Tuesday, September 2, 2008

Arti Gagal Panen bagi Petani

Pertanian

Neraka itu ternyata bukan hanya sesuatu yang ada setelah orang mati. Dalam "skalanya yang lebih kecil", ternyata ada di mana-mana. Indoenesia adalah negara agraris. Itu yang saya pelajari ketika saya masih kecil, duduk di bangku sekolah dasar. Inipun juga tetap benar sekarang. Kita lalu membayangkan sawah ladang luas membentang, pemandangan hijau seluas mata memandang: dari barat sampai timur, utara dan selatan. Namun ada banyak kisah penderitaan para petani kita. Karena itu, Her Suganda benar ketika menuliskan "neraka kecil" para petani kita. Jika negara ini adalah negara agraris, seharusnya tanah ini menjadi "surga kecil" bagi mereka. Apa yang salah? Apakah tanah kita tidak subur? Apakah Tuhan tidak cukup murah memberikan hujan? (ig. budiono)

Kamis, 28 Agustus 2008 | 01:25 WIB
Oleh HER SUGANDA

Kekeringan sebagai akibat rendahnya curah hujan di berbagai tempat di Pulau Jawa telah mengakibatkan debit air permukaan menyusut. Sungai-sungai mengering, bendungan tidak berfungsi optimal, dan volume air waduk menyusut. Gambaran itu merupakan isyarat lampu kuning untuk sektor pertanian.

Air merupakan salah satu faktor penting dalam budidaya tanaman padi. Walau sampai sekarang belum ada penelitian, air memiliki kontribusi yang tidak kecil dalam menunjang tingkat produktivitas tanaman padi, selain bibit, pupuk, dan perawatan tanaman dari serangan hama dan penyakit tanaman. Kenyataan di lapangan menunjukkan, tanpa air, tanaman padi bisa mati karena kekeringan atau paling tidak produktivitasnya rendah.

Gejala kekurangan air tersebut kini dialami petani di berbagai daerah sentra produksi padi Pulau Jawa. Keadaan ini tidak cukup diatasi hanya dengan retorika bahwa produksi padi kita tahun ini surplus. Terjadinya surplus produksi lebih menggambarkan kondisi makro sehingga pemerintah terkesan menganggap kecil angka gagal panen yang diderita petani. Padahal, kita tahu, surplus produksi belum tentu menjamin kebutuhan pangan secara merata karena tidak adanya akses langsung petani terhadap kebutuhan pangan mereka.

Pergeseran gaya hidup

Kita masih dihadapkan pada sistem distribusi yang tidak merata dan rendahnya kemampuan daya beli masyarakat. Apalagi setelah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang berpengaruh pada kenaikan harga sejumlah bahan kebutuhan lainnya. Di lain pihak, ketahanan pangan kita masih rapuh karena ketergantungan terhadap beras yang sangat tinggi.

Sejarah menunjukkan, kita pernah memiliki sistem ketahanan pangan secara swadaya yang sangat baik. Lewat lumbung petani dan lumbung desa, petani berusaha mengatasi kebutuhan pangannya secara swadaya. Namun, di tengah perjalanan, sistem ini menjadi berantakan. Perubahan varietas sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan dalam sistem memanen, meningkatnya sistem irigasi yang makin teknis, dan terkendalinya harga padi/beras dengan jumlah yang memadai merupakan faktor penyebab kemunduran fungsi lumbung sebagai sumber utama cadangan bahan makanan pokok petani.

Keadaan ini telah menggeser gaya hidup petani yang semula menjadi produsen berubah menjadi konsumen. Padi yang dihasilkan, begitu selesai panen, segera dijual ke tengkulak atau tempat-tempat penggilingan. Selain karena tidak bisa lagi dijadikan bahan spekulasi, mereka dituntut memenuhi kebutuhan yang tidak bisa dihindarkan.

Menjelang musim tanam berikutnya, mereka harus menyiapkan sarana produksi yang dibutuhkan, seperti bibit, pupuk, pestisida, dan biaya garapan. Belum lagi menyangkut biaya dan kebutuhan hidupnya sampai musim tanam berikutnya.

Karena sebagian besar petani tersebut monokultur, yakni hanya menanam satu jenis tanaman, semua kebutuhan tersebut dipenuhi dengan menjual hasil panennya. Mereka menggadaikan masa depan keluarganya pada tanaman padi musim tanam berikutnya.

Neraka kecil

Bercocok tanam padi tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Tanaman padi yang dibudidayakan belum tentu berhasil karena sewaktu-waktu bisa saja terjadi, kegagalan panen yang mengakibatkan kerugian dialami karena berbagai faktor yang berada di luar jangkauan petani. Bisa karena banjir, kekeringan, atau serangan hama dan penyakit tanaman. Tingkat kerugiannya sangat beragam, dari termasuk kategori rendah, menengah, sampai gagal total karena sama sekali tidak terpungut hasilnya atau puso.

Bagi petani, kegagalan panen bisa merupakan neraka kecil. Pertama, mereka sudah mengerahkan seluruh modal dan kemampuannya untuk tanaman padi musim tanam tersebut, termasuk modal pinjaman sekali pun. Yang kedua, kemampuan bertahan sebagian besar petani pada setiap musim tanam rata-rata berkisar antara dua dan tiga bulan. Bahkan, dengan bergesernya gaya hidup dan rendahnya nilai tukar petani, kemampuan itu menjadi lebih rendah lagi.

Kemampuan bertahan tersebut sangat dipertaruhkan, terutama pada musim paceklik. Musim ini ditandai dengan makin berkurangnya lapangan pekerjaan di sektor pertanian atau bahkan tidak tersedia sama sekali. Sementara harga kebutuhan pangan, terutama beras, makin meningkat akibat pasokan berkurang. Musim paceklik berlangsung selama tiga bulan lebih dan mencapai puncaknya sejak selesai masa tanam padi tanaman musim hujan sampai masa panen.

Bayangan musim paceklik selalu datang setiap tahun dan tak mungkin dihindarkan. Namun, seberapa besar pengaruhnya terhadap kehidupan petani, masih tergantung dari hasil tanaman padi musim gadu seperti sekarang sedang berlangsung. Karena itu, kekeringan tanaman padi gadu yang bisa mengakibatkan terjadinya gagal panen jangan dipertaruhkan dengan menggadaikan nasib dan masa depan kehidupan petani dan keluarganya dengan dalih produksi padi nasional mengalami surplus.

HER SUGANDA Wartawan di Bandung

No comments: