Suara Wardah Hafidz rendah dan memelas, agak tidak melambangkan kegemarannya yang suka membela kaum miskin kota. Aktivitas yang seringkali membawa hidupnya dalam risiko-risiko.
Perempuan berkacamata yang selalu berambut pendek di atas leher dengan rambut putih yang dibiarkan menemani rambut hitamnya yang makin tersisih tampak asyik memimpin rapat berlesehan sore itu. Sudut-sudut rumah banyak tertumpuk barang-barang: tenda bivak besar, sejumlah peralatan aksi demo seperti topi caping dan kertas flano bertuliskan slogan-slogan dan sebuah becak yang mengingatkan kita pada penggusuran becak di Jakarta awal 90-an.
Orang-orang berpenampilan informal duduk santai melingkar sambil secara khidmat meresapi suara pemimpin rapat yang sesekali mencoba menjelaskan pesannya sambil menggoreskan coretan-coretan di sebuah papan tulis.
Peserta rapat beragam sekali. Mulai dari anak-anak muda relawan hingga ibu-ibu, bapak-bapak, dan anak-anak jalanan. Sebagian adalah orang kampung yang keikutsertaannya terkait posisinya sebagai manusia yang nasibnya sedang dipersoalkan dalam rapat.
Pembahasan rapat berkisar soal pembuatan tim untuk kasus penggusuran kaum kolong tol di Jembatan Tiga Pluit. Lalu dibahas juga soal perda baru DKI Jakarta yang menurut suara rapat telah menghantam anak-anak jalanan, pengemis, kaki lima dan joki. Atas kebijakan itu rapat juga merasa perlu membuat tim.
Suasana rumah kantor Urban Poor Concortium (UPC) sore di bulan ramadhan itu agak padat manusia. Anak-anak muda lalu lalang dari satu pintu ke pintu lainnya membawa urusan masing-masing. Pastinya tidak ada perayaan heboh buka puasa anak yatim di rumah itu. Bahkan tidak ada persiapan buka puasa khusus di sore yang mendekati iftar tersebut. Mereka tampaknya terlalu sibuk dengan isu kerja hari ini; pengkhidmatan kepada orang fakir yang kesusahan.
Rapat berkepanjangan. Waktu berjumpa kami dengan pe-mimpin rapat sudah dipastikan akan molor dari waktu yang ditentukan. Betapa repotnya waktu hari itu bagi Wardah Hafidz. Apalagi wartawan sebuah stasiun televisi sudah terlebih dahulu menunggu waktunya untuk wawancara terkait dengan perda Jakarta yang katanya anti-orang melarat.
Wardah Hafidz kelahiran Jombang 28 Oktober 1952 agaknya memilih sendiri nasibnya sebagai perempuan aktivis. Lahir dari keluarga santri yang kental di Jombang, Wardah sejak kecil sudah banyak memupuk ide yang cenderung banyak berbeda pandang dengan keluarga dan lingkungannya.
Latar belakang keluarganya banyak memberikan perhatian kepada agama. Kakeknya seorang kiyai yang sewaktu zaman pendudukan Jepang sudah memiliki pesantren.. Ayah Wardah melanjutkan aktivitas serupa. Lulusan pesantren Tebuireng itu adalah seorang penghulu kampung yang banyak berkecimpung melayani masyarakat dalam hal pendidikan keagamaan. Wardah menyebut sebagai keluarga santri, keluarganya dengan Gus Dur dan Cak Nun memiliki hubungan kekerabatan yang cukup dekat.
Di keluarga Wardah, ada peraturan tidak tertulis bagi sepuluh orang anak-anak orang-tuanya agar bersekolah di pendidikan Islam minimal hingga tamat sekolah menengah. Lelakinya di kirim ke Gontor, perempuan-nya ke Mualimat di Yogyakarta, setelah sebelumnya sepuluh anak itu menamatkan pendidikan SMP mereka di madrasah milik keluar-ga di Jombang. Syukur-syukur anak-anak itu lalu mau melanjut-kan studi agama lebih tinggi.
Ide itu sejak awal mence-maskan Wardah. Entah karena alasan apa, Wardah sejak remaja sudah tidak terlalu bergairah dengan ide penyeragaman seperti itu. Ia suka bilang kepada orang-tuanya bahwa dirinya memilih sekolah umum saja. Tentu saja ide itu kontan mengalami penolakan.
Sewaktu dikirim ke Mualimat, Wardah banyak menangis tidak setuju. Orangtuanya tidak surut mengalah. Menyerahlah Wardah. Di sekolah itu ia merasa tidak pas dengan banyaknya aturan-aturan.
Di sekolah itu Wardah menyebut dirinya sebagai “pembuat onar”. Ia jago dalam bahasa Inggris tapi ogah-ogahan terhadap bahasa Arab. Bukan karena bahasa Arabnya, tapi bagian dari pembangkangan akan tradisi keluarganya. Di Mualimat ia sekolah selama enam tahun. Lepas dari sana, ia bertekad memulai pilihannya sendiri.
“Saya sudah melakukan apa yang keluarga inginkan. Kini saya mau melakukan apa yang saya inginkan,” ujar Wardah ketika keluarganya mulai menganjurkan dirinya masuk sekolah tinggi agama.
Diam-diam Wardah merencanakan pilihan bersekolah di universitas. Masuklah ia ke IKIP Malang mengambil sastra Inggris. Bersekolah secara serius lalu mulai pengalaman mengajar dan menjadi instruktur bahasa di sekolah penerbangan Curug. Ia bosan menjadi guru. Kembali dipanggil menjadi dosen di almamaternya. Ia ragu, tapi tawaran bersekolah ke Amerika mengambil master sosiologi sulit ditolaknya.
Pulang dari Amerika, Wardah pulang mengajar kembali sebagai bagian dari ikatan kerja. Lagi-lagi mulailah ia mengalami kesumpekan atmosfir hidup.Wardah tak suka ketika ditawarkan permohonan menjadi anggota Golkar saat mengisi formulir PNS. Ia pula tak suka dengan lingkungan kerja yang menurutnya terlalu banyak berbicara hal-hal nonakdemik seperti mobil, jabatan, beli tanah, proyek ini-itu ketimbang urusan keilmuan.
Di kampus, Wardah terkenal paling suka mangkir mengenakan seragam ala pegawai negeri. Suatu hari ia menghadap ke rektorat. Meminta izin mundur. Pihak kampus mencoba menahan dan memaafkan kebengalan Wardah. Wardah bersikeras. Ia tak mau mendapatkan pengecualian, karena bersalah dengan sistem yang ada. Lagian di pikirannya, ia memang sudah tak betah dengan kehidupannya yang kurang menantang. “Saya tidak akan kemana-mana kalau di sini,” ucapnya merasa.
Wardah lalu mental ke Jakarta. Melakukan apa yang disebutnya sebagai “gelandangan”. Awalnya ikutan proyek penelitian LIPI soal Etos Kerja Pegawai Negeri dan Weltanschaung Ulama bersama konsultan peneliti Martin Van Bruinessen. Lalu ia mulai masuk NGO terlibat urusan isu perempuan.
Di tahun 1993 Wardah mulai terlibat di aktivitas kaum miskin kota melalui penelitian kaum miskin kota di Jelambar baru di Jakarta Utara. Ekonomi Indonesia ketika itu sedang booming. Bonanza ide pembangunanisme dilakukan seraya diikuti praktik penggusuran-penggusuran.
Wardah mulai melawan karena melihat banyak ketidakadilan dan kemelaratan yang diabaikan negara. Ia mulai sensitif dengan kompleksitas kemiskinan kota. Karena berusaha mengubah keadaan, memulihkan hak-hak kaum miskin agar lebih kritis dan ngerti haknya ia banyak menuai permusuhan dan dianggap provokator.
Suatu hari tempat berkegiatannya di Jelambar diserbu preman-preman yang tidak suka dengan keberadaan Wardah. Wardah menunjukkan kualitas mentalnya. Ia memang tidak pernah mengambil pusing dengan banyak suara minor tentang dirinya yang suka dituduh menjual isu kemiskinan. “Ibarat orang yang menilai saya sambil lalu, saya menganggap penilaian itu lebih karena ketidaktahuan,” ucapnya.
Paska Soeharto jatuh, bersama sejumlah teman berniat memfokuskan diri kepada isu kaum miskin kota secara high profile. Lalu ia mendirikan UPC. Organisasi yang dibidaninya dengan manajemen bersifat partisipatif. “Sistem gaji di UPC diukur berdasarkan standar kebutuhan masing-masing setiap bulan. Kita tahu tidak akan melakukan korupsi, karena itu kita bekerja secara terbuka dan sangat keras akan akuntabilitas,” kata Wardah. UPC adalah semesta dan pusat gravitasi ide dan gerakan Wardah untuk kaum miskin kota. Kaum ini katanya selalu terkalahkan dalam setiap desain kebijakan ekonomi.
“Setiap kenaikan ekonomi, selalu menciptakan penggusuran,” katanya. Penggusuran itu sendiri baginya langkah keliru sejak awal. Menistakan kaum miskin, dan selalu menciptakan histeria kekerasan. Ia menyebut-nyebut kasus penggusuran kolong tol yang baru-baru ini ramai. Wardah menceritakan keterlibatan preman-preman dan unsur pemilik modal yang seringkali memainkan peran besar dalam penggusuran.
Mindset penguasa kota menurutnya masih lebih banyak melihat kaum miskin sebagai beban dan bukan aset. Pola pikir itu berakibat pada tidak terlibatnya partisipasi kaum miskin kota dalam setiap desain kebijakan. Rakyat tidak pernah diajak bicara, diajak berunding secara setara dan didengar apa maunya. Hal ini diperparah dengan sikap penguasa kota yang menurutnya suka memilih bermusuhan dengan kaum miskin untuk memberikan insentif bagi para pemodal. Padahal menurut Wardah, sektor ekonomi informal yang dihuni 80 persen populasi penduduk Indonesia telah teruji tahan gempur saat krisis 1998 dan menjadi buffer bagi 20 persen yang keropos. UPC mengharapkan setiap penguasa kota mampu melakukan negosiasi yang bersifat mutual antara sektor formal dan informal. Malangnya kebijakan ekonomi yang terlalu bertumpu di Jakarta justru memperparah deretan kemiskinan. Jakarta disebutnya menjadi petromaks di tengah sawah gelap yang membuat banyak manusia membanjiri Jakarta.
Saat ADIL menanyakan bagaimanakah Jakarta bisa menjadi kota yang manusiawi bagi kaum miskin tetapi sekaligus modern, bersih dan rapih? Wardah menjelaskan selama keragaman dan konteks sosial masyarakat diabaikan maka desain apapun yang mencoba mengubah itu akan selalu bermusuhan dengan kaum miskin.
Wardah tidak keberatan Jakarta menjadi modern, tetapi bagaimana menjadi modern itulah yang paling penting baginya. Pencontohan buta terhadap sistem kota negara maju tanpa terlalu banyak menggubris struktur sosial masyarakat, adalah praktik yang dinilainya sebagai kegagalan.
Adanya rumusan perda jakarta yang melarang sektor informal berjualan dan mengemis di jalan baginya, seperti tindakan yang tidak bertangggung jawab atas nama ketertiban. Pemda DKI dinilainya picik dan menutup mata dari kenyataan mengapa banyak orang miskin di kota. Seolah-olah menghukum orang miskin dengan mengatakan: “Salahnya sendiri melarat!” Ide ini bagi Wardah seperti menyimpan api dalam kota. Sebuah permusuhan yang menunggu bom waktu meledak.
Diskusi kami panjang lebar, Wardah Hafidz dan UPC-nya agaknya tetap akan eksis dalam waktu yang lama. Apalagi Wardah mengaku telah mewakafkan waktunya untuk bisa secara total berkecimpung di UPC hingga memutuskan bersama suaminya untuk tak jadi memiliki anak. Sebuah keputusan maha berat sekaligus berani. Wardah punya prinsip: Apa yang kita dapat, harus disedekahkan lebih banyak. Ia adalah seorang perempuan dengan previllege katanya. Karena itu ia harus berbagi banyak sekali dengan kaum papa.
http://www.adilnews.com/?q=en/wardah-hafidz-untuk-kaum-miskin-kota
No comments:
Post a Comment