Saturday, August 30, 2008

Thursday, August 28, 2008

Dua Anak Jalanan Diterima Kuliah di UI

Anak jalanan di Palembang (ilustrasi)
Kompas: Selasa, 19 Agustus 2008 | 09:32 WIB

DEPOK, SELASA — Dua anak jalanan yang setiap hari mengamen di terminal terpadu Kota Depok, Jawa Barat, berhasil diterima di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia (FIB-UI) tahun ajaran 2008-2009.

Mereka adalah Ayatullah Khaimi dan Aish Alim, anak jalanan yang berprofesi sebagai pengamen di terminal Depok dan berdagang asongan di kereta api.

Pendiri sekolah gratis terminal Depok, Nur Rochim, Selasa (19/8) di Depok, bangga dengan prestasi yang dicapai anak asuhnya karena dengan keterbatasan sarana dan prasarana belajar-mengajar mereka dapat lolos di perguruan tinggi yang menjadi favorit di Indonesia.

"Saya cuma berpesan agar mereka yang tidak mampu jangan putus asa dan tidak minder, teruslah belajar agar tercapai cita-cita," katanya.

Ia mengatakan, anak jalanan yang bersekolah di tempat tersebut bebas mengatur jadwalnya sendiri. Mereka tetap dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa menganggu jam belajar. Dalam sehari, ada tiga sesi belajar, yakni pagi, siang, dan sore. Dengan jadwal yang fleksibel tersebut para siswa dapat mengikuti pelajaran.

Awalnya, kata Nur Rochim, banyak anak jalanan, pengemis cilik, dan pengamen berkeliaran di sekitar terminal Depok. Lalu, muncul ide untuk merangkul mereka melalui pendidikan. Itulah konsep awal lahirnya sekolah terminal. "Jiwa saya tergerak untuk mendirikan sekolah tersebut untuk mengubah gaya hidup mereka yang terkesan brutal, liar, dan seenaknya," kata Nur Rochim.

Sekolah tersebut memang gratis bagi para anak jalanan, seperti pengemis dan pengamen, yang beroperasi di sekitar terminal tersebut. Seiring waktu, karena semakin tingginya biaya pendidikan, maka peminat sekolah gratis ini meningkat tajam. Menurunnya kemampuan ekonomi masyarakat bawah akibat kenaikan harga BBM semakin bertambah dengan biaya masuk sekolah yang terbilang mahal di Depok.


ABI
Sumber : Ant

Ketika Pensil Anak-anak Itu Tidak Bergerak...

Kita bukan hanya memiliki juara olimpiade matematika, fisika atau biologi. Kita memiliki juga mereka-mereka yang mengalami kesulitan. Kisah ini adalah sebuah pengalaman memilukan yang menimpa anak-anak SMA Negeri 2 Lubuk Pakam yang tidak mampu mengerjakan ujian bahasa Inggris dalam ujian Nasional. Mereka pertama-tama adalah korban-korban kebijakan program pendidikan Nasional kita. Kita bisa membaca bagaimana guru-guru di sekolah itu mencoba untuk solider dengan anak-anak didik mereka, walaupun mereka pun tak bisa berbuat banyak.

Kompas: Sabtu, 26 April 2008 | 02:08 WIB
Oleh Andy Riza Hidayat

Kelengangan Jalan Galang, Lubuk Pakam, pecah. Rabu (23/4) pukul 13.30 ledakan keras dari pucuk senapan menyalak di Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Lubuk Pakam, Deli Serdang. Sekelompok orang berpakaian sipil, tetapi bersenjata, membuka paksa sebuah ruangan di sana.

Para pendobrak pintu itu ternyata anggota Detasemen Khusus 88 Anti Teror Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Sumut).

Guru yang ada di dalam ruang Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) dan Bimbingan Konseling (BK) kaget.

G Sianturi, guru bidang studi Ekonomi, hanya diam. Dia tak menduga ada petugas berpakaian sipil merangsek masuk ruangan. Petugas memergoki para guru membetulkan lembar jawaban siswa peserta ujian nasional (UN).

Tanpa banyak kata, mereka menyita 284 lembar jawaban siswa, pensil, penggaris, dan peruncing pensil. Para guru gemetar, sebagian menangis.

Tiga hari sudah berlalu, tetapi Sianturi mengaku masih shock. Dia mengatakan hanya ingin membantu siswa yang kesulitan mengerjakan soal Bahasa Inggris. Diakuinya semua direncanakan para guru. Pada saat para siswa terlihat tidak bisa mengerjakan soal, guru-guru akan membantu membetulkan jawaban. Kami terpaksa, katanya.

Bahasa Inggris adalah mata ujian pertama yang dijadwalkan pukul 08.00-10.00 hari itu. Begitu soal dan lembar jawaban terkumpul, empat guru Bahasa Inggris membuat kunci jawaban dan 16 guru kemudian ngebut membetulkan ulang lembar jawaban 284 siswa di ruang UKS dan BK tadi. Sementara itu, siswa meneruskan mata ujian kedua: Kimia (untuk siswa jurusan IPA), Geografi (jurusan IPS), dan Sastra Indonesia (jurusan Bahasa).

Sianturi menuturkan, guru terpaksa membantu karena kasihan siswa tak mampu mengerjakan ujian Bahasa Inggris. Mereka sudah memprediksi anak didiknya akan mengalami kesulitan meski sebelum UN, siswa sudah menjalani uji coba soal ujian dua kali. Hasil uji coba memang mengkhawatirkan. Itulah mengapa muncul ide untuk membantu siswa. Sayangnya, cara mereka justru mengubur makna pendidikan itu sendiri.

Para guru sadar, pilihan mereka merupakan tindakan keliru. Kami sudah mengajarinya tiga tahun. Kalau mereka gagal UN, kasihan orangtuanya, kan, katanya. Ia menyesal, tetapi nasi sudah menjadi bubur.

Meski enggan bicara, Kepala SMAN 2 Lubuk Pakam Ramlan Lubis mengakui kejadian itu. Kasihan siswa. Saat mengerjakan soal Bahasa Inggris, kami lihat pensil anak-anak itu tak bergerak, tanda tak bisa mengerjakan, kata Ramlan dengan wajah menunduk. Wajah itu kusut, tetapi hampa.

Ramlan menggerutu pemerintah terlalu memaksakan UN. Baginya, penyamaan soal UN sangat tidak adil. Bagi anak Jakarta, soal Bahasa Inggris itu mungkin mudah. Namun, bagi siswa kami, soal UN sangat sulit. UN ini terlalu dipaksakan sehingga kami pun terpaksa membantu siswa, ujarnya.

Argumen Ramlan ini mungkin benar menyangkut kesenjangan kualitas pendidikan antardaerah. Ramlan dan para guru hanya tidak sampai hati saja melihat siswa mereka gagal. Karena sebagian besar orangtua mereka itu buruh tani dan buruh kebun, katanya.

Kini wajahnya tambah keruh. Dua malam terakhir dia kurang istirahat. Rabu siang lalu dia harus menjalani pemeriksaan polisi bersama 16 guru lain sampai Kamis dini hari. Kini mereka berstatus tersangka pelanggar Pasal 263 (perihal pemalsuan surat) KUHP dengan ancaman hukuman paling lama 6 tahun penjara. Mereka wajib lapor kepada polisi dua kali seminggu.

Ramlan ingin semua pihak memahami peristiwa di sekolahnya. Namun, ia tak melanjutkan perkataannya. Dia buru-buru meninggalkan sekolah saat sejumlah wartawan ingin meminta penjelasan lagi. Ia mengakhiri pembicaraan dan pulang.

Para guru kemarin duduk-duduk di lorong sekolah. Satu per satu meninggalkan tempat duduk setelah tahu yang datang adalah wartawan. Di beberapa ruang, sejumlah siswa berbincang. Sebagian ikut ekstrakurikuler. Saat didekati, mereka membalikkan badan.

Sejak peristiwa Rabu lalu, tak banyak informasi keluar dari sekolah. Suasana sekolah itu kini jadi beku karena kekeliruan. Bangku-bangku dan lorong sekolah terasa senyap. Di salah satu meja guru bertumpuk koran-koran berisi berita penggerebekan para guru dan kecurangan sekolah itu.

Akan tetapi, praktik kecurangan UN di Sumut tak cuma terjadi di SMAN 2 Lubuk Pakam. Kecurangan juga terjadi di enam daerah lain di 24 SMA sederajat, yaitu di Medan, Humbang Hasundutan, Pematang Siantar, Simalungun, Toba Samosir, dan Binjai. Kecurangan di enam daerah itu masih sebatas laporan Komunitas Air Mata Guru (KAMG), belum termasuk kejadian lain seperti di SMAN 2 Lubuk Pakam.

Tahun lalu, KAMG melaporkan kecurangan serupa di sejumlah daerah di Sumut. Praktik kecurangan terbukti direncanakan demi nama baik sekolah dan daerah. Yang mengherankan, proses hukum bagi para pelaku kecurangan UN ternyata tak benar-benar ditegakkan. Setahun kemudian kasus serupa terulang.

Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Deli Serdang Ajun Komisaris Polisi Ruruh Wicaksono mengatakan, penggerebekan dilakukan berkat informasi awal datang dari seseorang.

Kedatangan satuan Densus 88 ke sekolah mendapat reaksi keras dari Wagino, orangtua murid dan kebetulan Ketua Komite Sekolah SMAN 2 Lubuk Pakam. Saya menyayangkan polisi. Tindakan mereka berlebihan. Apalagi ada letusan senjata, ujarnya.

Wagino juga kesal dan kecewa pada sekolah itu. Namun, itu bukan tanpa sebab. Semua terjadi karena UN dipaksakan digelar di seluruh Indonesia. Bagaimana bisa fair, kualitas guru beda, fasilitas sekolah berbeda. Anak-anak kami harus menghadapi soal yang sama dengan soal siswa di Jakarta, katanya.

Ontel di tengah Metropolitan

Jalan-jalan di Jakarta, metropolitan yang kita banggakan, tidak hanya dijejali oleh mercy, BMW, Toyota, kendaraan pribadi dari segala jenis, serta kendaraan-kendaraan umum dari segala bentuk. Setelah becak-becak tergusur, bukan hanya bajai, dan ojek sepada motor yang telah terkenal memenuhi jalanan kita, ternyata juga dengan sepeda ontel. Saudara-saudara pengojek ini pun punya hak untuk mengais rejeki kecil. Ini salah satu kisah yang dituturkan oleh Kompas:

Kompas: Selasa, 29 Juli 2008 | 10:07 WIB

Dengan topi rimba dan kaos lengan panjangnya, Nurimin terus berdiri di samping sepeda kumbangnya. Panas matahari dan terpaan debu jalan tak dipedulikannya. Di salah satu sudut kawasan Jakarta Kota, pria 45 tahun itu bersama dengan beberapa teman seprofesi lainnya harus bersaing dengan deru mesin ojek motor, mikrolet dan minibus untuk mendapatkan penumpang. “Bisa makan 3 kali sehari saja sudah syukur, mbak,” katanya.

Tapi hebatnya, sebagai seorang tukang ojek sepeda, Nurimin mengaku tak pernah merasa hidupnya susah. Dia menjalani kehidupannya dengan pasrah, bahkan cenderung tidak peduli dengan penghasilannya. Ketika ditanya berapa penghasilannya dalam sehari, Nurimin pun menjawab tidak tahu. “Saya nggak pernah ngitungin mbak. Kalo ngitungin bisa bikin sakit hati,” katanya.

Duda tanpa anak ini sebenarnya memiliki ladang palawija di Padang dari proyek transmigrasi yang diadakan pemerintah Orde Baru. Tapi ladang itu dia biarkan saja demi mengadu nasib ke Jakarta. Jika sudah tidak kuat mengojek sepeda, Nurimin baru berniat untuk kembali ke sana. “Di sana sepi mbak, enakan di sini,” katanya.

Di tengah majunya moda transportasi di Jakarta, Nurimin optimistis bisa tetap bertahan. Harga ongkos yang lebih murah dari harga ongkos ojek maupun angkutan kota lainnya adalah alasannya. Lihat saja, ongkos yang mereka tentukan dimulai dari Rp 2000,- dan paling mahal Rp 7000,-.

Kompas.com sendiri mencoba dari lampu merah arah glodok berputar arah ke Museum Fatahillah dan berakhir di Stasiun Kota dan hanya membayar Rp 5000,-. Harga yang cukup murah bagi perjalanan yang cukup panjang di tengah terik matahari Jakarta yang menyengat dan tidak menggunakan tenaga mesin.

Kelebihan lain dari ojek sepeda ini adalah diperbolehkannya mereka untuk melawan arus jalanan. Hal inilah yang disukai oleh penumpang yang membutuhkan waktu singkat untuk sampai pada tempat tujuan. “Polisi mana pernah marah sama kita mbak kalau kita lawan arus,” kata Rawi (29), tukang ojek lainnya.

Tak heran jika mereka tak takut bersaing dengan alat transportasi lain, apalagi dengan ojek motor. “Nggak takutlah mbak. Liat aja ini kita samping-sampingan sama ojek motor,” kata Rawi.

Walaupun mereka mengakui ojek motor lebih banyak peminatnya, tapi mereka bertahan karena masih banyak orang yang lebih memilih menggunakan ojek sepeda dengan alasan lebih murah. “Kita juga kan nggak bikin kemacetan mbak,” kata Rawi. (M12-08)

Wednesday, August 27, 2008

Puasa yang dikehendaki Tuhan

èWhrEx'b.a, ~Acå éhz<>
tADågUa] rTEßh; [v;r<ê>x; ‘x:Te’P;
~yviêp.x' ‘~yciWcr> xL;Ûv;w> hj'_Am

`WqTe(n:T. hj'ÞAm-lk'w>
^m,êx.l; ‘b[er"l'( sroÜp' aAl’h]

tyIb"+ aybiT'ä ~ydIÞWrm. ~yYIïnI[]w:

AtêySikiw> ‘~ro[' ha,Ûr>ti-yKi(

`~L'([;t.ti al{ï ^ßr>f'B.miW

Bukankah ini berpuasa yang Kukehendaki:
membuka belenggu-belenggu kelaliman,
melepaskan tali-tali kuk,
memerdekakan orang yang tertindas,
dan mematahkan setiap kuk?
Bukankah supaya engkau
memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar
dan membawa ke rumahmu orang miskin tak berumah,
apabila melihat orang telanjang, engkau memberinya pakaian
dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri?

(Yes 58,6-7)

Tangan Buruh Ngenam Melepuh

Kompas, Selasa, 26 Agustus 2008 | 01:51 WIB

Rami (65) berada di antara buruh di sentra produksi ikan pindang Desa Tasik Agung, Rembang, Senin (4/8). Jemari tangannya basah dan ujung jarinya memutih. ”Sudah mulai melepuh karena memegang ikan bergaram terus-terusan. Satu dua hari lagi pasti sakit. Saya terpaksa tidak masuk kerja sampai satu minggu,” kata Rami.

Itulah rutinitas kehidupan sehari-hari Rami, potret buruh ngenam, perajin ikan pindang di Rembang, Jawa Tengah. Tidak hanya tangan yang melepuh, badan pun pegal-pegal lelah luar biasa karena setiap hari para perempuan buruh ngenam nyaris tanpa istirahat sejak pukul 08.30-17.00 demi upah Rp 8.000-Rp 10.000 per hari.

Ratusan hingga jutaan warga desa pesisir pantai utara Jawa terjebak dalam kemiskinan yang sama dengan Rami. Tanpa tanah yang dimiliki untuk digarap, tanpa kapal untuk berlayar di tengah laut, Rami terjebak menjadi buruh harian lepas. Tidak ada ikatan kerja yang jelas dengan pemilik usaha. Ketika sakit dan tidak bisa bekerja, uang dijamin tidak akan berlabuh ke tangannya. Pemenuhan kebutuhan pokok pun makin sulit.

Senin pagi itu Rami duduk berkelompok dengan dua perempuan lain, Meri (52) dan Tasmi (45), mengelilingi setumpuk ikan segar berukuran kecil. Mereka berdesakan dengan buruh lainnya di ruangan tembok 6 meter x 12 meter. Tumpukan ikan dan kreyeng, semacam keranjang kecil dari anyaman bambu, berserakan.

Perjuangan

Sepanjang hari, dengan lutut tertekuk hampir menyentuh dagu, kepala tertunduk, mata terfokus pada ikan, jemari para buruh terus sibuk memilih dan menata ikan. Tanpa penutup hidung, sarung tangan, apalagi sepatu bot sebagai pelindung.

Perjuangan mendapatkan rupiah dimulai sejak matahari baru saja terbit. Mereka mengayuh sepeda selama 40 menit dari rumah mereka di Desa Waru, Desa Ngotet, dan sejumlah desa lain di Kecamatan Rembang menuju sentra pembuatan ikan pindang di Desa Tasik Agung. Kayuhan sepeda kontras dengan deru truk-truk pengangkut sibuk melintasi jalan pantai utara, salah satu urat nadi perekonomian di Jawa dan Nusantara. Truk- truk itulah yang mengantar berbagai komoditas, termasuk ikan pindang, bernilai miliaran rupiah ke pusat-pusat industri atau kota besar.

Di Tasik Agung, sedikitnya terdapat 15 sentra pembuatan ikan pindang. Setiap sentra menyerap tenaga kerja antara belasan hingga 200 buruh perempuan dan sedikit buruh laki-laki. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2005, para buruh itu termasuk dalam 99.068 keluarga miskin di Rembang. Dengan total penduduk mencapai 160.876 keluarga, warga miskin di kabupaten ini mencapai 61,5 persennya.

”Pilihannya, kalau tidak jadi buruh tanam sawah, ya ngenam. Ngenam lebih enak karena tidak harus berpanas-panas kena matahari. Cuma jaraknya jauh dari desa kami. Namun, kalau tidak begini, keluarga nanti makan apa?” kata Tasmi, asal Desa Ngotet.

Rami, perempuan asal Desa Waru, mengaku telah bekerja sejak awal tahun 2000 di sentra ikan pindang Alfian Putra, usaha pembuatan ikan pindang kelas menengah dengan tingkat produksi sekitar 4 ton per hari.

Tempat produksi ikan pindang Alfian Putra terletak tepat di depan Pelabuhan dan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Tasik Agung. Di TPI ini setiap pagi para nelayan berlabuh dan melelang ikan-ikan segar tangkapan langsung dari laut. Para pemilik usaha ikan pindang segera memborong ikan banyar, layang, juwi, siro, atau tongkol.

Sukarno (40), petugas pengawas produksi di Alfian Putra, mengatakan, setelah dibersihkan dan digarami, ikan-ikan dipilah berdasarkan jenis dan ukurannya, kemudian ditata di dalam kreyeng. Setiap 8-20 kreyeng disatukan dalam ikatan tali rafia. Tumpukan ikatan kreyeng direbus selama lima menit di air mendidih bergaram. Seusai ditiriskan, ikan-ikan pindang siap dipasarkan hingga ke Jawa Timur dan Jawa Barat dengan harga Rp 2.000-Rp 4.000 per kreyeng.

”Buruh perempuan mendapat Rp 250 per ikat kreyeng, yang laki-laki Rp 200 per ikat. Total dalam satu hari rata-rata setiap pekerja kami mendapat Rp 8.000-Rp 10.000. Kalau ikan sedang banyak, mereka bisa kerja lembur sampai pukul 20.00 dan mendapat uang Rp 15.000 per hari,” kata Sukarno.

Dengan uang tersebut, Rami dapat membeli beras dan lauk untuk dirinya bersama anak perempuannya yang sakit-sakitan serta seorang cucu usia 12 tahun yang telah putus sekolah. ”Suami anak saya jadi buruh proyek di Semarang. Setiap pulang 2-3 bulan sekali, cuma bawa Rp 400.000-Rp 500.000,” kata Rami.

Komentar

Sosiolog Universitas Indonesia, Tamrin Amal Tomagola, pernah mengatakan, kemiskinan yang menimpa Rami adalah potret kemiskinan di Indonesia, yaitu kemiskinan struktural yang terkait erat dengan sumber daya manusia (SDM) tidak berkualitas, adanya faktor penghambat seseorang memanfaatkan kesempatan yang tersedia, dan kekurangan fasilitas permukiman, pendidikan, infrastruktur, serta pelayanan publik. Menurut Tamrin, diperlukan upaya bersama antara pemerintah dan warga untuk pengentasan masyarakat dari kemiskinan. Salah satu hal yang penting adalah program tepat sasaran dan harus memotong sekian banyak jalur birokrasi serta praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Jika tidak, jari-jemari melepuh akan terus menjadi bagian siklus hidup Rami-Rami lain pada masa kini dan masa depan. Kemiskinan pun akan terus bertahan.... (Neli Triana)

Menghayati kenaifan dan kebodohan Allah

Tugas orang Kristen dewasa ini adalah
menghayati kenaifan dan kebodohan Allah di dunia:

“Yesus tidak memanggil kita untuk menganut agama yang baru,
tetapi memulai suatu kehidupan.

Bagaimana bentuk kehidupan itu,
kehidupan yang berpartisapasi dalam ketidakberdayaan Allah di dunia?”

Suatu kehidupan baru yang bersorak dalam kemenangan
ketika ideology-ideologi dan cita-cita manusia gagal.

Itu berarti: dalam keputusasaan,
dalam penderitaan yang sia-sia,
dalam keidakadilan dan dalam kematian yang tragis.
Adakah makna di dalamnya?
Ya. Namun hanya kalau orang melihatnya dengan kaca mata Allah,
dengan cinta dan harapan yang melampaui kematian.
Siapa yang memiliki iman sedemikian
berarti beriman bersama Yesus yang percaya.
Mengikuti Kristus berarti menyadari kondisi kehidupan kita
sebagaimana yang dilakukan Kristus.
Kebangkitan dan keserbamisteriannya menunjukkan bahwa
beriman dan bertahan dalam absurditas
dan kehilangan makna, bukan tanpa makna.

Dietrich Boenhoeffer

Menemani Allah

Dalam kesusahan manusia berpaling kepada Allah,
memohon bantuan, meminta kebahagiaan dan roti,
agar luput dari sakit, dosa dan kematian.
Semua orang, umat kristen dan kaum kafir berbuat demikian.

Manusia berpaling kepada Allah dalam kesusahan,
menjumpai Dia miskin dan terlunta-lunta,
tanpa rumah dan roti,
melihatNya ditelan oleh dosa, kelemahan dan maut.
orang kristen menemani Allah
dalam saat-saat pend
eritaanNya.

Allah mengunjungi semua manusia dalam kesusahannya,
memuaskan jiwa dan raga mereka dengan rotiNya,
Dia mati di kayu salib bagi orang kristen dan kafir
dan mengampuni keduanya.

(Dietrich Bonhoeffer)

In Praise of the Madness of Dom Louis

Monsignor Friar Louis Flavio Cappio was one of my theology students in Petropolis, in 1970 and 1971. He stood above his classmates because of his radical commitment to the poor and by his aura of simplicity and holiness. He did not turn in his final paper for the course, a thesis of more or less 30 pages. On the last day, before he was transferred to São Paulo, he slipped a page under the door of my cell, which read: «After five years of study, reflection and prayer, this is what has remained of my theology». And he transcribed in Greek, Latin and Portuguese, the Our Father, the Lord's Prayer.

Whenever I would see him, I would ask him about that paper. In 1975, on Holy Thursday, he disappeared from his convent in São Paulo. Three days later, on a lateral altar of the church, a letter he had written was found where he explained his decision to go to the poorest of the poor, to serve them in the name of the Gospels. He left with only the habit he was wearing and a copy of the Gospels. He hitched rides with truckers. Two months later, he arrived to Barra, in Bahia. With his friar's habit, his Franciscan sandals and the Gospels in hand, he preached around the shanty towns of the riverbed.

When he was found, the Provincial Superior called me on the telephone and said: «Friar Louis has gone crazy, we have to go bring him back». I replied: «Provincial Father, open the Gospel of Saint Mark and read chapter 3, verse 21: «And when his friends heard of it, they went out to lay ahold on him: for they said, He is beside himself». Something like that happened to Saint Paul, who preached the cross of Christ, scandal for the Jews, madness for the Pagans and salvation for the Christians. The same with Saint Francis of Assisi when it was suggested that he follow existing monastic rules, instead of his radical identification with the poor. Francis replied to the envoy of the Pope: «God called me to follow the path of simplicity; I do not want to hear about other rules; the Lord has revealed to me his will that I be a new madman in the world». When he decided to go on a hunger strike, Dom Louis Flavio Cappio said: «When reason ends, madness is the way».

That madness is not madness: it is another form of logic, the logic of love, of creativity, it is the logic of something that is trans-systemic. If there is one who knows the Saint Francis River Valley that one is Bishop Dom Friar Louis. From 1992 to 1993 he went with a small group all over the valley, visiting the people who live in the riverbed, taking note of problems and suggesting ecological measures. Lula, in the caravan of the Saint Francis, in which I took part, received from the hands of Friar Louis all that material, highly valued by technicians.

As a spiritual man of great personal holiness, Dom Friar Louis has developed a special intuition for the issues that have to do with the poor and with the impoverishment of the «Old Little One»--as the river is fondly called. The Government talks of technical solutions. Friar Louis talks of social solutions. He is not against diverting the river. He is against the type of diversion that has not been properly discussed with those affected by it and which does not guarantee a social solution. In a world where everything is turned into merchandise and a profit opportunity, 70% of the diverted waters will serve agribusiness of exportation. The States will distribute the rest to a thirsty people. Will they do that for a price? Dom Friar Louis, in thirty years of identification with the poor of the Valley, understands where the difficulty is. He became «God's madman», a carrier of a higher wisdom.

Leonardo Boff Oct 14, 2005