Thursday, September 11, 2008

Menakar Ekonomi Petani Tembakau

POSISI TAWAR

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG / Kompas Images
Petani di daerah Kledung, Temanggung, menjemur daun tembakau di lapangan sepak bola.

Jumat, 12 September 2008 | 03:00 WIB

Maria Hartiningsih dan Susi Ivvaty

Selama puluhan tahun industri rokok mengklaim bahwa tanaman tembakau menjanjikan masa depan cerah bagi petani, masyarakat, dan negara. Namun, kenyataannya, nasib sebagian besar petani berbanding terbalik dengan industriawan rokok, yang beberapa di antaranya bahkan masuk dalam daftar orang terkaya di Indonesia.

Selama dua bulan sejak akhir Juli, kegiatan sebagian besar warga Temanggung dan beberapa kabupaten lain di Jawa Tengah terkonsentrasi pada panen tembakau. Cuaca tak sebaik tahun lalu, tetapi lebih baik daripada tiga-empat tahun sebelumnya. Semua berpesta. Urusan sembilan sampai 10 bulan ke depan adalah urusan nanti.

”Kalau panen selesai, ya menanam sayuran untuk menyambung hidup,” kata Ribut (32), petani tembakau dari Kecamatan Kledung.

Hasil bertani sayur-mayur tak seberapa. Kubis dan kubanan lain (rebusan untuk teman nasi), juga daun bawang, harganya sangat fluktuatif, antara Rp 200 dan Rp 1.000 per kilogram, tergantung dari jumlah pasokan, tetapi harga riil sebenarnya lebih ditentukan para tengkulak.

”Kadang 1 kilogram hanya laku Rp 200,” kata Astrifah (30), istri Ribut. Kalau bagus, bisa dapat 3 ton saat panen tiga bulanan, hasilnya tak lebih dari Rp 600.000.

Pasangan Ribut dan Astri menyandarkan kebutuhan setahun, khususnya untuk pendidikan anak-anak, dari hasil panen tembakau. Tahun ini hasilnya diharapkan mencapai 70 keranjang, dengan bobot keringnya berkisar 35-40 kilogram per keranjang. Harga tembakau jenis C terbaik pada awal Agustus itu mencapai Rp 40.000 per kilogram.

Akan tetapi, jangan dibayangkan petani tembakau seperti Ribut mendapat keuntungan berpuluh juta rupiah yang membuat hidup mereka sejahtera.

Ekonomi utang

Siswanto, petani dan makelar tembakau, mengatakan, dari penjualan satu keranjang, petani mendapat keuntungan bersih Rp 1 juta. Rata-rata petani menghasilkan 25 keranjang atau Rp 25 juta per musim tembakau.

Akan tetapi, ada utang yang harus dibayar saat panen. ”Bunganya nglimolasi, 50 persen, malah ngwolulasi, 80 persen setahun,” ujar Wardi Hadiwardoyo dari Desa Tanurejo, Kecamatan Parakan. Mantan guru SD itu mulai menanam tembakau sejak tahun 1976 dan sempat mengalami zaman keemasan tembakau.

Bardjono (47) memberi perincian lebih jelas. Hasil panennya tahun ini ia perkirakan sekitar Rp 35 juta bersih. Dari hasil makelaran, ia menerima bersih sekitar Rp 10 juta. Jadi, jumlah seluruhnya sekitar Rp 45 juta.

”Tetapi tahun lalu saya utang Rp 25 juta, harus kembali Rp 37,5 juta,” ujar ayah dua anak itu. Bardjono ikut menjadi makelar tembakau sejak 15 tahun lalu karena hasil panen saja tak bisa diandalkan.

”Utang dibayar waktu panen, tutup buku, lalu utang lagi. Sisa hasil panen sekarang antara Rp 7,5 juta dan Rp 10 juta dipakai modal menanam sayuran. Untuk menanam tembakau modalnya dari hasil menanam sayuran ditambah utang,” ujarnya.

Dengan pola seperti ini bisa dipahami kalau ia tak bisa menyekolahkan dua anaknya sampai lulus sekolah lanjutan tingkat atas karena kehabisan dana. Namun, pendidikan formal, meski katanya dicita-citakan, tampaknya tak berpengaruh benar.

”Banyak yang lulus sekolah tinggi ndak dapat kerjaan,” sergahnya, ”Anak saya sekarang mulai belajar berdagang tembakau.”

Lalu, apa yang ia dapatkan dari tembakau selama ini? ”Yang penting dalam hidup ini adalah membayar utang. Ini tanggung jawab, biar terus dipercaya. Kalau sudah lunas, tutup buku, ambil lagi buat modal. Yen mboten utang nggih mboten nggota,” katanya, kalau tidak berutang, tak bisa kerja cari makan.

Kalau tidak mau bayar bunga utang, kata Bardjono, hasil panen harus dijual kepada si pemberi utang, dibeli dengan harga antara Rp 15.000 dan Rp 20.000 per kilogram dari harga di luar (yang sebenarnya juga ditetapkan oleh pedagang yang lebih besar) sebesar Rp 35.000-Rp 40.000. Karena itu, banyak petani memilih membayar bunga.

Biasanya mereka berutang kepada juragan atau pedagang besar tembakau. ”Dulu ada bank beroperasi di sini, tetapi pinjamnya harus Rp 100 juta, harus ada agunan. Repot,” katanya.

Utang dengan bunga 50-80 persen, oleh banyak petani, dianggap sebagai sesuatu yang ”biasa”. Malah seperti dikatakan Bandowo, petani dari Desa Lamuk, wilayah yang menghasilkan tembakau Srintil, ”Utang itu kan untuk pantes-pantes.”

Menurut Wardi, kebiasaan mengutang dengan bunga tinggi itu sudah seperti watak, sifat yang dibawa dari lahir. Katanya, ”Orang di sini ibaratnya madhang, makan harus pake lauk.” Maksudnya, kalau pegang uang, semua mau dibeli, lupa menyimpan modal untuk menanam lagi. Kalau uang habis, ngutang lagi. ”Begitu terus. Ndak bisa dikasih tahu supaya ndak ngutang,” kata Wardi.

Di balik soal utang-mengutang ini terselip tragedi. Bardjono bercerita, pada akhir tahun 1980-an ada petani gantung diri karena tak bisa membayar utang. Tembakau rajangannya tak laku dijual, utang menumpuk, dan setiap hari dikejar penagih utang.

Menjadi ”bumper”

Tak banyak petani tembakau mampu melihat jauh ke depan seperti Wardi. Dengan lahan 3,5 hektar yang ditanami tembakau dan tanaman lain, mereka berhasil menyekolahkan anak-anaknya sampai lulus universitas dan kini bekerja di luar kota.

Pada banyak petani (Baca: Tenggelam Sampai ke Leher, hal 55) tampaknya kelanjutan berproduksi lebih penting ketimbang hasil. Tak heran ketika dikomentari bunga utang setahun itu terlalu besar, Ribut menyergah, ”Masih untung ada yang ngasih utang.” Astrifah, istrinya, menimpali, ”Juragan kami baik sekali. Ia menyumbang besar kalau kami punya hajat.”

Mugi Utomo, pedagang tembakau dengan gudang berkapasitas 10.000 keranjang, menceritakan hubungan baiknya dengan petani. Ia punya enam ”tentara”, istilah untuk pencari tembakau ke desa-desa. Mereka adalah para mantan bakul tembakau. Katanya, pihak pabrik mensyaratkan jenis produk tembakau tertentu yang dibutuhkan.

Perusahaan rokok sekarang membantu memberdayakan petani agar produk tembakaunya memenuhi persyaratan yang dibutuhkan. Bowo, petugas lapangan suatu perusahaan sarana produksi pertanian (saprodi), mengatakan, yang dibina tidak hanya budidaya tanaman, tetapi juga menciptakan sistem supaya petani tahu kebutuhan dan kualitas produknya. ”Tanaman tembakau petani yang dibina daunnya besar-besar dan lahannya subur,” kata Mugi.

Begitu pola kemitraan berjalan. Perusahaan membeli tembakau sesuai dengan kesepakatan harga dengan petani meskipun harga di pasar anjlok. ”Tujuannya perlindungan harga. Ini juga cara memotong tengkulak agar petani bisa langsung berhubungan dengan pabrik,” ujar sosiolog Alex Irwan.

Namun, ”budi baik” pemberdayaan tetap tak bisa diandaikan. Kesetaraan posisi antara pihak yang memberdayakan dan yang diberdayakan harus senantiasa diuji.

Selama ini nasib petani tembakau senantiasa berada di ujung tanduk karena mereka tak punya posisi tawar. Harga dan penentuan kualitas tembakau merupakan otoritas industri rokok melalui para grader. Mengutip Bardjono, ”Yang makin kaya ya para tauke itu. Kalau petani, ya tetap saja kere.”

Penilaian kualitas dan penentuan harga secara sepihak juga menyebabkan banyak pedagang menengah hancur dilibas utang sampai harus menjual harta bendanya, seperti terjadi tahun 2005. ”Rumah ini dibeli dari milik juragan mbako yang bangkrut,” ujar seorang penjaga rumah seluas 300 meter persegi di atas lahan sekitar 1.000 meter persegi, tak jauh dari alun-alun kota Temanggung.

Ekonomi petani tembakau adalah ekonomi tanpa posisi tawar. Namun, mereka pula yang paling mudah digunakan sebagai bumper untuk melakukan protes terkait dengan kepentingan para majikan pabrik rokok. Sungguh ironis!

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/12/01241332/menakar.ekonomi.petani.tembakau

No comments: