Lusiana Indriasari
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO / Kompas Images Dari kiri ke kanan, Virgie bersama rekan-rekannya, Sindi, Irma, Mels, Herry, Emen, dan Nino, di Sekretariat KKS Melati. |
Demi mewujudkan kehidupan yang lebih baik itulah sekelompok anak muda yang tergabung dalam Jakarta Green Monster (JGM) terus-menerus berkampanye peduli sampah. Mereka mengajak masyarakat Jakarta mengurangi produksi sampah dan limbah rumah tangga, serta mengelola sampah dengan baik.
Untuk membangun kesadaran, JGM menggunakan kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke sebagai model hutan lindung yang rusak oleh sampah. Setiap akhir pekan, kawasan itu tidak pernah sepi dari pengunjung yang ingin belajar tentang konservasi lahan basah.
Mereka adalah masyarakat atau pelajar yang ditarik JGM menjadi relawan untuk membersihkan kawasan hutan lindung. Selain bersih-bersih, mereka juga aktif menanam pohon bakau di pesisir pantai.
Dalam kurun waktu satu tahun, JGM mencatat ada 1.800 kunjungan sekolah ke Muara Angke. Sebagai tenaga terdidik yang difasilitasi organisasi lingkungan Flora Fauna Indonesia (FFI), relawan JGM memberi materi pendidikan lingkungan kepada anak-anak sekolah.
Di sudut lain kota Jakarta, sekelompok anak muda dengan berbagai latar belakang bergabung dalam Kelompok Kerja Sosial (KKS) Melati. Kelompok ini lebih aktif menggelar aksi kepedulian terhadap anak-anak di kampung prasejahtera.
”Karena ekonomi yang sulit, anak-anak sekarang semakin kesulitan mengakses buku,” kata Virgina Veryastuti (33), akrab disapa Virgie, salah satu dari tiga penggagas KKS Melati.
Dengan rumah baca sebagai pusat kegiatan, KKS Melati mengembangkan beragam kegiatan, seperti seni membatik, melukis, membuat kreasi daur ulang, dan pendidikan lingkungan. Program yang dijalankan, menurut Virgie yang bekerja sebagai sekretaris editor di perusahaan penerbitan, tergantung dari keinginan dan kemampuan relawan yang mengajar.
Kerja sama
JGM dan KKS Melati hanyalah beberapa dari sekian banyak komunitas relawan di Jakarta. Meski wadahnya bermacam-macam, mereka punya semangat sama, yakni berbagi untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik.
Oleh karena itu, seringkali antarkomunitas relawan ini saling bekerja sama. KKS Melati, misalnya, seringkali kerja bareng Sekolah Alam Tunas Mulia di Bekasi, Sekolah Taman Gizi Esthi Bhakti Kapuk di Jakarta Utara, dan juga dengan JGM.
Di lapangan, relawan ini menemukan kenyataan yang membuat mereka tidak pernah ingin berhenti untuk bekerja, yaitu hal kecil yang sering dianggap orang sepele ternyata sangat berarti bagi orang lain.
Ahmad Suwandi (30), salah satu pendiri JGM, mengatakan, setelah diberi pengetahuan tentang manfaat ekonomis sampah kini masyarakat yang tinggal di sekitar Muara Angke bisa memiliki penghasilan dengan membuat produk dari bahan bekas.
Sementara itu, berkat rumah baca yang dibangun Virgie dan teman-temannya, anak-anak di sekitar markas KKS Melati di Jalan Ampera II, Jakarta Selatan, mulai ”melek” bacaan. Aktivitas di rumah baca itu juga membuat ibu-ibu yang tadinya cuma hobi ngerumpi dengan tetangga sekarang ikut andil mendorong prestasi anaknya.
”Dulu kalau anak-anak KKS Melati mau ikut lomba, yang sibuk relawannya. Sekarang ibu- ibu aktif sendiri mencari kegiatan untuk mendorong prestasi anaknya,” kata Virgie. Harapannya, bila anak-anak tersebut mempunyai kegiatan positif, mereka tidak akan melakukan hal-hal yang merugikan lingkungan sehingga kota menjadi lebih nyaman ditinggali.
Para relawan itu mencoba membuka wawasan masyarakat dari hal-hal kecil dan sederhanan. Misalnya, dari ”secuil” hutan Muara Angke yang sudah rusak parah, Wandi dan relawan JGM mau bersusah payah mengonservasi hutan lindung tersebut.
”Dari contoh kasus di Muara Angke, kami bisa membukakan mata anak-anak secara nyata di lapangan seperti apa kerusakan lingkungan akibat sampah,” kata Wandi yang bekerja lepas di bidang informasi teknologi. Di kawasan hutan, anak-anak dan mahasiswa juga bisa belajar tentang satwa yang dilindungi.
Dari 76 jenis burung yang hidup di hutan lindung, 17 jenis di antaranya termasuk satwa yang dilindungi. Salah satunya adalah burung endemik Pulau Jawa, yaitu bubut jawa (Centropus nigrorufus).
Kekurangan relawan
Meski banyak komunitas terbentuk, tetapi tidak banyak orang mau menjadi relawan yang benar-benar aktif. KKS Melati, misalnya, mencatat ada 400-an relawan yang aktif di internet, tetapi setiap ada kegiatan relawan yang ikut serta hanya sekitar 50-an orang. Demikian pula dengan relawan JGM.
”Orang yang sudah bekerja dan berkeluarga biasanya susah mengatur waktu. Karena itu kami lebih banyak merekrut pelajar dan mahasiswa,” kata Wandi. Untuk menebarkan kepedulian, kata Wandi, perlu banyak relawan muda direkrut.
Untuk itu, JGM aktif berkampanye di sekolah, di mal, dan tempat nongkrong anak muda. Agar menarik, kadang-kadang, JGM melibatkan selebriti. ”Kami ingin membuat gerakan yang lebih fun supaya banyak orang tertarik ikut terlibat dalam persoalan lingkungan,” kata Wandi.
No comments:
Post a Comment