KOMPAS/AHMAD ARIF / Kompas Images Sebuah papan pengumuman berisi penjualan tanah berikut mata air banyak ditemui di kawasan Cicurug, Sukabumi, Jawa Barat. Penjualan mata air ini merupakan dampak dari privatisasi air, yang hanya mendudukkan air dari fungsi ekonomi semata dan menafikan fungsi sosial air . |
Jumat, 12 September 2008 | 03:00 WIB
Diberkahi kelimpahan mata air, warga Cicurug dan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, kini kesulitan air. Puluhan perusahaan air minum menyedot air di daerah yang dikelilingi tiga gunung ini, mencipta sumur-sumur dan sawah yang kering.
un (43), warga Dusun Cimelati, Kelurahan Pesawahan, Cicurug, menuturkan, keluarganya terpaksa menggunakan limpahan air irigasi sawah untuk keperluan hidup sehari-hari. ”Kami tak mendapat jatah air bersih,” katanya.
Warga Dusun Cimelati mendapat air sisa perusahaan. Puluhan mata air di Cicurug telah dibeli oleh perusahaan air minum dalam kemasan, termasuk di Cimelati.
”Kami hanya mendapatkan air sisa setelah dipakai perusahaan. Debitnya tak cukup untuk seluruh warga,” kata Endang (50), anggota mitra cai (organisasi pengelola air) Dusun Cimelati.
Perusahaan air tak hanya memanfaatkan mata air dan air permukaan, tetapi juga mengebor air tanah dalam sehingga terjadi penurunan muka air tanah. Akibatnya, sumur-sumur warga mengering.
Fenti Samsudin (47), warga Desa Babakan Pari, Kecamatan Cidahu, menuturkan bahwa sumurnya sedalam 15 meter kekeringan saat kemarau. ”Sebelum sumber air dikuasai oleh perusahaan air, sumur milik warga dengan kedalaman 3 meter tetap berisi air pada musim kemarau,” kata Fenti.
Kini, untuk memenuhi kebutuhan minum sehari-hari, Fenti dan ribuan warga yang tinggal di kaki kaki Gunung Salak, Gunung Halimun, dan Gunung Gede- Pangrango ini terpaksa membeli air bersih.
Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan Kecamatan Cicurug Cece Suparman mengemukakan, selain keringnya sumber air bersih untuk keperluan konsumsi, saluran irigasi juga kering saat kemarau.
”Sepuluh tahun terakhir, sawah kami selalu kekeringan setiap kali musim kemarau. Kami hanya bisa menanam padi sekali setahun. Sebelumnya masih bisa tanam padi dua kali setahun,” kata Cece.
Mengalir jauh
Air dari Sukabumi mengalir jauh hingga ke luar Pulau Jawa, melalui sedikitnya 200 merek air minum dalam kemasan (AMDK) yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan yang menggunakan bahan baku dari air permukaan dan air bawah tanah.
Air permukaan bisa diperoleh dengan menggali sumur kurang dari 50 meter atau langsung menggunakan mata air yang banyak terdapat di daerah ini. Adapun air tanah dalam diperoleh dengan mengebor sumur lebih dari 60 meter dengan terlebih dahulu menembus lapisan kedap air.
Kepala Seksi Data dan Informasi Balai Konservasi dan Pemanfaatan Sumber Daya Pertambangan dan Energi Wilayah Pelayanan I Cianjur Tedy Rushady mengatakan, pada Juni 2008 tercatat ada 13 perusahaan AMDK yang menggunakan air tanah dalam di wilayah Kabupaten Sukabumi. Sebetulnya, tercatat ada 17 perusahaan AMDK yang memiliki izin operasi di Kabupaten Sukabumi, tetapi empat perusahaan di antaranya sedang tidak melakukan produksi pada tahun 2008 ini karena berbagai sebab.
Selain perusahaan AMDK, di Sukabumi juga terdapat puluhan perusahaan yang produksinya berbasis air, misalnya teh botol dan susu cair. Perusahaan-perusahaan ini berebut potensi air sebanyak 34 juta meter kubik per tahun di Cekungan Sukabumi. Perusahaan yang kebanyakan berbasis di Kecamatan Cicurug, Cidahu, Parungkuda, dan Nagrak itu menyedot rata-rata 449.141 meter kubik air per bulan atau 5,389 juta meter kubik per tahun air tanah dalam.
Air mata rakyat
Kendati jutaan meter kubik dirongrong dari alam bawah tanah Sukabumi, pemerintah setempat hanya mendapat pemasukan yang kecil. Pada Juni lalu, 17 perusahaan AMDK itu membayar pajak penggunaan air ke kas Provinsi Jawa Barat sebesar Rp 1,503 miliar. Pajak yang dibayarkan oleh 17 perusahaan AMDK selama setahun ke kas daerah Jawa Barat hanya Rp 18,039 miliar per tahun.
Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sukabumi Priyo Indrianto mengatakan, Kabupaten Sukabumi mendapat porsi 70 persen dari pajak yang dibayarkan perusahaan AMDK. Berarti, dalam setahun Kabupaten Sukabumi hanya mendapat retribusi penggunaan air tanah dalam dari perusahaan AMDK itu sekitar Rp 12,627 miliar.
Uang hasil penyedotan air ini tak mengalir jauh. Masyarakat sekitar perusahaan AMDK itu tetap hidup miskin. Infrastruktur lingkungan seperti jalan di dalam desa juga hancur-hancuran.
Desa-desa yang dulu menjadi produsen padi dan ikan air tawar sekarang dilanda kekeringan setiap kali musim kemarau. Padahal, pada musim kemarau, perusahaan-perusahaan itu justru meningkatkan produksinya karena peningkatan permintaan pasar.
Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Sukabumi Edwin S Machmoed mengatakan, selama ini perusahaan-perusahaan diperiksa secara periodik enam bulan sekali. ”Tak ada yang menyalahi aturan,” katanya.
Setiap kali pemeriksaan, petugas memastikan apakah perusahaan mengambil air sesuai debit yang diizinkan. ”Kami hanya mengizinkan pengambilan air maksimal 35 persen dari potensi di sumur itu,” ujar Edwin.
Edwin menampik keluhan warga di sekitar perusahaan AMDK yang menuding kekeringan sumber air mereka terjadi karena penyedotan air tanah dalam itu. ”Air tanah dalam itu berbeda dengan air permukaan karena dipisahkan oleh lapisan kedap air. Jadi, tidak ada korelasi antara kekurangan air dan penggunaan air tanah dalam oleh perusahaan AMDK,” kata Edwin.
Masalahnya adakah debit air tanah dalam yang sudah disedot itu begitu saja tergantikan? Jika air yang meresap di daerah hulu lebih sedikit daripada yang sudah disedot, potensi 34 juta meter kubik air per tahun itu akan segera lenyap. Air yang meresap ke dalam tanah baru bisa menjadi air tanah dalam setelah lebih dari 30 tahun. Apalagi, tak ada yang peduli terhadap perbaikan daerah tangkapan air di tiga gunung yang selama ini menyuplai air tanah ke Cekungan Sukabumi.
Maude Barlow dan Tony Clarke (Blue Gold, Perampasan dan Komersialisasi Sumber Daya Air/PT GMU, 2005) menyebutkan, ekstraksi air tanah melebihi kemampuan pengisian kembali berdampak pada pengurangan air permukaan. Air tanah adalah sumber utama sungai dan danau, maka air permukaan juga dapat habis jika air tanah dalam terus- menerus diekstraksi meskipun tidak sampai kering. Aliran sungai akan berkurang, danau dan rawa menghilang.
”Ekstraksi air tanah adalah fenomena global yang terjadi pada akhir abad ke-20,” sebut Maude dan Tony.
Kedua penulis ini meramalkan dunia global akan merasakan kebangkrutan air tawar. Kebangkrutan yang bermula ketika air dilihat sebagai barang ekonomi belaka dengan mengabaikan fungsi sosialnya.
”Perusahaan-perusahaan air transnasional mengomodifikasi air tanah demi menguras keuntungan,” tambah Maudi dan Tony. Perusahaan ini dituding mereka berada di belakang gelombang privatisasi air yang melanda dunia.
Di Indonesia, desakan perusahaan air swasta itu memunculkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air. Pada sidang paripurna yang kontroversial, UU SDA yang menyokong penuh privatisasi air itu disahkan. Pimpinan sidang waktu itu, AM Fatwa, mengetuk palu tanda sah tanpa mengindahkan interupsi anggota.
Sidang yang riuh diselingi listrik mati menjelang pengesahan menjadi tanda tanya hingga sekarang. Kesengajaan atau sebuah kebetulan? Apa pun, konsekuensi dari privatisasi air itu telah memiskinkan warga yang semula memiliki kelimpahan air bersih. (AHA/GSA/AIK)
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/12/01332273/merebut.air.merampas.hidup
No comments:
Post a Comment