Friday, November 13, 2009

Dua Dunia dari Indonesia yang sama

Berita Pertama:

Mega Proyek St Moritz Senilai Rp 11 Triliun Mulai Dibangun

Dari kiri ke kanan: Agus Samuel Kana (Project Manager PT PP Persero), Hadjar Seti Adji (Branch Manager Jakarta PT PP Persero), Stephanus Kurniawan (Director PT Lippo > Karawaci Tbk.), Harry Nugroho (Deputy Operational Director PT PP Persero), Edhi Sutanto (Direktur St. Moritz Penthouses & Residences) dan Rovie > Cipriano (Project Manager St. Moritz Penthouses & Residences) dalam penandatanganan kerja sama dimulainya pembangunan superblok St Moritz di Puri Kembangan, Jakarta Barat, Kamis (12/11).
KAMIS, 12 NOVEMBER 2009 | 14:50 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - PT Lippo Karawaci Tbk, perusahaan pengembang properti dari Grup Lippo, hari Kamis (12/11) menandatangani surat penunjukan bersama PT PP (Persero) sebagai kontraktor utama pembangunan “Mega Proyek Terpadu The St. Moritz Penthouses & Residences” berskala global.

The St. Moritz Penthouses & Residences merupakan proyek Global City yang pertama dan satu-satunya di Indonesia dari Lippo Group yang terletak di Central Business District (CBD) Jakarta Barat dan berada di antara Jakarta Outer Ring Road (JORR) Kapuk - TB Simatupang dan Tol Kebon Jeruk – Tangerang.

The St Moritz Penthouses & Residences yang dibangun di atas lahan 12 hektar adalah proyek pertama dan satu-satunya di Indonesia yang menggunakan konsep "11-in-1" dan mengintegrasikan konsep kota baru vertikal dengan infrastruktur berstandar global serta fasilitas umum yang dirancang sesuai dengan citra rasa komunitas ekspatriat internasional dan kalangan atas Jakarta.

Kota global yang dirancang oleh DP Architects (Singapura) dan beberapa konsultan kelas internasional lainnya ini akan dilengkapi dengan berbagai fasilitas eksklusif seluas 1 juta m2
.
Konsep fasilitas 11-in-1 yang dimiliki The St. Moritz Penthouses & Residences akan dielaborasikan menjadi pusat perbelanjaan seluas 500.000 m2, hotel berbintang 5 dengan 500 kamar, pusat konvensi seluas 6.000 m2, apartemen mewah dengan 1.500 unit kamar, gedung perkantoran tertinggi di Indonesia dengan 65 lantai, Rumah Sakit Siloam dengan akreditasi internasional JCI, sekolah swasta yang dikelola Yayasan Pelita Harapan, kapel pernikahan, atraksi indoor Sea World, Sport Country Club, Spa, dan fasilitas helikopter untuk seluruh penghuni.

Kiswodarmawan, Direktur Operasi PT PP (Persero) mengatakan, PT PP (Persero) adalah kontraktor yang sangat berpengalaman yang telah membangun banyak gedung bertingkat (high-rise building), termasuk apartemen-apartemen mewah, resor dan hotel bintang lima, bangunan komersial dan berbagai proyek skala besar lainnya. Salah satu proyek yang telah dikerjakan adalah Hotel Indonesia Kempinski.

“PP selaku kontraktor yang berpengalaman selalu mengutamakan pengkoordinasian para pekerja, kualitas dan kepuasan pelanggan sebagai faktor penting dalam membangun sebuah bangunan iconic yang bermutu tinggi dan kami sangat menghargai kesempatan untuk bekerja sama dengan Lippo Group dalam membangun proyek berskala global di Indonesia ini,” jelas Kiswodarmawan

CEO The St. Moritz Penthouses & Residences, Michael Riady menegaskan, dimulainya pembangunan The St. Moritz Penthouses & Residences akan menjadi kesempatan bagi para calon pembeli untuk secepatnya membeli unit apartemen karena harga akan terus meningkat mendekati rampungnya pembangunan di The St. Moritz Penthouses & Residences.


Berita kedua:

Taman BMW Kembali Penuh Gubuk

Maryam (30), warga taman BMW, masih bertahan dan tinggal di tenda darurat di lokasi penggusuran karena belum mendapat tempat tinggal, Selasa (2/9).
KAMIS, 13 NOVEMBER 2008 | 06:15 WIB

JAKARTA, KAMIS - Warga kini makin nekat saja membangun gubuk di Taman Bersih Manusiawi dan Berwibawa atau BMW, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Meski sudah dua kali digusur, yang diikuti pemagaran taman, gubuk yang dibangun warga muncul lagi.

Pada Rabu (12/11), misalnya, jumlah gubuk yang dibangun sudah lebih banyak dibandingkan dengan bulan lalu, yakni sekitar 200 gubuk. Di sisi selatan rel kereta api ruas Ancol-Tanjung Priok atau sisi utara Taman BMW berderet belasan gubuk reyot yang dibangun seadanya.

”Memang tidak ada pilihan lain bagi kami kecuali tetap bertahan di sini. Kami sudah sepakat untuk tidak pindah sampai ada kebijakan dari pemerintah menyediakan tempat tinggal lain sebagai penggantinya,” kata Wawan (34), pemukim yang bekerja sebagai buruh serabutan.

Pria asal Brebes, Jawa Tengah, ini menempati gubuk kecil bersama saudaranya. Tidak hanya membangun di sisi taman, tetapi sebagian warga juga membangun di tengah taman. Mereka memulung puing-puing bangunan dan barang bekas lainnya akibat penggusuran sebelumnya lalu menumpuknya di sekitar gubuk.

Zarkoni (38), warga lain, menjelaskan, sebenarnya mereka ingin mencari kos, tetapi biayanya mahal. Wawan dan Zarkoni pernah mencari kos atau kamar kontrakan di sekitar Papanggo, Warakas, dan Tanjung Priok.

”Biaya kontrakan terendah Rp 250.000 sebulan. Mustahil bisa kami tebus secara rutin,” kata Zarkoni, yang dengan memulung mendapat Rp 20.000 per hari.

”Sebetulnya kami tidak pernah minta menjadi orang miskin. Aparat hanya tahu mengusir, tapi tidak mampu mengayomi orang- orang seperti kami ini. Apa jalan keluar terbaik bagi rakyat yang tidak memiliki tempat tinggal seperti kami,” kata Ny Nur (33) dengan suara bergetar.

Hunian liar di Taman BMW itu sudah dua kali digusur, yakni pada 24 Agustus dan 8 Oktober. Pada penggusuran kedua banyak gubuk warga ludes dilalap api. Pada Rabu kemarin tampak jumlah gubuk bertambah banyak lagi. Warga tidak hanya membangun di tepi taman, atau rel kereta api, tetapi juga hingga di tengah taman seluas 26,5 hektar itu.

Padahal di pihak lain, Pemprov DKI Jakarta melalui dinas teknis terkait seperti Dinas Pertamanan dan Pekerjaan Umum sedang membangun pagar pengaman keliling taman. ”Kami akan terus berjuang sampai sebagian lahan ini diserahkan untuk warga,” kata beberapa ibu rumah tangga.

Kepala Suku Dinas Tramtib Jakarta Utara Sulistiarto mengatakan, penertiban terhadap sebagian hunian liar yang masih bertahan akan tetap dilakukan. Tidak ada toleransi karena taman adalah aset Pemprov DKI yang akan dikembalikan fungsinya sebagai taman. Pada sebagian lahan akan dibangun fasilitas olahraga skala internasional.

Humas PT Kereta Api Daerah Operasi Jakarta Akhmad Sujadi juga mengatakan, bangunan liar di sisi rel akan dibersihkan.

Mereka Lebih Miskin daripada Saya...

Sopiah (63), (tengah), warga Kecamatan Semarang Utara, menerima bantuan dari tetangganya, Jumilah (50), sebesar Rp 105.000, Selasa (27/5). Mengetahui ada beberapa warga yang tidak mendapat bantuan langsung tunai (BLT), warga setempat berinisiatif menyisihkan uang untuk dibagikan kepada warga yang juga membutuhkan.
RABU, 28 MEI 2008 | 05:24 WIB

Sadimin (55), warga RT 04 RW 08, Kelurahan Mlati Baru, Kecamatan Semarang Timur, setelah mengambil BLT di Kantor Pos, Selasa (27/5), bergegas ke rumah Ketua RT. Ia menyerahkan Rp 100.000 untuk dibagikan kepada sesama warga miskin di RT itu yang belum menerima BLT.

Kami sepakat menyisihkan Rp 100.000 dari BLT untuk tetangga yang tidak menerima BLT,” kata penduduk Kota Semarang, Jawa Tengah, itu.

Sadimin bersama istri dan ketiga anaknya tinggal di rumah berukuran 2,5 meter x 8 meter. Ia menyekat ruangan dengan tripleks untuk memisahkan ruang tamu, kamar tidur, dan dapur.

Sebagai buruh serabutan, penghasilan Sadimin tidak menentu. Jika ada proyek bangunan, ia bisa mendapat upah Rp 25.000 per hari. Jika tidak ada proyek, ia bisa menganggur hingga dua bulan. Padahal, ia perlu biaya sekolah dua anaknya.

Mendapat kartu BLT atau bantuan langsung tunai, Sadimin merasa lebih mujur daripada tetangganya. ”Sebenarnya kami sama-sama hidup susah. Makanya harus dibagi biar semua ikut merasakan,” ujarnya.

Ketua RT 04 Sri Sundari (48) mengaku mengajukan nama semua kepala keluarga (KK) di wilayahnya untuk menerima BLT. Alasannya, warga di RT-nya tidak memiliki pekerjaan tetap. Namun, dari 32 KK, hanya 12 KK yang mendapat kartu BLT.

Dalam musyawarah RT, ia mengusulkan agar warga yang menerima BLT menyisihkan sebagian jatahnya untuk warga yang tak menerima BLT.

Warga di RT 03 RW 06, Kelurahan Mlati Baru, menerapkan hal serupa. Berdasarkan musyawarah, warga yang menerima BLT sepakat menyisihkan Rp 25.000 bagi warga miskin yang tidak menerima BLT.

Yulani (56), warga RT 03 yang menerima BLT, menuturkan, ”Sebenarnya kalau tidak ngasih, ya, tidak apa-apa. Tapi, di RT sini ada dua janda miskin yang tidak dapat BLT. Mereka lebih miskin dari kami.”

Mariyem (66), janda tanpa anak yang hidup menumpang pada tetangga, juga mengaku ikhlas menyisihkan sebagian jatah BLT. ”Sing dereng angsal ben ngerti rasane (yang belum dapat biar tahu rasanya),” katanya.

Di RT 03, sebanyak 12 KK mendapatkan BLT. Jika setiap warga menyisihkan Rp 25.000, akan terkumpul Rp 300.000. Menurut Ketua RT 03 Kasno (58), uang itu langsung diberikan kepada warga yang tidak mampu oleh penerima BLT.

Tidak tepat sasaran

Pengucuran dana BLT sebagian tidak tepat sasaran. Di RT Kasno, misalnya, warga yang lebih miskin dan tinggal di rumah kontrakan tidak mendapatkan BLT, sedangkan warga yang punya rumah dan sepeda motor justru menerima BLT.

Di RT 8 RW 2 Kelurahan Purwosari, Kecamatan Semarang Utara, warga sepakat menyisihkan Rp 60.000 dari BLT untuk warga miskin lain yang belum menerima BLT.

Slamet Riyanto (48) yang sehari-hari membantu istri berdagang nasi bungkus atau sego kucing urung membeli teko baru untuk warungnya. Uang BLT yang diterimanya digunakan untuk membayar tunggakan uang sekolah anaknya yang bersekolah di SMA selama tiga bulan terakhir sebesar Rp 120.000 serta membeli beras.

”Teko yang lama sudah karatan. Sudah waktunya beli baru. Tapi saya perlu berbagi dengan tetangga. Saya ikhlas…. Mereka lebih miskin daripada saya,” kata Slamet di rumahnya yang berukuran 3 meter x 4 meter dan kusam.

Sebagaimana Kasno, Slamet juga heran, tetangganya yang memiliki salon kecantikan mendapat BLT. Padahal, beberapa janda yang sudah lanjut usia dan kondisi rumahnya sangat memprihatinkan justru tidak dapat.

Menurut Ketua RT 8 Jumadi, di wilayahnya hanya 14 rumah tangga sasaran (RTS) yang menerima BLT. Padahal, ada 17 RTS lain yang sebenarnya juga layak menerima BLT.

Salah satunya Sopiah (63). Janda itu tinggal di rumah petak sempit bersama anaknya yang bekerja sebagai buruh pabrik. Dari uang yang disisihkan para penerima BLT, Sopiah mendapat Rp 105.000. ”Saya berterima kasih sekali kepada tetangga. Saya tidak mampu membalas mereka. Uang ini akan saya pakai untuk membeli obat sesak napas,” katanya.

Kisah berbagi rasa semacam ini terekam pula di RT 7 RW 9 Kampung Tambra Dalam, Kelurahan Kuningan, Semarang Utara. Sembilan warga yang menerima BLT rela menyisihkan uang hingga Rp 150.000 untuk dibagikan kepada 31 warga lain.

Suwarto Ruslan (45), warga RT 7, mengaku tak sampai hati melihat para tetangga yang juga membutuhkan bantuan, tetapi tidak mendapatkan BLT.

Karena itu, tukang kebun di salah satu rumah di Perumahan Puri Anjasmoro ini ikhlas menyisihkan uang BLT untuk mereka.

Kendati demikian, ada warga yang menyisihkan uang BLT dengan syarat. Salah satunya Lasiman (37), warga RT 2 RW 3, Kampung Boom Lama, Kecamatan Semarang Utara.

Menurut tukang sapu jalan berupah Rp 650.000 per bulan itu, warga yang saat ini dibantu akan didata. Jika mendapat BLT pada tahap kedua, mereka harus mengembalikan uang kepada warga yang saat ini membantu.

Apa pun wujudnya, kesadaran warga untuk berbagi patut dihargai. Semoga kesadaran itu tidak berhenti di antara para penerima BLT, tetapi sampai pada pembuat kebijakan. Mereka diharapkan mampu membuat seluruh rakyat menikmati kekayaan Indonesia. (A05/A09)

http://www.kompas.com/read/xml/2008/05/28/05241676/mereka.lebih.miskin.daripada.saya...

Tuesday, January 27, 2009

Esistenze tra i rifiuti: un dramma asiatico

27 Gennaio 2009

SVILUPPO NEGATO

Nell’Asia che vibra di attività e di potenzialità, appannate dall’incertezza di questi tempi di debolezza, ma comunque lontane da indicare un ripiegamento consistente, le carenze nei sistemi sanitari e nella gestione dei rifiuti rappresentano le spine nel fianco delle amministrazioni cittadine. Le immense discariche indonesiane, filippine, indiane, cambogiane, bangladeshi o pachistane mostrano l’altra faccia dello sviluppo continentale, sono cartine di tornasole delle sue potenzialità e delle sue velleità.

Attorno a esse, ma sovente 'su' di esse sciamano centinaia di migliaia di sventurati che, in cambio di una possibilità di vita, seppure stentata e resa precaria da malattie e incidenti, traggono dai rifiuti risorse preziose in un contesto in cui crescono scarti e sprechi, sebbene molto meno dei fondi necessari per la loro gestione. E così, aree di antico o nuovo degrado delle metropoli vedono file interminabili di camion scaricare rifiuti raccolti durate ogni ora del giorno e della notte sotto una cappa pestilenziale che minaccia la salute e la vita stessa delle persone che qui lavorano e spesso vivono. In un ambiente da incubo, spesso aggravato da piogge torrenziali o da un sole implacabile, gli uomini scaricano i mezzi di trasporto, donne e bambini frugano tra il contenuto estraendo con abilità ogni avanzo di metallo, carta, plastica vetro riciclabile per venderlo. Un’umanità 'a perdere', che è sventuratamente spesso considerata "sub-umana".

Anche nei casi, tutt’altro che rari, in cui questa gente non possa definirsi povera in assoluto secondo gli standard locali, essa finisce immancabilmente per ritrovarsi nei livelli più bassi della società, se già da questi non proviene. Nuovi schiavi, nomadi, immigrati, esponenti delle minoranze etniche o religiose, forniscono tradizionalmente la manodopera prima, trasformando le proprie esistenze in vite bruciate nelle discariche o nelle fogne dell’Asia. Ancora una volta, tuttavia, è l’India, forte dei suoi grandi numeri e delle radicate povertà associate a disparità sociali a sfondo religioso, a indicare una via particolare all’ineguaglianza e allo sfruttamento.

Perché qui, nel Paese in cui il Mahatma Gandhi ebbe a dire, nel 1925, che «le fognature sono più importanti dell’indipendenza», a gestire i rifiuti e a consentire alle città di sopravvivere ai propri scarti sono soprattutto i dalit, 'gli esclusi', eredi della divisione castale radicata nell’induismo e soprattutto nella sua interpretazione opportunistica o fanatica da parte di gruppi connessi a interessi economici, politici, di potere. È così che il riciclo manuale dei rifiuti, come pure la pulizia delle latrine o delle strade, attività dure e a volte umilianti, perpetuano una discriminazione antica e senza speranza, che rinnova solo i suoi metodi ma non i suoi protagonisti. Ben 167 milioni di dalit e 84 milioni di tribali (ovvero una popolazione che eguaglia quella combinata di Italia, Germania, Gran Bretagna e Francia) sono accomunati da discriminazione sociale ed emarginazione economica, vittime di sfruttamento e di abusi dei diritti umani, depositari di mestieri attribuiti – con i loro rischi e il loro stigma sociale – per nascita. La gestione manuale dei rifiuti e la costruzione e manutenzione di latrine sono in India proibite per legge, tuttavia continuano ad esistere. Sotto accusa oggi non sono tanto i limiti finanziari e tecnologici alla gestione dei rifiuti e degli scarti della popolazione, quanto la mancanza di possibilità di lavoro e di benessere concrete per un gran numero di persone che rischia quotidianamente la salute in attività indispensabili alle metropoli, ma che della cui vita e della cui morte e malattia nessuno sembra accorgersi.

«Privati dell’onore delle armi e di una proclamazione postuma di martirio, questi soldati sacrificano la vita per consentire alla marea dei liquami di fluire liberamente», scriveva recentemente un editorialista del settimanale indiano Tehelka. «Che cosa succede dei rifiuti organici che provengono dal 18,02 per cento degli indiani che secondo il censimento 2001 dispongono di servizi igienici moderni nelle loro abitazioni? Qual è la sorte dei dalit costretti a ripulire le latrine del resto della popolazione?», si chiedeva ancora il giornale. La risposta può essere drammatica, visto che sono almeno 22mila i dalit di varie sottocaste che muoiono ogni anno lavorando nel ventre delle metropoli indiane. A Hong Kong un lavoratore specializzato nella manutenzione delle fognature abbisogna di 15 diversi brevetti, non così in India.

Delhi si appoggia su un reticolo sotterraneo di 5.600 chilometri di condotte che convogliano ogni giorno 2,8 milioni di litri di liquami. In questo mondo crepuscolare, attraversato da correnti di gas tossici, in tanti hanno perso la vita, soprattutto manovali arruolati dal subappalto che nella infinita disponibilità di dalit e tribali immigrati abitualmente diluisce le già scarse regole. Secondo statistiche ufficiali, in soli 14 dei 24 distretti in cui è diviso il sistema fognario della municipalità di Bombay, nel 2004­2005 sono morti 288 lavoratori. Erano stati 316 nel 2003-2004, vittime delle condizioni di lavoro precarie, di malattie croniche, come la tubercolosi, l’asma o di disfunzioni al fegato e all’intestino, problemi aggravati dalla malnutrizione e dallo stress di una vita sempre al limite. In condizioni di miseria, ai margini della società e senza possibilità di riscatto.

Stefano Vecchia
http://www.avvenire.it/Mondo/Esistenze+tra+i+rifiuti+un+dramma+asiatico.htm