Monday, September 29, 2008

Friday, September 26, 2008

Jualan Cobek


Kompas/Arum Tresnaningtyas / Kompas Images
Liburan sekolah dimanfaatkan anak-anak asal Padalarang untuk berjualan cobek (batu ulekan) seharga Rp 15.000-Rp 30.000 per buah di Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (26/9). Tiap anak biasanya membawa 6-10 cobek dengan berat sekitar 20 kilogram. Dalam sehari hanya sekitar 2-3 cobek yang laku terjual. Keuntungan yang didapat pun tidak sebanding dengan jerih payah anak-anak itu berkeliling kota.

Wednesday, September 24, 2008

Mereka yang Terpental Bekerja

Selasa, 23 September 2008 | 00:40 WIB

Indira Permanasari

Masa kanak-kanak Iin (17) terhenti pada usia 14. Pada usia itu Iin sudah dihadapkan pada pilihan yang dalam bayangan sebagian orang mestinya dihadapi manusia dewasa. Pilihan untuk bekerja, bahkan keluar kampung demi membahagiakan keluarganya. Tak terpikirkan masa depannya.

Iin hanya sempat mengecap pendidikan menengah pertama selama sepekan, selulusnya dari sekolah dasar negeri di Kampung Cipedang, Kecamatan Bongas, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat,

”Enak sebetulnya sekolah, tetapi tidak ada biaya. Waktu itu harus bayar seragam, buku, dan pendaftaran,” ujarnya. Tak dapat memenuhi semua tuntutan tersebut, Iin pun terpental.

Di mata Iin tidak ada pilihan lain. Orangtua menginginkannya segera bekerja membantu ekonomi keluarga. Ayah Iin seorang penjual telur dengan pendapatan Rp 10.000 per hari dan ibunya buruh tani yang tidak selalu berhasil mendapatkan pekerjaan. Orangtuanya tidak mempunyai kebun dan sawah sejengkal jua.

Seorang sepupunya, yang sudah terlebih dahulu bekerja di ibu kota, lalu menawarkan bekerja di Jakarta sebagai salah satu staf binatu di sebuah apartemen di Jakarta Barat. Tugasnya mengantarkan pakaian yang sudah dicuci ke pemiliknya.

Empat hari bekerja, gadis tersebut merasa tidak betah dan pulang kampung. Seorang kerabatnya yang lain kemudian menawarkan bergabung dengan yayasan penyalur tenaga kerja. Iin berhasil mendapatkan pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta. Majikannya yang mempunyai rumah lain di Medan kemudian membawanya ke kota tersebut selama satu tahun.

”Saya kirim uang juga ke orangtua di kampung,” katanya. Selama bekerja sebagai pembantu rumah tangga, ia harus pandai membawa diri.

Mulai bosan, Iin kembali ke kampung dan lagi-lagi kerabatnya yang lain menawarkan bekerja di Surabaya sebagai pembersih sarang burung walet dengan gaji Rp 300.000 per bulan.

Kini, bagi Iin jauh lebih enak tinggal di kota. ”Di kota lebih mudah cari uang,” ujar Iin yang sudah tidak tertarik lagi melanjutkan pendidikan.

Akibat kemiskinan

Persoalan klasik tetapi nyata, kemiskinan pula yang membuat Datem kini ”kehilangan” adiknya yang bekerja di Jakarta sebagai pembantu rumah tangga di sebuah keluarga di kawasan Cipinang, Jakarta Timur.

Warsih (13), adik Datem, lulus dari sekolah dasar pada tahun lalu. Warsih sempat didaftarkan oleh Datem di sekolah menengah pertama negeri di desanya, tetapi hanya bertahan satu bulan. ”Ada saja yang harus dibayar. Kalau sedang tidak ada uang, ya tidak ada betulan. Jadi, saya suruh berhenti saja,” ujarnya.

Warsih menjadi tanggung jawab Datem. Orangtua mereka hanya bekerja sebagai buruh nelayan di desa lain.

Datem sendiri masih harus membiayai ketiga anaknya dan dua di antaranya waktu itu masih duduk di kelas VI dan IV sekolah dasar. Anaknya, Chasnawi, yang baru lulus sekolah dasar baru-baru ini mengikuti jejak Warsih, tidak melanjutkan sekolah.

Chasnawi hanya bertahan empat hari di sekolah baru. Saat harus membeli pakaian seragam sendiri yang harganya sekitar Rp 70.000 satu setel dan membayar uang pembangunan, Chasnawi mental dari sekolah. Padahal, sudah tidak ada lagi pungutan buku atau iuran bulanan.

Kembali ke kisah Warsih. Kata Datem, pekerjaan pertama gadis kecil tersebut di Cikampek dan di Surabaya. Warsih sempat mengirim uang ke orangtuanya sebesar Rp 400.000 dan ke Datem Rp 400.000. Uang tersebut dipakai Datem untuk makan sehari-hari.

Ketika ditanya tempat tinggal adiknya dan cara menghubunginya, Datem hanya menggelengkan kepala, tidak tahu. Ia melihat Warsih terakhir kali ketika seorang pencari tenaga pembantu rumah tangga membawa pergi adiknya.

Akrab dengan keseharian

Bagi Heni Heriani, guru di SDN Margamulya 03 dan Mts Darul Fallah, sejak datang ke kampung tersebut belasan tahun lalu, kisah Iin dan Warsih akrab dengan kesehariannya sebagai pendidik di Kecamatan Bongas. Terlebih lagi ia juga menjadi fasilitator untuk pencegahan human trafficking bersama lembaga swadaya masyarakat di desanya.

Anak-anak di kawasan tersebut kehilangan masa kanak-kanaknya dalam usia sangat muda. Lembaga pendidikan belum mampu sepenuhnya menahan mereka tetap berada di sekolah.

Jangankan saat belum ada pembebasan iuran sekolah, sekarang pun saat sudah sebagian sekolah membebaskan biaya, ternyata urusan sepatu, seragam, dan buku tulis masih dapat mementalkan anak dari bangku sekolah. Tidak hanya itu, anak yang bekerja dapat menopang ekonomi atau mengurangi beban keluarga di daerah yang sebagian besar bekerja sebagai buruh tani atau serabutan. Hambatan biaya sekecil apa pun kemudian memperkuat alasan anak menjauh dari sekolah.

Para anak-anak yang sudah terlebih dahulu bekerja ke kota dan pulang ke kampung pada saat Hari Raya dengan ”gaya kota” menjadi godaan tersendiri bagi anak-anak di desa.

”Tidak sekolah tinggi, mereka melihat teman-temannya sudah mandiri. Mereka bisa membeli barang-barang, seperti baju dan aksesori, yang dilihat di sinetron-sinetron. Tanpa peduli berat dan risiko bekerja,” ujarnya.

Heni berkisah bahkan ada masanya, anak-anak terdorong bekerja ke kota di lokasi berbahaya, seperti di kafe-kafe plus. Mereka kemudian rawan terjerumus menjadi pekerja seks komersial. ”Di sini ada istilah luru duit yang identik dengan pekerjaan sebagai PSK,” ujarnya.

Ketika pertama kali mengajar di Bongas, ia punya pengalaman terkait istilah itu. ”Di hadapan murid saya katakan, saya sedang luru duit. Anak-anak tertawa. Setelah bertanya kepada para guru, ternyata anak-anak SD itu salah mengartikan maksud saya,” ujar Heni yang terpaksa kembali ke kelas dan menjelaskan yang dimaksud luru duit adalah bekerja ditugaskan pemerintah sebagai guru mereka.

Iin termasuk yang pernah diminta oleh orangtuanya untuk bekerja luruh duit, tetapi dengan bantuan seorang sepupunya yang pernah punya pengalaman tersebut, ia berhasil menghindari keinginan orangtuanya.

Realitas pekerja anak tidak hanya dialami oleh anak-anak Kecamatan Bongas. Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat, terdapat sekitar 11 juta anak usia 7-8 tahun yang tak terdaftar di sekolah di 33 provinsi. Pada tahun 2004 terdapat 2,1 juta anak putus sekolah, kebanyakan di jenjang sekolah menengah pertama. Usia mereka 7-17 tahun. Kemiskinan yang terdengar klise, tetapi tidak demikian bagi yang mengalaminya, menjadi faktor pendorong anak keluar sekolah dan bekerja.

Ke luar negeri

Belakangan Iin disibukkan dengan persiapan menjadi tenaga kerja wanita di luar negeri. Ia berencana pergi ke Timur Tengah atau tepatnya ke Abu Dhabi. Gadis tersebut sudah mengurus berbagai kepentingan dokumen melalui sebuah ”PT”, demikian Iin menyebutnya, di daerah Kampung Melayu, Jakarta Timur. ”Sudah tes kesehatan dan paspor-an,” ujar Iin berseri-seri.

Di desanya, bekerja sebagai tenaga kerja di luar negeri sudah menjadi tren. Iin belum menikah dan umurnya baru 17 tahun sehingga usianya pun kemudian dipalsukan menjadi 21 tahun.

Iin belum pandai berbahasa Arab dan hanya sepotong-potong berbahasa Inggris. Ia pun tidak mengetahui berapa gaji yang akan diterimanya nanti. Hanya pakaian dan pembalut yang dipersiapkannya.

”Saya takut bingung soalnya belum tahu bahasa Arab-nya pembalut itu apa,” kata Iin tersenyum, dengan kepolosan anak-anak tersisa, dunia yang sudah ditinggalkannya sejak lama.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/23/00405767/mereka.yang.terpental.bekerja

Monday, September 22, 2008

Paradoks Demokrasi Popularitas

ANALISIS POLITIK
Selasa, 23 September 2008 | 03:00 WIB

J KRISTIADI

The country has all the ingredients for success:

a stable democracy, a wealth of natural resources

and a large consumer market.

But Indonesia is not keeping pace with Asia's booming economies.

Majalah ”Time” edisi 12 September, 2008)


Kutipan dari artikel Michael Schuman di majalah Time di atas mewakili kegetiran rakyat Indonesia. Bangsa Indonesia memiliki semua persyaratan untuk berhasil: demokrasi yang stabil, kekayaan alam yang melimpah, serta pasar yang besar. Akan tetapi, sayangnya Indonesia tidak melesat sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi Asia.

Justru sebaliknya, rakyat merasakan impitan kemiskinan yang kian menindih. Ada anggota masyarakat yang bertahun-tahun mengonsumsi daging sisa-sisa makanan hotel dan restoran yang dimasak bercampur zat pewarna tekstil. Bahkan, ada anggota masyarakat yang benar-benar secara harfiah mengonsumsi sampah buah dan sayuran di tempat pembuangan kotoran.

Sementara di Senayan, terbetik berita para wakil rakyat selain mengantre disuap, berkubang di tengah hujan duit (cek) bernilai ratusan juta, bahkan mungkin miliaran rupiah.

Tragedi yang sangat menyayat hati ini seharusnya membuka mata hati dan nurani para elite politik agar segera bertobat dan berhenti memburu kenikmatan di atas penderitaan rakyat.

Ungkapan yang menyatakan tidak ada asap tanpa api menjadi semakin valid dengan terbongkarnya skandal dan aib yang selama ini dicoba disembunyikan rapat-rapat. Aroma busuk transaksi politik di Senayan, baik itu dalam bentuk uji kepatutan dan kelayakan, dengar pendapat dengan departemen terkait, maupun proses membuat undang-undang, semakin menyengat baunya.

Harapan untuk meningkatkan kualitas para wakil rakyat pada Pemilu 2009 tampaknya tidak besar. Proses perekrutan politik untuk menentukan kandidat anggota parlemen mulai dari tingkat pusat sampai daerah hanya memperkuat bangunan oligarki dan dinasti politik.

Nilai-nilai luhur yang melekat dalam tatanan demokrasi, terutama asas persamaan warga negara, menjadi porak poranda karena amukan badai nafsu untuk mewujudkan ambisi kekuasaan. Mereka yang mempunyai ”darah biru” baik secara biologis-geneologis maupun hubungan patron-klien, memiliki privilese dan derajat lebih tinggi dibandingkan dengan anggota masyarakat lainnya.

Perekrutan politik dilakukan tanpa prinsip meritokrasi dan sangat kental dengan pertimbangan mediokriti (mediocre). Kursi wakil rakyat akan diisi oleh anak, adik, keponakan, dan kerabat para petinggi parpol, pejabat pemerintah, mulai dari presiden, mantan presiden, menteri, hingga pemimpin lembaga tinggi negara. Mereka akan menentukan nasib negara dan bangsa.

Para petinggi partai juga tidak segan-segan memanfaatkan atau menyalahgunakan kepopuleran seseorang meskipun sangat miskin pengalaman. Upaya lain adalah membuat program pencitraan seseorang agar seakan-akan menjadi humanis, peka terhadap penderitaan rakyat, dan berperilaku manis agar dikenal masyarakat.

Hampir dapat dipastikan proyek pencitraan itu tidak dapat menghasilkan kandidat yang mempunyai komitmen terhadap penderitaan rakyat. Popularitas hanya dijadikan daya tarik palsu untuk mencari simpati rakyat.

Namun, sejalan dengan tingkat perkembangan kesadaran politik masyarakat, sebagian publik tidak mudah lagi terkecoh dengan segala hal yang populer.

Kekalahan beberapa kandidat kepala daerah yang dianggap cukup populer, seperti Helmy Yahya, Qomar, Dicky Chandra, dan Syaiful Djamil, merupakan petunjuk bahwa eforia politik pencitraan yang melekat pada demokrasi prosedural sudah sampai ke titik jenuh.

Gejala tersebut juga mulai menegaskan bahwa sekadar populer tidak selalu berkorelasi dengan elektabilitas. Masyarakat semakin matang. Masyarakat juga tidak mudah lagi takluk dengan intimidasi dan tergiur oleh operasi serangan fajar dengan amunisi sembako atau sejenisnya.

Pengalaman tersebut mudah-mudahan semakin menyadarkan pemimpin partai politik kalaupun mencalonkan seseorang yang populer harus disertai dengan persyaratan lainnya. Misalnya, rekam jejak prestasi dan kepedulian terhadap keprihatinan masyarakat, gigih memperjuangkan nasib kaum yang termarjinalkan, hak-hak perempuan, buruh, dan budaya multikultural.

Oleh sebab itu, partai-partai politik harus melanjutkan kaderisasi yang memihak pada kepentingan rakyat serta pemerintahan yang bersih. Parpol tak bisa lagi sekadar memoles orang tanpa bekal yang memadai.

Ranah politik adalah medan perjuangan yang memerlukan investasi jangka panjang untuk menghasilkan kader-kader yang andal. Ibaratnya seperti menanam pohon jati yang kokoh dan kuat, bukan menanam pohon jagung atau pohon pisang yang hanya beberapa bulan berbuah, tetapi kemudian terus mati.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/23/00161895/paradoks.demokrasi.popularitas


Tragedi Kemiskinan

Jumat, 19 September 2008 | 00:19 WIB

Oleh Toto Suparto

Kalau bisa memilih, orang pasti tak mau menjadi miskin. Namun, kemiskinan sering tak bisa dihindari, terutama bagi orang-orang yang dikorbankan akses mereka.

Sebab, hakikat kemiskinan adalah masalah kalah dalam merebut akses terhadap sumber ekonomi. Mereka yang mempunyai kekuatan untuk merebut akses itu lebih mudah terhindar dari kemiskinan. Di negeri ini, kekuatan dimaksud identik dengan kekuasaan.

Dalam kenyataannya, kemiskinan bukan sekadar angka, tetapi menggambarkan hubungan dinamis antara orang-orang dan risiko maupun peluang hidup dalam keseharian. Jika hubungan itu berlangsung timpang, terjadilah kesenjangan.

Dalam satu kalimat bisa dijelaskan, kemiskinan adalah kondisi deprivesi atas sumber-sumber pemenuhan kebutuhan dasar (seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, maupun pendidikan dasar), sedangkan kesenjangan adalah ketidakmerataan akses atas sumber ekonomi yang dimiliki (Bambang Sudibyo, 1995).

Dalam kaitan itu, saat Vandana Shiva (2005) berbicara soal kemiskinan global, setidaknya ada uraian yang patut dipikirkan, yaitu sebaiknya orang-orang (kaya) tidak mengambil secara berlebihan agar orang lain mendapat kesempatan mendapat akses untuk keluar dari kemiskinan. Shiva ingin menjelaskan soal pemerataan akses justru hal penting dalam mengatasi kemiskinan.

Orang-orang kaya, seperti diklasifikasikan Shiva, suatu saat bisa menjadi sumber ekonomi bagi mereka yang miskin. Seperti Saikhon di Pasuruan, Senin (15/9), adalah sumber ekonomi bagi ribuan orang miskin di sekitar tempat tinggalnya. Hari itu Saikhon membagi kelebihannya kepada tetangga. Merujuk Shiva, Saikhon sedang membuka akses bagi orang miskin.

Ternyata niat baik membuka akses malah berbuah tragedi. Ribuan orang berebut akses itu sehingga mereka berdesak-desakan. Mereka yang kuat menang dan yang lemah kalah. Kekalahan itu ditandai dengan 21 orang tewas dan puluhan lainnya luka. Maka, mereka yang lemah siap- siap jadi korban dalam perebutan akses.

Pemerataan akses

Insiden di Pasuruan itu merupakan tragedi kemiskinan. Para pemimpin di negeri ini seharusnya ”terbelalak” bahwa korban akibat ketimpangan akses masih banyak. Para pemimpin layak introspeksi, benarkah pemerintah ”telah berbuat bagi orang miskin”? Sepintas ”ya”, tetapi jika direnungkan lebih dalam ”tidak”. Sepintas ”ya” karena telah terjadi alokasi dana dari sebelumnya dinikmati orang kaya (misalnya subsidi BBM) kepada orang miskin (berupa uang kompensasi). Setelah direnungkan, akan berubah ”tidak” karena uang subsidi yang belakangan ini dikenal sebagai bantuan langsung tunai (BLT) hanya tambal sulam sesaat. Setelah uang BLT terhenti, orang miskin bisa berbuat apa?

Penyelesaian kemiskinan memang tak bisa diprogram sesaat, tetapi harus permanen. Apa pun bentuk program dimaksud, setidaknya diupayakan untuk pemerataan akses. Dari sisi positif, negeri ini membutuhkan banyak Saikhon. Dari sisi negatif, cara yang dilakukan Saikhon berisiko sehingga perlu dibenahi.

Namun, Saikhon setidaknya telah membangun solidaritas sosial karitatif, yakni kepedulian yang lebih mengacu pada penekanan bantuan berwujud kebendaan. Saikhon telah mempraktikkan benih solidaritas, seperti dikemukakan tokoh solidaritas El Salvador, Jon Sobrino, ”Kita benar-benar menjadi manusia apabila mempunyai kepedulian dan tanggung jawab terhadap kehidupan manusia lain, terutama yang menderita dan yang paling miskin maupun tertindas.”

Merawat solidaritas

Insiden di Pasuruan menjadi cermin akan beberapa hal. Pertama, para pemimpin harus membuka mata dan telinga atas tragedi kemiskinan di penjuru negeri. Jangan gegabah bahwa angka kemiskinan telah dikurangi.

Kedua, kita ternyata tak pandai merawat solidaritas. Solidaritas perlu dirawat agar terus tumbuh sebab solidaritas menjadi tali pengikat untuk mengutamakan kepentingan yang lebih luas, bukan kepentingan diri sendiri. Solidaritas melipatgandakan kekuatan kolektif untuk bermasyarakat dan berbangsa dengan mengedepankan kemanusiaan. Kita butuh solidaritas agar kemiskinan yang mendera 16 persen dari total penduduk Indonesia masih ditengok oleh mereka yang bernasib lebih baik.

Ketiga, hati-hati, di negeri ini kian terjadi krisis kepercayaan terhadap kelembagaan yang ada. Idealnya pembagian zakat itu bisa dilakukan lewat institusi yang dikemas dalam berbagai nama. Namun, Saikhon lebih percaya untuk membaginya sendiri meski lemah dalam koordinasi. Ini menjadi bahan telaah bagi para pengelola lembaga atau institusi di bidang apa pun, sudahkah mereka menjalankan kelembagaan itu secara benar?

Toto Suparto Peneliti pada Pusat Kajian Agama dan Budaya Yogyakarta

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/19/00192763/tragedi.kemiskinan

Baca juga:
"Insiden Zakat dan Kemiskinan yang Membelenggu"
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/19/00185827/insiden.zakat.dan.kemiskinan.yang.membelenggu


"Zakat dan Derita Kaum Miskin"
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/19/00180113/zakat.dan.derita.kaum.miskin

Wednesday, September 17, 2008

Sekolah Murah Masih Mungkin di Jakarta

Pendidikan

KOMPAS/LASTI KURNIA / Kompas Images
Murid-murid SD Swasta Bintang Pancasila berkumpul di lapangan sekolah mereka yang berada di perkampungan padat penduduk di Kampung Kebon Tebu, Muara Baru, Penjaringan, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Kamis, 18 September 2008 | 03:00 WIB

Oleh Indira Permanasari

Suara musik pengiring senam kesegaran jasmani memekik dari pemutar kaset. Murid kelas IV SD Swasta Bintang Pancasila, Jakarta Utara dengan semangat mulai menggerakkan tangan meniru Hasan, guru olahraga mereka.

Berdempetan dengan sekolah, dari balkon gubuknya, seorang ibu seakan ikut aba-aba. Ia mengibaskan dan menjemur daster di pagar balkon sambil menonton anak-anak berolahraga.

Suasana tambah meriah dengan kesibukan sebuah warung kecil di halaman itu. Tetapi, murid SD Swasta Bintang Pancasila terbiasa dengan riuhnya sekolah yang tak jauh berbeda dengan kehidupan mereka sehari-hari, di antara impitan gubuk di gang-gang sempit kawasan Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara.

Yang digunakan sebagai ”lapangan olahraga” hanya pelataran berlapis semen. SD Swasta Bintang Pancasila serba terbatas. Cuma ada empat ruangan yang digunakan bergantian, temaram, dan sumpek dengan bangku reyot. Tidak ada fasilitas, seperti perpustakaan dan kamar mandi, layak. Sekolah itu sendiri ”tenggelam” dalam labirin gang sempit dan rumah-rumah rapat semipermanen penduduk yang sebagian berdiri di atas tanah waduk dan tanggul negara.

”Kami swadaya menyelenggarakan pendidikan di sini,” ujar Subur Saryuki, Kepala SD Swasta Bintang Pancasila, Jumat (5/9).

Minim pemasukan

Sekolah itu minim pemasukan. Donatur tetap hanya dari Yayasan Pantai Mutiara Rp 650.000 per bulan sejak tahun 1998. Tidak banyak pula sentuhan negara. Sekolah itu tidak mendapatkan dana biaya operasional pendidikan (BOP) dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan belum memperoleh bantuan operasional sekolah dari Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas).

Padahal, tidak sedikit biaya yang diperlukan. Pengeluaran terbesar guna pembayaran honor guru. Sebanyak 228 murid sekolah itu dididik oleh 11 guru dengan honor sekitar Rp 200.000 per bulan. Ada pula biaya bulanan lain, seperti sewa bangunan, listrik, telepon, air, dan alat tulis kantor.

Sulit mengandalkan pemasukan dari iuran sebesar Rp 12.500 per bulan per anak yang lebih sering menunggak itu. Murid sekolah itu berasal dari keluarga tidak mampu. Orangtua mereka bekerja sebagai buruh, nelayan, pemulung, dan penjual air.

Masih di kawasan Muara Baru, situasi mirip ditemukan di Madrasah Ibtidaiyah Nurul Ikhlas. Madrasah itu juga ”terselip” di antara lorong sempit. Di lembaga pendidikan itu keikhlasan menjadi kata kunci. Sudah dua tahun ini tidak ada donatur dan madrasah itu tidak mendapatkan dana bantuan dari Departemen Agama atau BOP dari Pemprov DKI Jakarta.

Kepala Madrasah Ibtidaiyah Nurul Ikhlas Fadjrul bersyukur madrasahnya menerima BOS dari Depdiknas. Sekitar 170 murid madrasah itu dididik oleh 13 guru berhonor Rp 125.000 hingga Rp 150.000 per bulan. ”Dari murid, kami hanya menerima infak sebesar Rp 10.000 per bulan. Itu pun sebagian tidak membayar,” ujarnya.

Madrasah tersebut berdiri tahun 1996, berawal dari keprihatinan Fadjrul dengan banyaknya anak putus sekolah di sana. Fadjrul berkeliling dari pintu ke pintu mengumpulkan anak-anak itu. Lalu, dibentuk madrasah yang menempati lantai dua Mushala Al-Ikhlas di daerah Marlina, Penjaringan. Sampai kemudian mushala itu dibongkar dan mereka diminta pindah tahun lalu.

Tumpuan warga

SD Swasta Bintang Pancasila dan Madrasah Ibtidaiyah Nurul Ikhlas menjadi tumpuan warga sekitarnya. Sekalipun sekolah dasar negeri menggembar-gemborkan bebas iuran, masih ada ketakutan memasukkan anak ke sekolah negeri. Mereka khawatir ada berbagai biaya lain.

Penghambat lain adalah persyaratan dokumen, seperti akta kelahiran. Sebagian warga di Muara Baru menempati kawasan sisi kali, tanah waduk, dan jalur hijau. Kebanyakan pendatang dari berbagai daerah. Sebagian dari mereka tak memiliki kartu tanda penduduk Jakarta, kartu keluarga, dan anak-anak mereka tanpa akta kelahiran.

Kedua lembaga pendidikan swasta itu menerima peserta didik tanpa banyak pertanyaan. ”Yang terpenting anak mau sekolah dan bisa belajar. Agar mereka bisa ikut ujian, dibuat surat pernyataan di atas meterai Rp 6.000 bahwa nama, tempat dan tanggal lahir, serta nama orangtua tidak berubah,” kata Fadjrul.

Subur Saryuki, Kepala SD Swasta Bintang Pancasila, bertekad agar sekolah itu tetap berjalan.

Perjalanan kedua sekolah itu untuk meningkatkan mutu pendidikan masih panjang. Namun kehadirannya menjadi penyejuk buat masyarakat papa. Sekolah itu pun menunjukkan bahwa masih mungkin menyelenggarakan sekolah murah di Jakarta.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/18/0149461/sekolah.murah.masih.mungkin.di.jakarta

Saturday, September 13, 2008

Bersabar hingga Tuntas


KOMPAS/AGUS SUSANTO / Kompas Images
Warga memenuhi warung pinggir jalan sembari menikmati buka puasa di depan Masjid Agung Sunda Kelapa, Jakarta Pusat, Kamis (4/9). Lokasi yang berdekatan dengan masjid menjadi pilihan warga untuk berbuka puasa yang dilanjutkan sholat di masjid tersebut.

Minggu, 14 September 2008 | 01:27 WIB

Ninuk M Pambudy & Ilham Khoiri

Di tengah riuhnya ajakan untuk berkonsumsi banyak-banyak seperti ditawarkan iklan di televisi dan tawaran diskon berbagai pusat belanja, Nunung (47) tak punya banyak pilihan kecuali tetap harus hidup hemat.

”Untuk buka dan sahur ya seadanya. Saya tetap harus mikir punya uang untuk modal jual gorengan,” kata Nunung. ”Enggak bisa diambil untuk makan (lebih), nanti modalnya bagaimana. Ini saja sudah seminggu enggak jualan. Anak-anak lagi sakit.”

Ibu tujuh anak, dua di antaranya mandiri, yang tinggal di Kampung Beting, Tanah Merah, Kecamatan Koja, Jakarta Utara, itu pencari nafkah utama keluarga. Nunung berjualan tahu, tempe, dan sukun goreng. Suaminya pensiun dari pabrik minyak dan penglihatannya tak baik meski masih bisa membantu pekerjaan rumah tangga.

Setiap bulan dia harus bayar kontrak kamar Rp 400.000. Meski begitu, Nunung yang datang ke Jakarta dari Semarang 25 tahun lalu itu tidak mengeluh. Dia jalani hidup dengan penuh harapan, juga dalam situasi berat saat ini.

”Kalau punya modal saya ingin bisa jual bolu ketan hitam. Modalnya enggak mahal, sekarang lagi laku dan bikinnya gampang,” tambah Nunung.

Bagi pasangan Wartinah (47) yang berjualan makanan kecil di Ciputat, Tangerang, dan suaminya, Tarmizi (46), satpam di lokasi tak jauh dari tempat Wartinah berdagang, Ramadhan adalah bulan pembawa berkah.

Berkah juga dalam arti suami-istri dengan lima anak yang sebagian putus sekolah SMP itu dapat hidup lebih hemat lagi. Jika hari biasa mereka harus makan tiga kali, saat bulan puasa mereka cukup makan dua kali, saat sahur dan buka.

Penghasilan Wartinah yang Rp 10.000 sehari digabung dengan pendapatan Tarmizi Rp 500.000 sebulan harus disisihkan untuk bayar kamar kontrakan Rp 350.000 sebulan. Dengan sisa sekitar Rp 450.000 sebulan itulah keluarga itu memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Menu makan sahur dan buka puasa nasi, sayur bening, dan lauk seadanya. Kadang ikan asin, kadang tempe, kadang bakwan. ”Kami tak mampu beli makan lebih dari itu,” kata Wartinah.

Belajar sabar

Keluarga Nurhayati (38) dan Asman (40) di Pesanggrahan, Bintaro, Jakarta Selatan, tak jauh berbeda. Sayur labu dengan lauk tahu atau tempe goreng, kadang-kadang telur, jadi teman berbuka, sementara untuk sahur bisa nasi, sayur, dan ikan asin.

Karena mengidap diabetes, Nurhayati tak bisa membantu suaminya menambah penghasilan keluarga. Kehidupan suami-istri dengan tiga anak—dua masih bersekolah di SMP dan SD dan yang terbesar sudah lulus SMK—tergantung dari penghasilan tak tentu Asman sebagai partner main tenis.

”Bulan puasa ini penghasilan bukan cuma turun, tetapi jatuh,” kata Asman. Pasalnya, selama Ramadhan langganannya yang berpuasa ikut puasa main tenis.

Buat mereka puasa artinya benar-benar menahan nafsu. ”Menahan nafsu buat belanja pakaian. Buat saya orang kecil belanja pakaian cuma sekali setahun, waktu Lebaran. Untuk anak-anak harus diadain. Anak yang paling kecil sudah nangis melulu. Katanya sudah puasa 10 hari, sekarang minta baju baru buat Lebaran. Belum tahu bagaimana caranya, paling enggak harus ada untuk yang kecil,” kata Asman yang tinggal sejarak 15 meter di pinggir Kali Pesanggrahan dan selalu yang pertama terkena banjir bila kali itu meluap.

Yang jelas, harga kebutuhan sehari-hari sudah naik begitu puasa menjelang. Sunarti (43), buruh cuci baju di Sukmajaya, Depok, dengan penghasilan sekitar Rp 200.000 sebulan harus hidup superhemat karena harga gas elpiji ukuran 3 kg menjadi Rp 17.000, sementara minyak tanah Rp 10.000 per liter. Padahal, suaminya, Suradi (45), hanya bisa membawa pulang uang Rp 50.000 sebagai buruh bangunan bila sedang ada pekerjaan.

”Yang kelihatan di televisi itu teori doang. Kenyataannya orang kecil kayak saya masak air pakai kayu bakar karena gas mahal,” tambah Asman.

Puasa melatih keluarga-keluarga ini bersabar. Sunarti tidak punya pikiran aneh-aneh, seperti belanja ke mal. ”Yang penting puasa tuntas. Kalau pas Lebaran punya uang ya beli baju baru. Kalau lagi bokek, pakai baju yang sudah ada saja,” kata Sunarti.

Wartinah kadang ingin seperti orang yang bisa belanja ke mal. ”Tetapi, kami kan tidak punya uang, ya nonton saja. Puasa membuat kami menahan nafsu biar tidak iri sama orang yang punya rezeki lebih,” kata dia.

Bersabar seperti menjadi mantra yang harus sering diucapkan orang-orang yang penghasilannya pas-pasan.

Brata (36), tukang parkir di Ciputat, yang terbiasa makan sehari dua kali, merasa puasa memberi sedikit ketenangan karena orang banyak bicara soal sabar. ”Mau bagaimana lagi orang kecil seperti saya ini kalau tidak sabar,” kata dia.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/14/0127424/bersabar.hingga.tuntas

Friday, September 12, 2008

Rakyat dan Para Wakilnya

Manakah lebih enak menjadi "tuan" atau menjadi "wakil". Pasti kita sepakat: tentulah menjadi "tuan". Tetapi kita keliru! Lihat apa yang ditulis oleh BERNAS di bawah ini. Dua nasib yang berbeda luar biasa antara "si tuan" dan "si wakil"; antara rakyat yang sebetulnya menjadi "tuan" dan para anggota legislatif yang sebetulnya hanya menjadi "wakil" dari rakyat itu. Inilah salah satu kontradiksi terjadi di negara kita, ketika semuanya tidak lagi jelas, ketika nurani sudah tidak lagi berbunyi. (ig. budiono).

Dimuat dirubrik
Bebas Bicara, BERNAS Jogja, Jumat/12 September 2008

Bank Duniamenetapkan garis batas kemiskinan secara internasional US$ 2 per hari. Akibatnya 50 % rakyat Indonesia masuk dalam kategori miskin. Mudah bagi para pejabat menasehati warga agar sabar menghadapi belitan krisis ekonomi. Karena selama ini memang rakyat sudah terkondisi hidup prihatin. Terlebih paska kenaikan harga elpiji, kaum Ibu-lah yang paling repot mengatur anggaran belanja bulanan. Ironisnya "kebijakan" tersebut diberlakukan setelah rakyat dipaksa secara sistemik beralih dari minyak ke gas.

Lantas bagaimana dengan kehidupan para wakil rakyat? Apakah mereka mewakili kemiskinan dan penderitaan sama-sebangun seperti yang dialami mayoritas rakyat di akar rumput?

Menurut data terkini Departemen Keuangan RI gaji pokok anggota DPR (hanya) Rp. 4.200.000/bulan. Tapi masih ditambah aneka tips. Antara lain tunjangan jabatan Rp 9.700.000/bulan, uang paket Rp 2.000.000/bulan, dan beras Rp 30.090/jiwa/bulan bagi yang sudahberkeluarga.

Kemudian ada juga biaya operasional sehari-hari. Seperti untuk komunikasi intensif sebesar Rp 4.140.000/bulan, langganan listrik dan telepon Rp 4.000.000, rapat pansus Rp 2.000.000/undang- undang, dan fasilitas kredit mobil dinas Rp 70.000.000/orang/per periode (2004-2009).

Selain itu, bila tugas ke luar kota/daerah mereka memperoleh pula ongkos dan bekal
perjalanan. Rinciannya ialah sbb, tiket pulang-pergi sesuai daerah tujuan masing-masing, uang harian untuk daerah tingkat I Rp 500.000/hari, sedangkan untuk daerah tingkat II Rp 400.000/hari. Masih ditambah anggaran pemeliharaan Rumah Jabatan Anggota (RJA). RJA di bilangan Kalibata, Jakarta Selatan Rp 3.000.000/rumah/tahun dan RJA Ulujami di daerah Jakarta Barat Rp 5.000.000/rumah/tahun plus perabotan rumah lengkap (TV, Kulkas, Kipas Angin, Dispenser, Mesin Cuci, dll).

Menyaksikan nominal dan fasilitas di atas, tak heran bila banyak orang bernafsu mengikuti Pileg (Pilihan Legislatif) pada Pemilu 2009 mendatang. Tak terkecuali para selebriti. Para politisi dadakan tersebut tidak memikirkan kesejahteraan konstituen sama sekali. Yang penting
ialah bagaimana gambar mereka dicoblos saat hari H dengan mengandalkan popularitas semu.

Padahal saat ini begitu banyak aset negara berpindah tangan ke pihak asing. Industri telekomunikasi kita sahamnya dikuasai Singapura, Malaysia, dan debutan baru Saudi Arabia. Raksasa RRC pun leluasa menggerus infrastruktur industri lokal dan pasar tradisional kita, yakni dengan mengekspor dari sayur-mayur, bolam lampu, kain batik, dan sampai celana dalam dengan harga dumping. Hal ini - menurut kesepakatan Millenium Development Goals (MDG) - termasuk kategori unfair trade.

Oleh sebab itu, ruh koperasi mesti dihidupkan kembali. Kita tidak membutuhkan Corporations (MNC/TNC) dengan mitos trickle down effect-nya. Kini zaman kebangkitan Coooperation, kesejahteraan seluruh warga negara musti menjadi tujuan bersama. Uni Eropa ialah turunan dari Cooperative Society-nya Bung Hatta.

Selain itu. secara lebih mendalam kita perlu menjalin kembali hubungan batin dengan Ibu Pertiwi. Menyitir pendapat Anand Krishna, negara ini bukan tanah dan air semata, tapi merupakan Bunda Nusantara."

Thursday, September 11, 2008

Menakar Ekonomi Petani Tembakau

POSISI TAWAR

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG / Kompas Images
Petani di daerah Kledung, Temanggung, menjemur daun tembakau di lapangan sepak bola.

Jumat, 12 September 2008 | 03:00 WIB

Maria Hartiningsih dan Susi Ivvaty

Selama puluhan tahun industri rokok mengklaim bahwa tanaman tembakau menjanjikan masa depan cerah bagi petani, masyarakat, dan negara. Namun, kenyataannya, nasib sebagian besar petani berbanding terbalik dengan industriawan rokok, yang beberapa di antaranya bahkan masuk dalam daftar orang terkaya di Indonesia.

Selama dua bulan sejak akhir Juli, kegiatan sebagian besar warga Temanggung dan beberapa kabupaten lain di Jawa Tengah terkonsentrasi pada panen tembakau. Cuaca tak sebaik tahun lalu, tetapi lebih baik daripada tiga-empat tahun sebelumnya. Semua berpesta. Urusan sembilan sampai 10 bulan ke depan adalah urusan nanti.

”Kalau panen selesai, ya menanam sayuran untuk menyambung hidup,” kata Ribut (32), petani tembakau dari Kecamatan Kledung.

Hasil bertani sayur-mayur tak seberapa. Kubis dan kubanan lain (rebusan untuk teman nasi), juga daun bawang, harganya sangat fluktuatif, antara Rp 200 dan Rp 1.000 per kilogram, tergantung dari jumlah pasokan, tetapi harga riil sebenarnya lebih ditentukan para tengkulak.

”Kadang 1 kilogram hanya laku Rp 200,” kata Astrifah (30), istri Ribut. Kalau bagus, bisa dapat 3 ton saat panen tiga bulanan, hasilnya tak lebih dari Rp 600.000.

Pasangan Ribut dan Astri menyandarkan kebutuhan setahun, khususnya untuk pendidikan anak-anak, dari hasil panen tembakau. Tahun ini hasilnya diharapkan mencapai 70 keranjang, dengan bobot keringnya berkisar 35-40 kilogram per keranjang. Harga tembakau jenis C terbaik pada awal Agustus itu mencapai Rp 40.000 per kilogram.

Akan tetapi, jangan dibayangkan petani tembakau seperti Ribut mendapat keuntungan berpuluh juta rupiah yang membuat hidup mereka sejahtera.

Ekonomi utang

Siswanto, petani dan makelar tembakau, mengatakan, dari penjualan satu keranjang, petani mendapat keuntungan bersih Rp 1 juta. Rata-rata petani menghasilkan 25 keranjang atau Rp 25 juta per musim tembakau.

Akan tetapi, ada utang yang harus dibayar saat panen. ”Bunganya nglimolasi, 50 persen, malah ngwolulasi, 80 persen setahun,” ujar Wardi Hadiwardoyo dari Desa Tanurejo, Kecamatan Parakan. Mantan guru SD itu mulai menanam tembakau sejak tahun 1976 dan sempat mengalami zaman keemasan tembakau.

Bardjono (47) memberi perincian lebih jelas. Hasil panennya tahun ini ia perkirakan sekitar Rp 35 juta bersih. Dari hasil makelaran, ia menerima bersih sekitar Rp 10 juta. Jadi, jumlah seluruhnya sekitar Rp 45 juta.

”Tetapi tahun lalu saya utang Rp 25 juta, harus kembali Rp 37,5 juta,” ujar ayah dua anak itu. Bardjono ikut menjadi makelar tembakau sejak 15 tahun lalu karena hasil panen saja tak bisa diandalkan.

”Utang dibayar waktu panen, tutup buku, lalu utang lagi. Sisa hasil panen sekarang antara Rp 7,5 juta dan Rp 10 juta dipakai modal menanam sayuran. Untuk menanam tembakau modalnya dari hasil menanam sayuran ditambah utang,” ujarnya.

Dengan pola seperti ini bisa dipahami kalau ia tak bisa menyekolahkan dua anaknya sampai lulus sekolah lanjutan tingkat atas karena kehabisan dana. Namun, pendidikan formal, meski katanya dicita-citakan, tampaknya tak berpengaruh benar.

”Banyak yang lulus sekolah tinggi ndak dapat kerjaan,” sergahnya, ”Anak saya sekarang mulai belajar berdagang tembakau.”

Lalu, apa yang ia dapatkan dari tembakau selama ini? ”Yang penting dalam hidup ini adalah membayar utang. Ini tanggung jawab, biar terus dipercaya. Kalau sudah lunas, tutup buku, ambil lagi buat modal. Yen mboten utang nggih mboten nggota,” katanya, kalau tidak berutang, tak bisa kerja cari makan.

Kalau tidak mau bayar bunga utang, kata Bardjono, hasil panen harus dijual kepada si pemberi utang, dibeli dengan harga antara Rp 15.000 dan Rp 20.000 per kilogram dari harga di luar (yang sebenarnya juga ditetapkan oleh pedagang yang lebih besar) sebesar Rp 35.000-Rp 40.000. Karena itu, banyak petani memilih membayar bunga.

Biasanya mereka berutang kepada juragan atau pedagang besar tembakau. ”Dulu ada bank beroperasi di sini, tetapi pinjamnya harus Rp 100 juta, harus ada agunan. Repot,” katanya.

Utang dengan bunga 50-80 persen, oleh banyak petani, dianggap sebagai sesuatu yang ”biasa”. Malah seperti dikatakan Bandowo, petani dari Desa Lamuk, wilayah yang menghasilkan tembakau Srintil, ”Utang itu kan untuk pantes-pantes.”

Menurut Wardi, kebiasaan mengutang dengan bunga tinggi itu sudah seperti watak, sifat yang dibawa dari lahir. Katanya, ”Orang di sini ibaratnya madhang, makan harus pake lauk.” Maksudnya, kalau pegang uang, semua mau dibeli, lupa menyimpan modal untuk menanam lagi. Kalau uang habis, ngutang lagi. ”Begitu terus. Ndak bisa dikasih tahu supaya ndak ngutang,” kata Wardi.

Di balik soal utang-mengutang ini terselip tragedi. Bardjono bercerita, pada akhir tahun 1980-an ada petani gantung diri karena tak bisa membayar utang. Tembakau rajangannya tak laku dijual, utang menumpuk, dan setiap hari dikejar penagih utang.

Menjadi ”bumper”

Tak banyak petani tembakau mampu melihat jauh ke depan seperti Wardi. Dengan lahan 3,5 hektar yang ditanami tembakau dan tanaman lain, mereka berhasil menyekolahkan anak-anaknya sampai lulus universitas dan kini bekerja di luar kota.

Pada banyak petani (Baca: Tenggelam Sampai ke Leher, hal 55) tampaknya kelanjutan berproduksi lebih penting ketimbang hasil. Tak heran ketika dikomentari bunga utang setahun itu terlalu besar, Ribut menyergah, ”Masih untung ada yang ngasih utang.” Astrifah, istrinya, menimpali, ”Juragan kami baik sekali. Ia menyumbang besar kalau kami punya hajat.”

Mugi Utomo, pedagang tembakau dengan gudang berkapasitas 10.000 keranjang, menceritakan hubungan baiknya dengan petani. Ia punya enam ”tentara”, istilah untuk pencari tembakau ke desa-desa. Mereka adalah para mantan bakul tembakau. Katanya, pihak pabrik mensyaratkan jenis produk tembakau tertentu yang dibutuhkan.

Perusahaan rokok sekarang membantu memberdayakan petani agar produk tembakaunya memenuhi persyaratan yang dibutuhkan. Bowo, petugas lapangan suatu perusahaan sarana produksi pertanian (saprodi), mengatakan, yang dibina tidak hanya budidaya tanaman, tetapi juga menciptakan sistem supaya petani tahu kebutuhan dan kualitas produknya. ”Tanaman tembakau petani yang dibina daunnya besar-besar dan lahannya subur,” kata Mugi.

Begitu pola kemitraan berjalan. Perusahaan membeli tembakau sesuai dengan kesepakatan harga dengan petani meskipun harga di pasar anjlok. ”Tujuannya perlindungan harga. Ini juga cara memotong tengkulak agar petani bisa langsung berhubungan dengan pabrik,” ujar sosiolog Alex Irwan.

Namun, ”budi baik” pemberdayaan tetap tak bisa diandaikan. Kesetaraan posisi antara pihak yang memberdayakan dan yang diberdayakan harus senantiasa diuji.

Selama ini nasib petani tembakau senantiasa berada di ujung tanduk karena mereka tak punya posisi tawar. Harga dan penentuan kualitas tembakau merupakan otoritas industri rokok melalui para grader. Mengutip Bardjono, ”Yang makin kaya ya para tauke itu. Kalau petani, ya tetap saja kere.”

Penilaian kualitas dan penentuan harga secara sepihak juga menyebabkan banyak pedagang menengah hancur dilibas utang sampai harus menjual harta bendanya, seperti terjadi tahun 2005. ”Rumah ini dibeli dari milik juragan mbako yang bangkrut,” ujar seorang penjaga rumah seluas 300 meter persegi di atas lahan sekitar 1.000 meter persegi, tak jauh dari alun-alun kota Temanggung.

Ekonomi petani tembakau adalah ekonomi tanpa posisi tawar. Namun, mereka pula yang paling mudah digunakan sebagai bumper untuk melakukan protes terkait dengan kepentingan para majikan pabrik rokok. Sungguh ironis!

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/12/01241332/menakar.ekonomi.petani.tembakau

Kata "Merdeka" Pertama Terbit di Medan

Sejarah Pers

KOMPAS/ANDY RIZA HIDAYAT / Kompas Images
Dua pegawai beraktivitas di ruang utama percetakan Sjarikat Tapanoeli. Percetakan yang pernah berjaya sebelum era kemerdekaan ini tetap beroperasi. Sjarikat Tapanoeli kini mencetak kartu undangan, faktur, dan dokumen kantor lain.
Jumat, 12 September 2008 | 03:00 WIB

Jauh sebelum proklamasi kemerdekaan republik ini, kata ”merdeka” sudah menjadi slogan sebuah koran di Medan, Sumatera Utara. Belum ada satu koran pun yang berani menyatakan slogan kemerdekaan saat itu. Namun, Benih Merdeka sudah memulainya di Medan tahun 1916.

Kata ”merdeka” bahkan menjadi nama surat kabar harian yang pada awal penerbitannya dipimpin Mohammad Samin. Benih Merdeka bukan saja nama sebuah koran, melainkan juga menjadi awal tersebarnya semangat pembebasan dari belenggu penjajah.

Kepala Pusat Studi Sejarah dan Ilmu Sosial (Pussis) Universitas Negeri Medan (Unimed) Ichwan Azhari mengatakan, Benih Merdeka menjadi pelopor penanaman ideologi kemerdekaan kepada pembacanya sebelum proklamasi.

Dari hasil penelitiannya, periode 1885-1942 terdapat 133 media cetak terbit di Sumut. Hanya Benih Merdeka yang dengan tegas mencantumkan kata ”merdeka”. Terbitnya Benih Merdeka di Medan sekaligus membuktikan sejarah perlawanan penjajahan tidak terpusat di Jawa saja. Di Sumatera Utara, perlawanan melalui pers berlangsung seru.

Dalam semboyannya, Benih Merdeka menyatakan sebagai koran Orgaan Oentoek Menoentoet Keadilan dan Kemerdekaan. Koran ini telah berjuang untuk kemerdekaan sejak 29 tahun lebih awal dari proklamasi. Pada September 1919, Benih Merdeka memuat pantun seorang penulis dengan nama samaran Van Arde. Pantun itu berbunyi ”Hindia bukan tanah wakaf, Hindia bukan nasi bungkus, Hindia bukan rumah komedi”.

Akibat pemuatan pantun ini, Pemerintah Belanda marah. Belanda memerkarakan Mohammad Yunus yang menjadi pimpinan saat itu. Muhammad To’ Wan Haria dalam bukunya, Sejarah Perjuangan Pers Sumatera Utara, menulis, pemerintah kolonial menilai Benih Merdeka melanggar ranjau pers. Namun, delik ini kandas karena tuduhan pelanggaran pers kepada Benih Merdeka tidak terbukti.

Surat kabar ini tetap terbit setiap hari, kecuali hari Senin, Jumat, dan Minggu. Koran ini dijual dengan harga 2,5 gulden per tiga bulan. Sebagaimana media cetak umumnya, koran ini juga memuat iklan aneka produk, salah satunya iklan buku. Dalam edisi Selasa 2 Juli 1918, Benih Merdeka mengiklankan sebuah buku Sekoentoem Boenga Jang Bermala. Dalam iklannya dibumbui dengan kalimat Satoe tjerita jang penting soedah terdjadi di Sumatra Timoer.

Buku yang diiklankan ini jelas bercerita tentang keadaan yang berkembang di Sumatera Timur (saat ini terdiri atas Kabupaten Langkat, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Simalungun, dan Asahan, Labuhan Batu). Iklan ini sekaligus bukti pembaca koran ada di kawasan Sumatera Timur.

Meski banyak dibaca di Sumatera Timur, Benih Merdeka terbukti menjadi pelopor di seluruh wilayah Sumut. Kata ”merdeka” selanjutnya dipakai penerbit koran lain. Berdasarkan data dari Museum Pers Sumatera Utara, di Padang Sidimpuan pada 1919 terbit surat kabar Sinar Merdeka. Koran ini dipimpin oleh Parada Harahap yang kemudian dikenal sebagai tokoh pers. Dalam dua tahun penerbitannya, 12 kali Pemerintah Belanda memperkarakan tulisan koran ini.

Hukuman

Parada Harahap menerima hukuman. Sekitar tujuh bulan lamanya dia keluar masuk penjara. Parada selanjutnya bergabung dengan koran Benih Merdeka yang berubah namanya menjadi harian Merdeka. Kata ”merdeka” pada awal kemerdekaan selanjutnya menjadi nama surat kabar Soeloeh Merdeka terbitan Medan. Koran yang dipimpin Jahja Jakoeb ini sebelumnya bernama Soematera Baroe.

Sejarah perjuangan pers di Sumut ikut melahirkan tokoh pers nasional, di antaranya Parada Harahap, Adinegoro, Mohammas Said, Mohammad Samin, dan Dja Endar Muda. Mereka benar-benar menjadi pejuang pers ketika Indonesia belum merdeka. Tulisan-tulisan mereka membuat telinga petinggi Belanda memerah.

Pada tahun 1931, Pemerintah Hindia Belanda berusaha mengekang perkembangan pers di Nusantara. Gubernur Jenderal Hindia Belanda J de Jonge pada 7 September 1931 mengeluarkan aturan pemberangusan pers. Aturan itu kemudian dikenal dengan Persbreidel Ordonnantie. Salah satu keputusannya menyebutkan, seorang gubernur jenderal bisa melarang penerbitan media dengan alasan tertentu. Aturan ini termuat dalam Javasche Courant pada 11 September 1931 dan berlaku esok harinya setelah larangan itu termuat.

Langkah Pemerintah Hindia Belanda itu tidak lain untuk menjinakkan surat kabar, termasuk di Sumut. Jumlah 133 media cetak yang terbit di Sumut dalam kurun waktu 57 tahun merupakan hal yang luar biasa. Tradisi intelektual ini justru tumbuh jauh dari pusat konsentrasi Belanda di Jawa.

Sebagian media cetak yang terbit di Sumut sebelum kemerdekaan mewakili aneka ragam suku bangsa. Berikut ini sejumlah nama koran yang mewakili suku bangsa periode 1885-1942: Deli Courant, Pewarta Deli, Soeara Tapanuli, Poesaka Karo, Soeara Batak, Soeara Bondjol, Mandailing, Tjin Po, Hoa Kiaw, dan Soeara Djawa.

Terbitnya koran-koran ini sekaligus juga menepis anggapan miring kepada kelompok suku tertentu. Soeara Djawa, Tjin Po, dan Hoa Kiaw menegaskan bahwa bangsa Jawa dan Tionghoa yang ada di Medan dan sekitarnya bukan hanya sebagai kuli kontrak.

”Tradisi intelektual mereka terbukti berkembang saat perkebunan tembakau mencapai kejayaan,” katanya.

Maraknya penerbitan surat kabar di Medan dan Sumut umumnya tidak lepas dari berkembangnya industri perkebunan di pesisir timur. Surat kabar ”angkatan pertama” lahir dari pendanaan tauke tembakau.

Yang pertama

Surat kabar pertama kali yang terbit di Medan waktu itu bernama Deli Courant. Surat kabar berbahasa Belanda ini dipimpin Jacques Deen yang terbit pertama kali pada 18 Maret 1885.

Abdurrachman Surjomihardjo dan Leo Suryadinata dalam buku Sejarah Pers Indonesia menyebut Deen sebagai seorang miliuner tembakau Deli. Lima tahun berikutnya muncul Sumatra Post yang juga berbahasa Belanda. Keduanya bersaing merebut pembaca sampai menurunkan harga koran.

Mereka memasukkan Deli Courant dan Sumatra Post sebagai surat kabar Belanda tipe C. Surat kabar kategori ini mempunyai tiras 2.000 sampai 3.000 eksemplar per hari.

Dalam perkembangannya, pers berbahasa Melayu mulai muncul tahun 1902 di Medan. Adalah Pertja Timor yang mengawali surat kabar berbahasa Melayu meskipun dicetak di percetakan milik orang Belanda bernama J Hallerman. Koran ini terbit setiap hari Senin dan Kamis dengan Pemimpin Redaksi Mangaradja Salembuwe.

Dalam penerbitannya, surat kabar ini pernah membuat Sultan Maimoen Al Rasyid marah. Salembuwe mengkritik investasi asing besar-besaran di tanah Deli. Dia menggambarkan adanya ketidakadilan dalam investasi ini.

Hasil investasi ini salah satunya untuk membangun Gedung Kerapatan nan megah. Tulisan ini mendorong sultan mendatangi Kantor Pertja Timor untuk menemui penulisnya. Sayangnya, jejak gedung kerapatan kini hanya tinggal puing menara di Jalan Brigjen Katamso, Medan.

Jejak sejarah pers Sumut sayangnya tidak pernah tersimpan rapi di satu tempat. Sejarawan Ichwan Azhari bahkan banyak menemukan koran lama dalam bentuk aslinya di Belanda. Di Medan, sebagian data itu tersimpan di Museum Pers Sumut, Jalan Sei Alas Nomor 6.

Betapa berharganya lembaran-lembaran koran. Dari sana sebuah cerita perjuangan kemerdekaan bangsa terekam. Sebagaimana kehadiran jurnalisme untuk kepentingan demokrasi. (Andy Riza Hidayat)

Merebut Air, Merampas Hidup

KONFLIK

KOMPAS/AHMAD ARIF / Kompas Images
Sebuah papan pengumuman berisi penjualan tanah berikut mata air banyak ditemui di kawasan Cicurug, Sukabumi, Jawa Barat. Penjualan mata air ini merupakan dampak dari privatisasi air, yang hanya mendudukkan air dari fungsi ekonomi semata dan menafikan fungsi sosial air .

Jumat, 12 September 2008 | 03:00 WIB

Diberkahi kelimpahan mata air, warga Cicurug dan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, kini kesulitan air. Puluhan perusahaan air minum menyedot air di daerah yang dikelilingi tiga gunung ini, mencipta sumur-sumur dan sawah yang kering.

un (43), warga Dusun Cimelati, Kelurahan Pesawahan, Cicurug, menuturkan, keluarganya terpaksa menggunakan limpahan air irigasi sawah untuk keperluan hidup sehari-hari. ”Kami tak mendapat jatah air bersih,” katanya.

Warga Dusun Cimelati mendapat air sisa perusahaan. Puluhan mata air di Cicurug telah dibeli oleh perusahaan air minum dalam kemasan, termasuk di Cimelati.

”Kami hanya mendapatkan air sisa setelah dipakai perusahaan. Debitnya tak cukup untuk seluruh warga,” kata Endang (50), anggota mitra cai (organisasi pengelola air) Dusun Cimelati.

Perusahaan air tak hanya memanfaatkan mata air dan air permukaan, tetapi juga mengebor air tanah dalam sehingga terjadi penurunan muka air tanah. Akibatnya, sumur-sumur warga mengering.

Fenti Samsudin (47), warga Desa Babakan Pari, Kecamatan Cidahu, menuturkan bahwa sumurnya sedalam 15 meter kekeringan saat kemarau. ”Sebelum sumber air dikuasai oleh perusahaan air, sumur milik warga dengan kedalaman 3 meter tetap berisi air pada musim kemarau,” kata Fenti.

Kini, untuk memenuhi kebutuhan minum sehari-hari, Fenti dan ribuan warga yang tinggal di kaki kaki Gunung Salak, Gunung Halimun, dan Gunung Gede- Pangrango ini terpaksa membeli air bersih.

Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan Kecamatan Cicurug Cece Suparman mengemukakan, selain keringnya sumber air bersih untuk keperluan konsumsi, saluran irigasi juga kering saat kemarau.

”Sepuluh tahun terakhir, sawah kami selalu kekeringan setiap kali musim kemarau. Kami hanya bisa menanam padi sekali setahun. Sebelumnya masih bisa tanam padi dua kali setahun,” kata Cece.

Mengalir jauh

Air dari Sukabumi mengalir jauh hingga ke luar Pulau Jawa, melalui sedikitnya 200 merek air minum dalam kemasan (AMDK) yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan yang menggunakan bahan baku dari air permukaan dan air bawah tanah.

Air permukaan bisa diperoleh dengan menggali sumur kurang dari 50 meter atau langsung menggunakan mata air yang banyak terdapat di daerah ini. Adapun air tanah dalam diperoleh dengan mengebor sumur lebih dari 60 meter dengan terlebih dahulu menembus lapisan kedap air.

Kepala Seksi Data dan Informasi Balai Konservasi dan Pemanfaatan Sumber Daya Pertambangan dan Energi Wilayah Pelayanan I Cianjur Tedy Rushady mengatakan, pada Juni 2008 tercatat ada 13 perusahaan AMDK yang menggunakan air tanah dalam di wilayah Kabupaten Sukabumi. Sebetulnya, tercatat ada 17 perusahaan AMDK yang memiliki izin operasi di Kabupaten Sukabumi, tetapi empat perusahaan di antaranya sedang tidak melakukan produksi pada tahun 2008 ini karena berbagai sebab.

Selain perusahaan AMDK, di Sukabumi juga terdapat puluhan perusahaan yang produksinya berbasis air, misalnya teh botol dan susu cair. Perusahaan-perusahaan ini berebut potensi air sebanyak 34 juta meter kubik per tahun di Cekungan Sukabumi. Perusahaan yang kebanyakan berbasis di Kecamatan Cicurug, Cidahu, Parungkuda, dan Nagrak itu menyedot rata-rata 449.141 meter kubik air per bulan atau 5,389 juta meter kubik per tahun air tanah dalam.

Air mata rakyat

Kendati jutaan meter kubik dirongrong dari alam bawah tanah Sukabumi, pemerintah setempat hanya mendapat pemasukan yang kecil. Pada Juni lalu, 17 perusahaan AMDK itu membayar pajak penggunaan air ke kas Provinsi Jawa Barat sebesar Rp 1,503 miliar. Pajak yang dibayarkan oleh 17 perusahaan AMDK selama setahun ke kas daerah Jawa Barat hanya Rp 18,039 miliar per tahun.

Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sukabumi Priyo Indrianto mengatakan, Kabupaten Sukabumi mendapat porsi 70 persen dari pajak yang dibayarkan perusahaan AMDK. Berarti, dalam setahun Kabupaten Sukabumi hanya mendapat retribusi penggunaan air tanah dalam dari perusahaan AMDK itu sekitar Rp 12,627 miliar.

Uang hasil penyedotan air ini tak mengalir jauh. Masyarakat sekitar perusahaan AMDK itu tetap hidup miskin. Infrastruktur lingkungan seperti jalan di dalam desa juga hancur-hancuran.

Desa-desa yang dulu menjadi produsen padi dan ikan air tawar sekarang dilanda kekeringan setiap kali musim kemarau. Padahal, pada musim kemarau, perusahaan-perusahaan itu justru meningkatkan produksinya karena peningkatan permintaan pasar.

Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Sukabumi Edwin S Machmoed mengatakan, selama ini perusahaan-perusahaan diperiksa secara periodik enam bulan sekali. ”Tak ada yang menyalahi aturan,” katanya.

Setiap kali pemeriksaan, petugas memastikan apakah perusahaan mengambil air sesuai debit yang diizinkan. ”Kami hanya mengizinkan pengambilan air maksimal 35 persen dari potensi di sumur itu,” ujar Edwin.

Edwin menampik keluhan warga di sekitar perusahaan AMDK yang menuding kekeringan sumber air mereka terjadi karena penyedotan air tanah dalam itu. ”Air tanah dalam itu berbeda dengan air permukaan karena dipisahkan oleh lapisan kedap air. Jadi, tidak ada korelasi antara kekurangan air dan penggunaan air tanah dalam oleh perusahaan AMDK,” kata Edwin.

Masalahnya adakah debit air tanah dalam yang sudah disedot itu begitu saja tergantikan? Jika air yang meresap di daerah hulu lebih sedikit daripada yang sudah disedot, potensi 34 juta meter kubik air per tahun itu akan segera lenyap. Air yang meresap ke dalam tanah baru bisa menjadi air tanah dalam setelah lebih dari 30 tahun. Apalagi, tak ada yang peduli terhadap perbaikan daerah tangkapan air di tiga gunung yang selama ini menyuplai air tanah ke Cekungan Sukabumi.

Maude Barlow dan Tony Clarke (Blue Gold, Perampasan dan Komersialisasi Sumber Daya Air/PT GMU, 2005) menyebutkan, ekstraksi air tanah melebihi kemampuan pengisian kembali berdampak pada pengurangan air permukaan. Air tanah adalah sumber utama sungai dan danau, maka air permukaan juga dapat habis jika air tanah dalam terus- menerus diekstraksi meskipun tidak sampai kering. Aliran sungai akan berkurang, danau dan rawa menghilang.

”Ekstraksi air tanah adalah fenomena global yang terjadi pada akhir abad ke-20,” sebut Maude dan Tony.

Kedua penulis ini meramalkan dunia global akan merasakan kebangkrutan air tawar. Kebangkrutan yang bermula ketika air dilihat sebagai barang ekonomi belaka dengan mengabaikan fungsi sosialnya.

”Perusahaan-perusahaan air transnasional mengomodifikasi air tanah demi menguras keuntungan,” tambah Maudi dan Tony. Perusahaan ini dituding mereka berada di belakang gelombang privatisasi air yang melanda dunia.

Di Indonesia, desakan perusahaan air swasta itu memunculkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air. Pada sidang paripurna yang kontroversial, UU SDA yang menyokong penuh privatisasi air itu disahkan. Pimpinan sidang waktu itu, AM Fatwa, mengetuk palu tanda sah tanpa mengindahkan interupsi anggota.

Sidang yang riuh diselingi listrik mati menjelang pengesahan menjadi tanda tanya hingga sekarang. Kesengajaan atau sebuah kebetulan? Apa pun, konsekuensi dari privatisasi air itu telah memiskinkan warga yang semula memiliki kelimpahan air bersih. (AHA/GSA/AIK)

Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/12/01332273/merebut.air.merampas.hidup

Wednesday, September 10, 2008

Yesus-pun Antri

“The Christ of the Breadlines” by Fritz Eichenberg, 1952


Antri BBM di negara kita


Antri jatah makan di Gereja St. Anna Haiti

Kliwon


































http://www.urbanpoor.or.id/id/becak/kesaksian-kliwon-5.html

Apa yang berharga dari puisiku

apa yang berharga dari puisiku
kalau adikku tak berangkat sekolah
karena belum membayar uang spp

apa yang berharga dari puisiku
kalau becak bapakku tiba-tiba
rusak jika nasi harus dibeli dengan uang
jika kami harus makan
dan jika yang dimakan tidak ada?

apa yang berharga dari puisiku
kalau bapak bertengkar dengan ibu
ibu menyalahkan bapak
padahal becak-becak terdesak oleh bis kota
kalau bis kota lebih murah siapa yang salah

apa yang berharga dari puisiku
kalau ibu dijeret utang
kalau tetangga dijiret uang?

apa yang berharga dari puisiku
kalau kami terdesak mendirikan rumah
di tanah pinggir-pinggir selokan
sementara harga tanah semakin mahal
kami tak mampu membeli
salah siapa kalau kami tak mampu beli tanah

apa yang berharga dari puisiku
kalau orang sakit mati di rumah
karena rumah sakit yang mahal?

apa yang berharga dari puisiku
yang kutulis makan waktu berbulan-bulan
apa yang bisa kuberikan
dalam kemiskinan
yang menjiret kami?

apa yang telah kuberikan
kalau penonton baca puisiku memberi keplokan
apa yang telah kuberikan
apa yang telah kuberikan


Wiji Thukul, Maret 1986

Tuesday, September 9, 2008

Potret Cerdas Masyarakat Marjinal

Pasar "Kaget"
Kompas 15 Juni 2006

Oleh dahlia irawati

Bicara soal pasar, tebersit gambaran kepadatan arus barang dan orang di satu lokasi tertentu. Namun, diakui atau tidak, pengelompokan para pekerja informal itu hingga bisa membentuk pasar merupakan ide cerdas memangkas biaya distribusi yang patut diacungi jempol.

Tak beda jauh dengan pasar pada umumnya, pasar di pinggir rel kereta api (KA) di Jalan Karya Timur Kota Malang Kecamatan Blimbing (sekitar pabrik rokok Sampoerna) juga berimplikasi sama. Bagi pekerja di pabrik rokok itu, keberadaan pasar "kaget" seakan dewa penolong.

Karyawan/karyawati yang masuk sejak pukul 05.30 (kadang tidak sempat membeli kebutuhan sehari-hari) tetap bisa memenuhi kebutuhannya di pasar "kaget" itu. Mulai dari buah-buahan, sayur- mayur, lauk-pauk, sabun, hingga berbagai kebutuhan harian dijual di sepanjang pinggir rel KA dekat pabrik rokok Sampoerna. Artinya, sepulang kerja, mereka masih bisa memasak untuk keluarganya tanpa repot harus masuk pasar dahulu.

Pasar yang mulai menunjukkan aktivitas sekitar pukul 13.00 hingga pukul 18.00 itu mayoritas dibuat oleh para "pendatang". Ada pula sebagian pedagang yang berjualan di pagi hari sekitar pukul 05.00 sesaat sebelum karyawan masuk pabrik. Rata-rata penjualnya adalah orang Kabupaten Malang yang juga merupakan perantau dari Madura, Lumajang, Banyuwangi, dan berbagai wilayah lain di Indonesia.

Keunikan pasar yang membujur arah utara-selatan mengikuti rel KA itu adalah para pedagang menjajakan sayur-mayur dan dagangan lain hanya beralaskan terpal plastik di atas tanah berbatu, persis di samping rel KA. Pembeli dari berbagai lokasi pun dengan enak melenggang di rel tanpa takut tertabrak KA. Alasannya, kalau ada KA pasti ada yang memberikan tanda. Jika ada kereta api lewat (sekitar pukul 14.10 dan pukul 17.00), ada sebagian yang menutup dagangannya dengan terpal plastik dan ada yang membiarkannya. Mereka sangat hapal, kereta api tidak akan melindas barang dagangan mereka. Sektor informal

Munculnya pasar "kaget pinggir rel" tak ubahnya dengan banyaknya pedagang kaki lima yang beroperasi di pinggir-pinggir sudut Kota Malang. Tentu hanya kapasitas pelakunya yang berbeda. Mari kita tengok pedagang lemari keliling yang mengumpul di Jalan Muharto, pedagang keripik tempe Sanan, rujak, dan buah-buahan di belakang Wearness Jalan Jakarta, serta sejumlah pedagang kaki lima lain yang ada di Kota Malang.

Fenomena munculnya pasar informal seperti di atas, menurut Hernando De Soto dalam bukunya, The Other Path (1998), merupakan ciri ketidakmampuan pemerintah kota menyediakan sumber-sumber ekonomi bagi warganya, termasuk mengatur dan menata pedagang informal. Oleh karena jalan-jalan kota tidak lagi bisa menampung pekerja informal itu, mereka membentuk pasar sendiri tanpa campur tangan pemerintah.

Sedikit demi sedikit masyarakat pinggiran yang cerdas menyikapi mahalnya biaya distribusi akan terus membanjiri Kota Malang (dengan menjajakan sendiri dagangannya ke kota, tentu ongkos distribusi bisa dipangkas).

Disadari atau tidak, pembangunan memusat yang dilakukan pemkot bagaikan magnet bagi sektor informal (sebab kemampuan yang ada memaksa orang terjun di sektor informal).

Jika pemkot tidak awas dan terlena dengan proyek mercusuar sarana ekonomi kelas menengah atas di pusat kota, yang terjadi, menurut ilmuwan Hans Dieter-Ever (1990), adalah efek lompat katak.

Kaum "berada" pusat kota justru akan mulai meninggalkan kota dan memilih lokasi pinggiran yang belum terlalu sesak dengan semua aktivitas. Lalu, akankah pusat kota Malang dipenuhi dengan sektor informal sementara sektor formal justru kabur akibat jenuh?

Sunday, September 7, 2008

Cara Unik Menggugat Pendidikan


KOMPAS/HERU SRI KUMORO / Kompas Images
Siswa SMP Gratis Ibu Pertiwi melakukan voting atau pengambilan suara terbanyak saat mengikuti pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di teras rumah Ade Pujiati, pendiri sekolah tersebut, di Jalan Pancoran Timur VIII, Jakarta Selatan, akhir Agustus lalu. Sekolah gratis banyak didirikan untuk menampung siswa yang tidak bisa masuk sekolah formal karena terbentur biaya.

Senin, 8 September 2008 | 03:00 WIB

Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Begitu bunyi Pasal 31 Ayat 2 Amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Namun, hingga saat ini, amanat itu belum sepenuhnya terlaksana.

Ade Pujiati (41) adalah guru piano jebolan Fakultas Sastra Inggris Universitas Indonesia semester IV. Tahun 2005, Ade gelisah dan marah dengan pendidikan nasional. Itu gara-gara anak asuhnya, Intan yang duduk di bangku sekolah dasar, dibebani pungutan liar di sekolah untuk pelajaran tambahan. Karena tidak bersedia membayar, Intan diancam tidak lulus dan dicopot dari anggota Paskibraka.

”Saya nangis sampai berhari-hari, setelah itu saya bertekad mendirikan sekolah sendiri,” ujar Ade di rumahnya, Jalan Pancoran Timur VIII Nomor 48, Kompleks Perdatam, Jakarta Selatan, akhir Agustus lalu. Ade lalu mendirikan SMP Gratis Ibu Pertiwi di teras rumahnya.

SMP Gratis Ibu Pertiwi ditujukan bagi lulusan SD dari keluarga miskin yang tidak diterima di SMP negeri dan tidak mampu melanjutkan ke SMP swasta yang termurah sekali pun. Ade menilai, kalangan ini lekat dengan kebodohan dan kemiskinan sehingga harus dientaskan melalui pendidikan. Selama ini, golongan tersebut masih belum tertampung dalam sistem pendidikan nasional.

Guru yang direkrut berasal dari kalangan pendidik maupun praktisi. ”Guru direkrut dengan seleksi. Mereka harus rela bekerja tanpa mendapat bayaran. Oleh karena itu, hampir semuanya merupakan orang yang berpenghasilan cukup,” katanya.

Dalam menyelenggarakan pendidikan, Ade percaya pada konsep pendidikan komprehensif. Selain aspek akademis formal, pemahaman soal kepemimpinan, kewirausahaan, dan eksplorasi kreativitas mutlak diajarkan.

Materi yang diberikan tidak hanya pelajaran sekolah formal. Ade juga mengajarkan keterampilan membuat telur asin berkualitas. Para siswa dilibatkan dari proses pemilihan telur hingga pemasaran. Telur asin dijual Rp 3.000 per butir, dengan disertai jaminan. ”Kami memang menjual telur di atas harga pasar, namun kalau sampai ada yang busuk akan ditukar secara gratis. Jadi anak-anak dilatih bertanggung jawab terhadap produksi mereka,” kata Ade.

Dengan bekal keterampilan yang diperoleh di sekolah, Ade berharap anak didiknya dapat mandiri. Ia juga menyelenggarakan pelatihan teater untuk memupuk rasa percaya diri siswa.

Tidak sampai di situ, SMP Gratis Ibu Pertiwi juga memberikan bimbingan psikologi dan jaminan kesehatan kepada siswa. Bimbingan psikologi dilakukan untuk memulihkan mental anak-anak, yang sebagian besar pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

Berikan penyuluhan

Untuk mendukung keberhasilan pendidikan, Ade memberikan penyuluhan kepada orang- tua murid, setiap enam bulan sekali. Ia juga menerapkan aturan khusus bagi siswa yang orangtuanya merokok, untuk membayar iuran Rp 1.000 per hari.

Meskipun terkesan kejam, aturan itu ternyata membuahkan hasil. Tiga dari delapan orangtua siswa yang sebelumnya merokok, saat ini sudah menghentikan kebiasaan mereka.

Guru Bimbingan dan Konseling SMP Gratis Ibu Pertiwi, Teddy Pranatyo, menyebutkan, persoalan awal siswa di sekolah tersebut adalah rasa minder yang sangat besar.

”Karena itulah pendidikan menjadi muara persoalan, bukan soal pintar atau tidak pintar, namun lebih pada karakter,” kata Teddy yang sempat menjabat sebagai presiden direktur salah satu perusahaan kosmetik terkemuka di Indonesia.

Untuk menyelenggarakan sekolah, Ade membutuhkan biaya Rp 6 juta per bulan. Uang itu di antaranya digunakan untuk pengadaan alat tulis, biaya transportasi siswa yang rumahnya jauh, santunan orangtua siswa, makanan dan susu untuk siswa, serta biaya telepon dan internet. Biaya itu berasal dari uang pribadi serta donatur tidak tetap.

Banyak kalangan

Ade tidak sendirian. Beberapa orang yang peduli pada pendidikan juga mendirikan sekolah serupa. Dedi Rosaidi (48) mendirikan Yayasan Nurani Insani untuk anak-anak jalanan di Jalan Petamburan III Nomor 4, Jakarta Selatan.

Reinhard Hutabarat mendirikan Sekolah Anak Jalanan (SAJA) di bawah pintu Jembatan Tol Gedong Panjang, Kampung Kakap, Jakarta Utara, sejak 2001.

Begitu pula Sunarsih Wijaya (48) dari Ri’ayatul Ummah di Jakarta Barat membantu pendidikan anak miskin dengan membina Taman Pendidikan Al Quran, serta Vergina Veryastuti mendirikan Komunitas Kerja Sosial (KKS) Melati di Jalan Ampera II Nomor 17A, Jakarta Selatan. Jumlah siswa di tiap-tiap sekolah bervariasi, seperti di SMP Gratis Ibu Pertiwi ada 37 siswa, Yayasan Nurani Insani 224 siswa, dan di SAJA sekitar 80-an siswa.

Selain karena keprihatinan terhadap mahalnya biaya pendidikan, sebagian penggiat mendirikan sekolah gratis karena prihatin pada mutu pendidikan.

Hal itu seperti dilakukan Jakarta Butuh Revolusi Budaya (JBRB) di Meruya, Jakarta Barat, yang berdiri sejak 2007.

”JBRB melihat sistem pendidikan di Indonesia hanya fokus pada aspek pengetahuan saja dan menjadikan murid sebagai obyek pendidikan,” kata Mohamad Rusdi Indradewa (24), penggiat komunitas JBRB.

Rusdi mendirikan JBRB bersama rekannya, Tasa Nugraza Barley (24). Ia mengurus pergerakan peningkatan mutu pendidikan sesuai dengan konsep ideal tadi. Tasa yang lulusan MBA di Strayer University, Maryland, Amerika Serikat, menggarap modul dan menjalankan lobi internasional dengan menyelenggarakan kegiatan budaya di Kedutaan Besar Indonesia di Washington DC.

Modul pengajaran bernama Berburu (Berbudaya Itu Seru) mengharuskan peserta didik melakukan presentasi, diskusi terbuka, diskusi kelompok, dan mengerjakan proyek kelas.

Ada yang tutup

Meskipun dilandasi keinginan memajukan pendidikan, tidak semua gerakan tersebut mendapat dukungan. Supriadi (28), penggiat Forum Pemuda Kampung Baru (Fodaru) di Kampung Baru, Sukabumi Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, hanya bisa mempertahankan gerakannya pada 2003-2005. Fodaru yang memberikan bimbingan belajar gratis kepada anak SD terpaksa tutup karena gedung SMP yang biasa digunakan untuk aktivitas tidak boleh digunakan lagi.

Munculnya sekolah nonformal sebagai bentuk ketidakpuasan masyarakat terhadap sistem pendidikan yang ada dibenarkan pengamat pendidikan dari Institute for Education Reforms Universitas Paramadina, Utomo Dananjaya.

Menurut dia, sekolah di Indonesia dibedakan menjadi sekolah negeri, sekolah swasta, dan sekolah saudagar atau sekolah yang didirikan oleh dan untuk kalangan tertentu.

”Celakanya, ada anak yang tidak bisa masuk ke tiga-tiganya sehingga tidak bisa sekolah. Oleh karena itu, ada yang mendirikan sekolah nonformal,” ujarnya.

Data dari Departemen Pendidikan Nasional yang diolah Litbang Kompas, jumlah siswa putus pendidikan dasar (SD dan SLTP) tahun pelajaran 2006/2007 sebanyak 848.245 orang.

Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional Suyanto mengatakan, berdirinya sekolah nonformal merupakan fenomena yang biasa dan tidak perlu ditanggapi secara berlebihan. Hal itu sebagai bentuk partisipasi masyarakat, bukan bentuk protes terhadap pemerintah. Sekolah serupa juga bermunculan di negara lain.

”Sekolah-sekolah nonformal tidak perlu diberi status karena didasari perbedaan cara pandang dengan pemerintah,” ujarnya.

Meskipun pemerintah menganggap berdirinya sekolah non- formal sekadar sebagai bentuk partisipasi, sebagian penggiat menganggap sebaliknya.

”Saya paling benci kalau pemerintah bilang pendidikan itu bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Enggak bisa, (pendidikan) itu tanggung jawab pemerintah,” ujar Ade. Ia mengaku, mengelola sekolah itu tidak dengan tujuan membantu pemerintah, tetapi lebih sebagai upayanya untuk menyatakan konsep pendidikan komprehensif yang ideal. (INK/WIE/KUM)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/08/00334193/cara.unik.menggugat.pendidikan

Wardah Hafidz : Untuk Kaum Miskin Kota

KOLOM: Ihwal EDISI : 26

Suara Wardah Hafidz rendah dan memelas, agak tidak melambangkan kegemarannya yang suka membela kaum miskin kota. Aktivitas yang seringkali membawa hidupnya dalam risiko-risiko.
Perempuan berkacamata yang selalu berambut pendek di atas leher dengan rambut putih yang dibiarkan menemani rambut hitamnya yang makin tersisih tampak asyik memimpin rapat berlesehan sore itu. Sudut-sudut rumah banyak tertumpuk barang-barang: tenda bivak besar, sejumlah peralatan aksi demo seperti topi caping dan kertas flano bertuliskan slogan-slogan dan sebuah becak yang mengingatkan kita pada penggusuran becak di Jakarta awal 90-an.

Orang-orang berpenampilan informal duduk santai melingkar sambil secara khidmat meresapi suara pemimpin rapat yang sesekali mencoba menjelaskan pesannya sambil menggoreskan coretan-coretan di sebuah papan tulis.

Peserta rapat beragam sekali. Mulai dari anak-anak muda relawan hingga ibu-ibu, bapak-bapak, dan anak-anak jalanan. Sebagian adalah orang kampung yang keikutsertaannya terkait posisinya sebagai manusia yang nasibnya sedang dipersoalkan dalam rapat.

Pembahasan rapat berkisar soal pembuatan tim untuk kasus penggusuran kaum kolong tol di Jembatan Tiga Pluit. Lalu dibahas juga soal perda baru DKI Jakarta yang menurut suara rapat telah menghantam anak-anak jalanan, pengemis, kaki lima dan joki. Atas kebijakan itu rapat juga merasa perlu membuat tim.

Suasana rumah kantor Urban Poor Concortium (UPC) sore di bulan ramadhan itu agak padat manusia. Anak-anak muda lalu lalang dari satu pintu ke pintu lainnya membawa urusan masing-masing. Pastinya tidak ada perayaan heboh buka puasa anak yatim di rumah itu. Bahkan tidak ada persiapan buka puasa khusus di sore yang mendekati iftar tersebut. Mereka tampaknya terlalu sibuk dengan isu kerja hari ini; pengkhidmatan kepada orang fakir yang kesusahan.

Rapat berkepanjangan. Waktu berjumpa kami dengan pe-mimpin rapat sudah dipastikan akan molor dari waktu yang ditentukan. Betapa repotnya waktu hari itu bagi Wardah Hafidz. Apalagi wartawan sebuah stasiun televisi sudah terlebih dahulu menunggu waktunya untuk wawancara terkait dengan perda Jakarta yang katanya anti-orang melarat.

Wardah Hafidz kelahiran Jombang 28 Oktober 1952 agaknya memilih sendiri nasibnya sebagai perempuan aktivis. Lahir dari keluarga santri yang kental di Jombang, Wardah sejak kecil sudah banyak memupuk ide yang cenderung banyak berbeda pandang dengan keluarga dan lingkungannya.

Latar belakang keluarganya banyak memberikan perhatian kepada agama. Kakeknya seorang kiyai yang sewaktu zaman pendudukan Jepang sudah memiliki pesantren.. Ayah Wardah melanjutkan aktivitas serupa. Lulusan pesantren Tebuireng itu adalah seorang penghulu kampung yang banyak berkecimpung melayani masyarakat dalam hal pendidikan keagamaan. Wardah menyebut sebagai keluarga santri, keluarganya dengan Gus Dur dan Cak Nun memiliki hubungan kekerabatan yang cukup dekat.

Di keluarga Wardah, ada peraturan tidak tertulis bagi sepuluh orang anak-anak orang-tuanya agar bersekolah di pendidikan Islam minimal hingga tamat sekolah menengah. Lelakinya di kirim ke Gontor, perempuan-nya ke Mualimat di Yogyakarta, setelah sebelumnya sepuluh anak itu menamatkan pendidikan SMP mereka di madrasah milik keluar-ga di Jombang. Syukur-syukur anak-anak itu lalu mau melanjut-kan studi agama lebih tinggi.

Ide itu sejak awal mence-maskan Wardah. Entah karena alasan apa, Wardah sejak remaja sudah tidak terlalu bergairah dengan ide penyeragaman seperti itu. Ia suka bilang kepada orang-tuanya bahwa dirinya memilih sekolah umum saja. Tentu saja ide itu kontan mengalami penolakan.

Sewaktu dikirim ke Mualimat, Wardah banyak menangis tidak setuju. Orangtuanya tidak surut mengalah. Menyerahlah Wardah. Di sekolah itu ia merasa tidak pas dengan banyaknya aturan-aturan.

Di sekolah itu Wardah menyebut dirinya sebagai “pembuat onar”. Ia jago dalam bahasa Inggris tapi ogah-ogahan terhadap bahasa Arab. Bukan karena bahasa Arabnya, tapi bagian dari pembangkangan akan tradisi keluarganya. Di Mualimat ia sekolah selama enam tahun. Lepas dari sana, ia bertekad memulai pilihannya sendiri.
“Saya sudah melakukan apa yang keluarga inginkan. Kini saya mau melakukan apa yang saya inginkan,” ujar Wardah ketika keluarganya mulai menganjurkan dirinya masuk sekolah tinggi agama.

Diam-diam Wardah merencanakan pilihan bersekolah di universitas. Masuklah ia ke IKIP Malang mengambil sastra Inggris. Bersekolah secara serius lalu mulai pengalaman mengajar dan menjadi instruktur bahasa di sekolah penerbangan Curug. Ia bosan menjadi guru. Kembali dipanggil menjadi dosen di almamaternya. Ia ragu, tapi tawaran bersekolah ke Amerika mengambil master sosiologi sulit ditolaknya.

Pulang dari Amerika, Wardah pulang mengajar kembali sebagai bagian dari ikatan kerja. Lagi-lagi mulailah ia mengalami kesumpekan atmosfir hidup.Wardah tak suka ketika ditawarkan permohonan menjadi anggota Golkar saat mengisi formulir PNS. Ia pula tak suka dengan lingkungan kerja yang menurutnya terlalu banyak berbicara hal-hal nonakdemik seperti mobil, jabatan, beli tanah, proyek ini-itu ketimbang urusan keilmuan.

Di kampus, Wardah terkenal paling suka mangkir mengenakan seragam ala pegawai negeri. Suatu hari ia menghadap ke rektorat. Meminta izin mundur. Pihak kampus mencoba menahan dan memaafkan kebengalan Wardah. Wardah bersikeras. Ia tak mau mendapatkan pengecualian, karena bersalah dengan sistem yang ada. Lagian di pikirannya, ia memang sudah tak betah dengan kehidupannya yang kurang menantang. “Saya tidak akan kemana-mana kalau di sini,” ucapnya merasa.

Wardah lalu mental ke Jakarta. Melakukan apa yang disebutnya sebagai “gelandangan”. Awalnya ikutan proyek penelitian LIPI soal Etos Kerja Pegawai Negeri dan Weltanschaung Ulama bersama konsultan peneliti Martin Van Bruinessen. Lalu ia mulai masuk NGO terlibat urusan isu perempuan.

Di tahun 1993 Wardah mulai terlibat di aktivitas kaum miskin kota melalui penelitian kaum miskin kota di Jelambar baru di Jakarta Utara. Ekonomi Indonesia ketika itu sedang booming. Bonanza ide pembangunanisme dilakukan seraya diikuti praktik penggusuran-penggusuran.
Wardah mulai melawan karena melihat banyak ketidakadilan dan kemelaratan yang diabaikan negara. Ia mulai sensitif dengan kompleksitas kemiskinan kota. Karena berusaha mengubah keadaan, memulihkan hak-hak kaum miskin agar lebih kritis dan ngerti haknya ia banyak menuai permusuhan dan dianggap provokator.

Suatu hari tempat berkegiatannya di Jelambar diserbu preman-preman yang tidak suka dengan keberadaan Wardah. Wardah menunjukkan kualitas mentalnya. Ia memang tidak pernah mengambil pusing dengan banyak suara minor tentang dirinya yang suka dituduh menjual isu kemiskinan. “Ibarat orang yang menilai saya sambil lalu, saya menganggap penilaian itu lebih karena ketidaktahuan,” ucapnya.

Paska Soeharto jatuh, bersama sejumlah teman berniat memfokuskan diri kepada isu kaum miskin kota secara high profile. Lalu ia mendirikan UPC. Organisasi yang dibidaninya dengan manajemen bersifat partisipatif. “Sistem gaji di UPC diukur berdasarkan standar kebutuhan masing-masing setiap bulan. Kita tahu tidak akan melakukan korupsi, karena itu kita bekerja secara terbuka dan sangat keras akan akuntabilitas,” kata Wardah. UPC adalah semesta dan pusat gravitasi ide dan gerakan Wardah untuk kaum miskin kota. Kaum ini katanya selalu terkalahkan dalam setiap desain kebijakan ekonomi.

“Setiap kenaikan ekonomi, selalu menciptakan penggusuran,” katanya. Penggusuran itu sendiri baginya langkah keliru sejak awal. Menistakan kaum miskin, dan selalu menciptakan histeria kekerasan. Ia menyebut-nyebut kasus penggusuran kolong tol yang baru-baru ini ramai. Wardah menceritakan keterlibatan preman-preman dan unsur pemilik modal yang seringkali memainkan peran besar dalam penggusuran.

Mindset penguasa kota menurutnya masih lebih banyak melihat kaum miskin sebagai beban dan bukan aset. Pola pikir itu berakibat pada tidak terlibatnya partisipasi kaum miskin kota dalam setiap desain kebijakan. Rakyat tidak pernah diajak bicara, diajak berunding secara setara dan didengar apa maunya. Hal ini diperparah dengan sikap penguasa kota yang menurutnya suka memilih bermusuhan dengan kaum miskin untuk memberikan insentif bagi para pemodal. Padahal menurut Wardah, sektor ekonomi informal yang dihuni 80 persen populasi penduduk Indonesia telah teruji tahan gempur saat krisis 1998 dan menjadi buffer bagi 20 persen yang keropos. UPC mengharapkan setiap penguasa kota mampu melakukan negosiasi yang bersifat mutual antara sektor formal dan informal. Malangnya kebijakan ekonomi yang terlalu bertumpu di Jakarta justru memperparah deretan kemiskinan. Jakarta disebutnya menjadi petromaks di tengah sawah gelap yang membuat banyak manusia membanjiri Jakarta.

Saat ADIL menanyakan bagaimanakah Jakarta bisa menjadi kota yang manusiawi bagi kaum miskin tetapi sekaligus modern, bersih dan rapih? Wardah menjelaskan selama keragaman dan konteks sosial masyarakat diabaikan maka desain apapun yang mencoba mengubah itu akan selalu bermusuhan dengan kaum miskin.

Wardah tidak keberatan Jakarta menjadi modern, tetapi bagaimana menjadi modern itulah yang paling penting baginya. Pencontohan buta terhadap sistem kota negara maju tanpa terlalu banyak menggubris struktur sosial masyarakat, adalah praktik yang dinilainya sebagai kegagalan.

Adanya rumusan perda jakarta yang melarang sektor informal berjualan dan mengemis di jalan baginya, seperti tindakan yang tidak bertangggung jawab atas nama ketertiban. Pemda DKI dinilainya picik dan menutup mata dari kenyataan mengapa banyak orang miskin di kota. Seolah-olah menghukum orang miskin dengan mengatakan: “Salahnya sendiri melarat!” Ide ini bagi Wardah seperti menyimpan api dalam kota. Sebuah permusuhan yang menunggu bom waktu meledak.

Diskusi kami panjang lebar, Wardah Hafidz dan UPC-nya agaknya tetap akan eksis dalam waktu yang lama. Apalagi Wardah mengaku telah mewakafkan waktunya untuk bisa secara total berkecimpung di UPC hingga memutuskan bersama suaminya untuk tak jadi memiliki anak. Sebuah keputusan maha berat sekaligus berani. Wardah punya prinsip: Apa yang kita dapat, harus disedekahkan lebih banyak. Ia adalah seorang perempuan dengan previllege katanya. Karena itu ia harus berbagi banyak sekali dengan kaum papa.

http://www.adilnews.com/?q=en/wardah-hafidz-untuk-kaum-miskin-kota