Kompas: Kamis, 17 Juli 2008 | 06:43 WIB
TAHUN ajaran baru tiba. Daun-daun baru philodendron di pekarangan SDN Palmerah 26 Petang mulai bermunculan. Pada daun-daun muda itu, sepotong harapan para murid disandarkan.
Sejengkal halaman di samping sekolah rapat dipenuhi tanaman yang daunnya biasa untuk rangkaian bunga. Tiga bulan sekali, Philodendron sp itu dipanen dan dijual.
”Sehelai daun seribu rupiah. Sekali panen bisa dapat Rp 150.000 hingga Rp 200.000. Selain menghijaukan sekolah, hasilnya juga digunakan membantu operasional sekolah,” ujar Kepala SDN Palmerah 26 Muriati (48).
Muriati harus memutar otak agar sekolahnya tetap berjalan tanpa memberatkan murid. Selain bantuan operasional pendidikan (BOP) dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan bantuan operasional sekolah (BOS) dari Departemen Pendidikan Nasional, dia mengandalkan philodendron.
Dana itu untuk membayar delapan guru honorer, kegiatan ekstrakurikuler, dan buku pelajaran. ”Kami berupaya menyediakan buku pelajaran gratis,” kata dia.
Belum semua buku pelajaran terbeli. ”Baru sepuluh judul buku yang sudah kami pinjamkan kepada anak. Tahun ini, kami utang kepada penerbit tiga judul. Membayarnya kalau BOP turun,” katanya.
Muriati rajin membuat proposal guna menambah fasilitas, seperti komputer, dan mencarikan beasiswa. ”Sudah 20 anak mendapat beasiswa. Ada juga donatur yang menyumbang tiga komputer bekas,” katanya.
Dengan komputer bekas itu, siswa sekolah petang itu belajar seperti murid sekolah lain. Anak-anak bergantian memakai komputer di ruang sempit di pojok sekolah. ”Tiga komputer untuk 200 siswa,” kata Muriati.
Tahun ajaran baru ini, ketika sekolah lain berlomba mengutip iuran, SDN Palmerah 26 sama sekali tak memungut biaya. Sekolah itu hanya meminta kepada 44 murid baru membawa satu pot tanaman sebagai tanda mendaftar.
”Kepala sekolah melarang mungut apa pun dari orangtua,” kata Turayah (53), Wakil Ketua Komite SDN Palmerah 26. ”Di sekolah ini hampir semua gratis, termasuk ekstrakurikuler komputer dan tari. Bahkan, sudah dua tahun ini sekolah menyediakan bus gratis untuk rekreasi,” ujar Turayah.
”Rekreasi gratis ini untuk promosi agar kian banyak anak mendaftar,” kata Muriati. Dia sadar, sulit mengandalkan sumbangan orangtua yang rata-rata miskin.
”Sudah gratis saja, banyak anak tak mau ke sekolah,” ujar Muriati. Perlu upaya keras membujuk murid ke sekolah.
Hagai, guru olahraga, menceritakan sulitnya membujuk Desi, muridnya, ikut ujian akhir berstandar nasional beberapa waktu lalu. Menjelang ujian, Desi tak muncul. Terpaksa dia menjemput Desi. Siswi tersebut berhasil lulus dengan nilai baik. ”Menjadi guru di sini harus ikhlas. Jangan berpikir proyek,” kata Hagai.
Di sekolah lain, seperti SDN Sukabumi 02 Petang, Jakarta Barat, peserta didik juga dari keluarga miskin. Kepala SDN Sukabumi 02 Petang Sukran Raharja tidak tega memungut iuran. ”Anggarannya dicukupkan,” katanya.
Fajar harapan
”Tiga anak kami bersekolah di SDN Palmerah 26 karena tak ada pungutan aneh, tidak seperti sekolah pagi,” kata Uneh (41), ibu dari Fajar (6), siswa kelas II.
Ayah Fajar, Sarfudin (45), pemulung berpenghasilan Rp 20.000-Rp 30.000 per hari. Rumah Fajar lebih tepat disebut gubuk dengan dua bilik. Dinding dari tripleks, lantai semen, dan atap seng. Gubuk itu berimpit dengan puluhan gubuk sejenis.
Sungguh pun namanya petang, sekolah itu adalah fajar harapan bagi ratusan warga miskin. Namun, belakangan sejumlah sekolah petang di Jakarta mulai ditutup, termasuk SDN Palmerah 12 Petang. Staf Hubungan Masyarakat Dinas Pendidikan Dasar DKI, Bemmy Indianto, menyatakan, penutupan sekolah tidak sembarangan. ”Pemerintah melihat sejarah sekolah dan kebutuhan. Kalau sulit berkembang dan jumlah murid di bawah seratus, sekolah ditutup,” ujarnya.
Sekolah Fajar belum ditutup. Jumlah muridnya terus bertambah dua tahun terakhir. Siang itu bocah itu tak sabar ingin berangkat ke sekolah. Matahari tepat di atas kepala saat Fajar meninggalkan gubuknya. Ke sekolah berarti juga ke kebun philodendron, tempat bergantungnya separuh masa depan Fajar dan ratusan siswa SDN Palmerah 26 Petang.
Indira Permanasari S,Ahmad Arif
No comments:
Post a Comment