaikan yang saya dapatkan dari lingkungan keluarga, kongregasi saya, SVD, dan pergaulan dengan masyarakat miskin. Kaki saya sudah berdiri untuk kaum miskin. Tidak mungkin kaki yang sama berdiri untuk dua tempat berbeda. Kalau saya berada di istana kepresidenan, posisi berdiri saya tetap untuk kaum miskin.

Setelah selesai menjadi presiden, apakah kembali ke biara?

Saya akan kembali bekerja sesuai dengan panggilan hidup saya sebagai rohaniwan, tapi dengan cara lain. Saya akan tetap sebagai seorang religius, tapi bukan dalam pastoral aktif. Mungkin akan memilih cara hidup yang lebih meditatif dan reflektif agar bisa membagi pengalaman hidup berpolitik dan religius, terutama kepada kelompok masyarakat miskin dan lemah.

Paraguay
Mantan Uskup Lugo Tolak Menerima Gaji Presiden

Kompas: Sabtu, 16 Agustus 2008 | 00:22 WIB

Asuncion, Jumat - Mantan Uskup Katolik Fernando Lugo resmi menjadi Presiden Paraguay dalam sebuah upacara di Asuncion, Paraguay, Jumat (15/8). Lugo, yang dikenal sebagai ”Uskup Kaum Papa”, bertekad tidak menerima gaji presiden.

Acara pelantikan Lugo disaksikan sejumlah pemimpin sosialis dari Amerika Latin yang dikenal sangat anti-Amerika. Mereka yang hadir antara lain Hugo Chavez dari Venezuela, Luiz Inacio Lula da Silva dari Brasil, Cristina Kirchner dari Argentina, Michelle Bachelet dari Cile, Evo Morales dari Bolivia, dan Rafael Correa dari Ekuador.

Lugo, yang sering membantu kaum papa di negaranya, mengakhiri kekuasaan Partai Colorado selama 61 tahun di Paraguay. Dia memenangi pemilu April lalu, untuk memimpin negara paling miskin di Amerika Latin, yang berpenduduk 5,6 juta orang.

Sukses Lugo, yang kini pensiun sementara sebagai uskup, karena dia selama ini dikenal sebagai pemimpin berbagai demonstrasi antipemerintah. Dia juga dikenal sangat vokal memperjuangkan hak-hak petani tanpa tanah.

Pada malam sebelum upacara pelantikan untuk masa jabatan lima tahun, Lugo mengatakan akan menolak menerima gaji presiden sekitar 4.000 dollar AS (sekitar Rp 37 juta) per bulan. Seruan ini mendapat sambutan meriah dari ribuan pendukungnya yang berkumpul di sebuah stadion olahraga.

”Begitu Lugo mulai mengubah berbagai hal, serangan akan dimulai. Bersyukur karena kami mendapat dukungan rakyat kami. Angin baru sedang berembus di Amerika Latin, yang sebenarnya sedang menjalani sebuah era baru,” kata Presiden Ekuador Rafael Correa saat tiba di Asuncion.

Presiden Bolivia Evo Morales menyebut Lugo sebagai seorang kakak yang menjadi bagian dari transformasi di kawasan itu. Presiden Venezuela Hugo Chavez, yang dikenal sangat vokal anti- Amerika, juga hadir.

Lugo sepertinya akan berbeda dari Chavez dan sekutunya. Sekalipun bertekad akan memerintah bagi kaum papa, Lugo mengirim pesan akan lebih probisnis. Dia mengatakan akan mengurangi kontrol negara atas perekonomian.

Dua tetangga raksasa Paraguay, Brasil dan Argentina, yang cenderung lebih sosialis moderat, juga memberikan dukungan bagi Lugo. Namun, para pemimpin negara-negara yang konservatif dan pro-Amerika, yakni Kolombia, Meksiko, dan Peru, hanya mengirim utusan ke Asuncion.

Tugas berat

Tugas pertama mantan uskup yang kini mendapat cuti dari Vatikan ini adalah berupaya menghindarkan terjadinya kekacauan politik dan kerusuhan sipil di negara itu. Sejauh ini, muncul segelintir kelompok kiri dan kanan yang mulai menentang Lugo.

Mantan uskup pertama yang menjadi presiden ini sudah mulai dicobai dengan masalah ketika pekan lalu dia kesulitan memperoleh solar untuk mobil jipnya. Pasokan obat di sejumlah rumah sakit umum juga dilaporkan habis. Sejumlah petani tak bertanah dilaporkan telah merampas tanah milik swasta. Aksi ini mengancam terjadinya gelombang invasi.

Kondisi ini diduga ditimbulkan pemerintahan Partai Colorado sebelum mereka menyerahkan estafet kepemimpinan kepada Lugo. Mereka mencoba merongrong jabatan Lugo bahkan sebelum dia resmi memerintah, dengan membiarkan pasokan bahan bakar minyak dan obat habis.

Lugo hanya memenangi 40 persen suara dalam pemilu presiden bulan April lalu. Pemerintahan Partai Colorado selama enam dekade yang korup, penuh nepotisme dan kolusi, membuat rakyat Paraguay menaruh harapan besar kepada Lugo.

Penerima Hadiah Nobel Ekonomi 2001 asal AS, Joseph Stiglitz, yang kini menjadi anggota tim penasihat ekonomi Lugo, telah menyarankan penerapan pajak 10-15 persen pada ekspor kedelai dan daging sapi guna meningkatkan pendapatan pajak Paraguay yang rendah. (AFP/AP/DI)

No comments: