Dimuat dirubrik
Bebas Bicara, BERNAS Jogja, Jumat/12 September 2008
Bank Duniamenetapkan garis batas kemiskinan secara internasional US$ 2 per hari. Akibatnya 50 % rakyat Indonesia masuk dalam kategori miskin. Mudah bagi para pejabat menasehati warga agar sabar menghadapi belitan krisis ekonomi. Karena selama ini memang rakyat sudah terkondisi hidup prihatin. Terlebih paska kenaikan harga elpiji, kaum Ibu-lah yang paling repot mengatur anggaran belanja bulanan. Ironisnya "kebijakan" tersebut diberlakukan setelah rakyat dipaksa secara sistemik beralih dari minyak ke gas.
Lantas bagaimana dengan kehidupan para wakil rakyat? Apakah mereka mewakili kemiskinan dan penderitaan sama-sebangun seperti yang dialami mayoritas rakyat di akar rumput?
Menurut data terkini Departemen Keuangan RI gaji pokok anggota DPR (hanya) Rp. 4.200.000/bulan. Tapi masih ditambah aneka tips. Antara lain tunjangan jabatan Rp 9.700.000/bulan, uang paket Rp 2.000.000/bulan, dan beras Rp 30.090/jiwa/bulan bagi yang sudahberkeluarga.
Kemudian ada juga biaya operasional sehari-hari. Seperti untuk komunikasi intensif sebesar Rp 4.140.000/bulan, langganan listrik dan telepon Rp 4.000.000, rapat pansus Rp 2.000.000/undang- undang, dan fasilitas kredit mobil dinas Rp 70.000.000/orang/
Selain itu, bila tugas ke luar kota/daerah mereka memperoleh pula ongkos dan bekal
perjalanan. Rinciannya ialah sbb, tiket pulang-pergi sesuai daerah tujuan masing-masing, uang harian untuk daerah tingkat I Rp 500.000/hari, sedangkan untuk daerah tingkat II Rp 400.000/hari. Masih ditambah anggaran pemeliharaan Rumah Jabatan Anggota (RJA). RJA di bilangan Kalibata, Jakarta Selatan Rp 3.000.000/rumah/
Menyaksikan nominal dan fasilitas di atas, tak heran bila banyak orang bernafsu mengikuti Pileg (Pilihan Legislatif) pada Pemilu 2009 mendatang. Tak terkecuali para selebriti. Para politisi dadakan tersebut tidak memikirkan kesejahteraan konstituen sama sekali. Yang penting
ialah bagaimana gambar mereka dicoblos saat hari H dengan mengandalkan popularitas semu.
Padahal saat ini begitu banyak aset negara berpindah tangan ke pihak asing. Industri telekomunikasi kita sahamnya dikuasai Singapura, Malaysia, dan debutan baru Saudi Arabia. Raksasa RRC pun leluasa menggerus infrastruktur industri lokal dan pasar tradisional kita, yakni dengan mengekspor dari sayur-mayur, bolam lampu, kain batik, dan sampai celana dalam dengan harga dumping. Hal ini - menurut kesepakatan Millenium Development Goals (MDG) - termasuk kategori unfair trade.
Oleh sebab itu, ruh koperasi mesti dihidupkan kembali. Kita tidak membutuhkan Corporations (MNC/TNC) dengan mitos trickle down effect-nya. Kini zaman kebangkitan Coooperation, kesejahteraan seluruh warga negara musti menjadi tujuan bersama. Uni Eropa ialah turunan dari Cooperative Society-nya Bung Hatta.
Selain itu. secara lebih mendalam kita perlu menjalin kembali hubungan batin dengan Ibu Pertiwi. Menyitir pendapat Anand Krishna, negara ini bukan tanah dan air semata, tapi merupakan Bunda Nusantara."
No comments:
Post a Comment