|
Minggu, 7 September 2008 | 03:00 WIB
Budi Suwarna
Bagaimanakah cara kaum jelata mengekspresikan diri? Barangkali Anda bisa melihatnya di komunitas penggemar vespa gembel. Kalau kebanyakan orang suka pamer kemewahan, mereka justru pamer kegembelan. Inilah antitesis dari parade kemewahan di sekitar kita.
Komunitas ini mudah dikenali. Mereka umumnya mengendarai vespa rombeng tahun 1970-an atau 1980-an yang dimodifikasi sesuka hati hingga bentuknya aneh-aneh. Ada yang mengganti setang vespanya dengan setang tinggi menjulang. Mereka menyebut model ini sebagai vespa setang monyet karena pengendaranya akan terlihat seperti monyet yang sedang menggelayut di batang pohon.
Ada yang menambahi gerobak di samping vespanya. Ada pula yang menceperkan dan memanjangkan badan vespa hingga bermeter-meter. Yang begini mereka sebut vespa long.
Ciri lain, vespa model begini dekilnya minta ampun. Maklum, penggemarnya sengaja tidak mencucinya berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Tampilan vespa kian kumuh karena penggemarnya kerap menempelkan aneka ”sampah” di vespa mereka, mulai dari karung goni, gombal, drum bekas, galon air, sandal jepit, CD, selongsong mortir, botol infus, tengkorak sapi, hingga (maaf) celana dalam.
”Pokoknya makin gembel makin keren. Itu berarti vespanya sering dipakai untuk keliling daerah,” ujar Muhammad Syahrul Permana alias Yayung (21), anggota Maskot, sebuah klub vespa di Pamulang, Tangerang, Banten.
Dia memiliki sebuah vespa yang dimodifikasi hingga panjangnya mencapai 5,6 meter. Saking panjangnya, kalau mau belok di tikungan tajam, vespa yang dibalut karung goni itu harus digotong beramai-ramai.
Tidak hanya rupa vespanya, tampilan sebagian penunggangnya pun sama acak-acakannya. Lihatlah Abi alias Brekele (22), anggota Banten Independent Touring Scooter (BITS). Rambutnya kribo tak karuan seperti sayuran brokoli. Tengok juga Arief (23) dari Scooter Tanpa Nama (STN) Ciledug atau Kimoy dari Maskot yang berambut gimbal dan berpakaian lusuh.
Kebebasan
Mengapa mereka mau menggembel-gembelkan diri? Ternyata ini ada kaitannya dengan faham kebebasan yang mereka anut. Mereka ingin merombak pandangan orang yang sering menilai orang lain dari penampilan luarnya.
”Kami ingin buktikan bahwa orang yang berpenampilan gembel hatinya belum tentu jahat,” tutur Yoyok, anggota BITS. Yoyok tahu persis bagaimana sakitnya disepelekan hanya karena penampilannya. Ketika kuliah dulu, dia kerap ditolak orangtua pacarnya karena rambutnya gondrong, suka memakai jaket belel, dan celana yang sobek di sana-sini.
Dengan vespa gembel, komunitas ini bisa dengan bebas mengekspresikan diri. ”Kalau orang kaya bisa pamer kemewahan, kita bisa pamer kegembelan,” ujar Aditiya Lukmansyah alias Ableh (24), Ketua Maskot, sambil tersenyum.
Dia mengaku senang sekali jika sedang tur berpapasan dengan rombongan penggemar motor mewah. ”Ternyata orang di pinggir jalan lebih banyak yang ngeliatin kita daripada ngeliatin kelompok motor mewah. Kalau enggak pake vespa gembel, mana ada yang mau memerhatikan kita,” ujar Ableh.
Kebanyakan penggemar vespa gembel memang berasal dari kelompok menengah ke bawah. Mereka umumnya pengangguran, mahasiswa, atau buruh serabutan. Meski ada pula yang berprofesi sebagai seniman, guru, atau pemilik bengkel.
Di dunia nyata, kelas ini sering kali dipandang sebelah mata. Mereka kerap diabaikan dan dipinggirkan. Nah, lewat vespa gembel mereka menciptakan ruang ekspresi sendiri lantas merebut perhatian orang lain.
Lewat kegembelannya, mereka menyelipkan semacam semangat demokrasi di jalanan. Bagi mereka, jalanan yang sering digunakan orang-orang kaya untuk memamerkan mobil dan motor mewah, juga harus bisa menjadi ruang bagi rakyat jelata berkantong cekak.
Lantas bagaimana kita memandang komunitas semacam ini? Ketika kita melihat komunitas ini, sebenarnya kita sedang melihat sebentuk perlawanan rakyat jelata kepada pihak-pihak berkuasa yang gemar memuja kemewahan. Kegembelan mereka adalah antitesis dari parade kemewahan di sekitar kita.
Tidak heran, jika komunitas ini tumbuh subur di hampir semua daerah pinggir kota, seperti Ciledug, Pamulang, Bekasi, Depok, Subang, Lampung, dan Turen (Malang). Mereka menandai keberadaannya antara lain lewat kegiatan nongkrong setiap minggu.
Komunitas vespa di kawasan Ciputat dan Pamulang biasanya nongkrong di seberang Hero Pamulang tiap malam minggu dan di depan kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah tiap Rabu malam. Komunitas vespa Ciledug biasa nongkrong di depan perumahan Puri Beta dan Alfa Bintaro tiap malam minggu.
Mereka membentuk jejaring yang kuat hingga ke kota-kota lain di luar Pulau Jawa. Mereka saling mengunjungi, saling membantu, bahkan saling mendoakan.
Ada semacam aturan tidak tertulis bahwa sebuah klub harus menjamu anggota klub dari kota lain yang mampir ke markas mereka. Mereka menyediakan makanan, tempat menginap sekadarnya, bahkan kadang menyumbang uang bensin.
Tamu-tamu itu sering kali tidak hanya menginap satu-dua hari, tetapi berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan ada yang menetap hingga satu tahun. Dari sini, persaudaraan antarkomunitas vespa gembel terbentuk dan berkembang luas. (IND/IAM)
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/07/01120332/perlawanan.vespa.gembel
Solidaritas "Tos-tosan"
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN / Kompas Images Anggota Belagu Scooter Club dari Turen, Kabupaten Malang, Jawa Timur, tengah berkumpul, Selasa (2/9). Mereka menjadi salah satu ikon komunitas skuter populer di kawasan Malang Raya. |
Minggu, 7 September 2008 | 03:00 WIB
Lusiana Indriasari
Mengembara adalah bagian hidup dari komunitas vespa (skuter) gembel. Meski duit pas-pasan, anggota komunitas ini bisa melakukan perjalanan selama berbulan-bulan. Untuk hidup, mereka mengandalkan solidaritas.
Barangkali tidak ada yang bisa mengalahkan solidaritas komunitas vespa gembel. Hidup sama-sama susah, anggota komunitas ini rela memberi tumpangan tempat tinggal, berbagi makan, bahkan kalau perlu memberi bekal uang kepada penggemar vespa yang sedang melakukan perjalanan.
Mereka menyebut bentuk solidaritas semacam ini sebagai ”perjamuan”. Dalam perjamuan, mereka yang menjadi tuan rumah adalah ”anak-anak” vespa di daerah yang dilalui selama perjalanan. Baik yang gembel atau bukan, selama mereka adalah ”anak-anak” vespa akan dijamu dengan baik.
Muhammad Syahrul Permana alias Yayung (21) dari klub Maskot, Pamulang, Banten, tahu benar solidaritas semacam itu. Tahun lalu, dia tur ke Yogyakarta bersama temannya, Boy. Saat itu, Yayung hanya membawa uang Rp 50.000.
Selama perjalanan, Yayung mampir ke Cianjur, Tasikmalaya, Banjar, dan Yogyakarta. Di sana mereka dijamu teman sesama penggila vespa. Yayung dan Boy diberi makan, bensin pun diisi oleh tuan rumah. Bahkan ada yang memberi bekal beras untuk perjalanan.
”Waktu pulang uang saya masih utuh Rp 50.000,” ujar Yayung yang menyebut bentuk perjalanan dengan uang cekak ini dengan istilah tur ”tos-tosan”.
Sumanto (49) dari Vespa Cikupa Club (VCC) Tangerang, Banten, tidak sepenuhnya mengandalkan teman. Bapak tiga anak yang juga sudah punya cucu ini selalu membawa uang cukup untuk membeli bensin dan makan. ”Saya pernah membawa uang Rp 3 juta waktu pergi ke Dompu (Nusa Tenggara Barat),” ujar Sumanto.
Uang itu ia irit-irit dengan cara tidur di emper toko, pom bensin, atau menumpang di posko-posko klub vespa di kota lain. Terkadang ia menginap di rumah teman yang sudah ia kenal baik. Sumanto bisa mengembara sendirian selama 3-4 bulan.
Jual besi
Banyak cara dilakukan saat anggota vespa gembel ini kehabisan uang di perjalanan. Ada yang mengamen, bekerja mencuci mobil, melukis tato, bahkan kalau perlu menjual besi yang digunakan untuk memodifikasi vespa.
Abdul Hafiz (23), anggota klub Scooter Tanpa Nama (STN), Ciledug, punya pengalaman kehabisan bensin dan uang dalam perjalanan ke Jawa Tengah. Ia terpaksa menginap di hutan. Besok paginya, Hafiz menjual besi sespan (bak samping) vespanya.
”Bak itu gua potong dari vespa dan dikiloin. Besi itu cuma dihargai Rp 12.000,” kata Hafiz yang gemar vespa sejak SMA. Karena uangnya tidak cukup, Hafiz terpaksa mengisi vespanya dengan minyak tanah.
Untuk melakukan perjalanan, biasanya komunitas vespa gembel ini memilih malam hari. Hal itu dilakukan untuk menghindari jalan macet.
”Kalau macet, kita harus main kopling. Tali kopling bisa cepat putus,” tutur Sumanto.
Soal mogok di jalan, komunitas vespa gembel ini juga punya solidaritas tinggi. Meski tidak kenal, mereka yang melihat ada vespa mogok akan berhenti untuk membantu, seperti dilakukan rombongan Belagu Scooter Club (BLC) dari Kabupaten Turen, Malang, Jawa Timur.
Belagu adalah akronim dari ”bersama malam Minggu”. Sebelum membentuk klub, setiap malam Minggu anggota vespa gembel di Turen ini biasa nongkrong di dekat Pasar Turen. Klub ini sekarang punya anggota 60 orang.
Kembali ke soal perjalanan, anggota komunitas vespa gembel ini dikagumi sesama penggila vespa lainnya bila ia sudah jauh mengembara. Terkait hal ini mereka punya istilah ”nol kilometer”, yaitu anggota vespa yang sudah mengembara sampai ke daerah paling ujung Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
”Wah kalau sudah nol kilometer, bentuk perjamuannya lain, enggak cuma makan minum sederhana,” kata Brekele (23) dari Banten Independent Touring Scooter (BITS). Brekele sendiri belum pernah jauh-jauh mengembara. Paling jauh ia hanya mengembara sampai ke Purwokerto, Jawa Tengah.
Meski sudah punya bengkel dan usaha jual-beli kendaraan, Brekele yang menggemari vespa sejak masih SMP ini rela hidup menggelandang. Ia juga tidak sungkan makan sambil jongkok di pinggir jalan, berebut nasi berkat dengan teman-temannya. Dengan hidup di jalanan, komunitas vespa gembel ini menemukan kebebasan. (bsw/has)
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/07/01133571/solidaritas.tos-tosan
KOMPAS/ARBAIN RAMBEY / Kompas Images Mami Maskot ( berkerudung) bersama suami dan lima anaknya. Mereka semua menggemari vespa gembel. |
Minggu, 7 September 2008 | 03:00 WIB
Sebut Mami Maskot, maka para penggemar vespa di Pamulang akan menunjuk Ade Karsinah (45). Dialah ibu dari anak-anak muda penggila vespa gembel yang suka nongkrong di markas Klub Maskot, Pamulang.
”Semua anak vespa yang mampir ke sini saya urus seperti anak sendiri. Itu sebabnya saya dipanggil mami atau emak,” ujarnya ketika ditemui di rumahnya di Gang Saidin, Bambu Apus, Pamulang, Banten, Selasa (2/9).
Pernyataan itu sama sekali tidak berlebihan. Betapa tidak, Karsinah tidak keberatan memasak makanan dan minuman untuk ”gerombolan” anak-anak vespa yang bertandang ke rumahnya, termasuk yang berasal dari luar Jawa. Kadang sekali datang jumlahnya belasan.
Ketika anak-anak vespa akan berangkat tur keliling kota, dia membuatkan nasi timbel dan lauknya untuk bekal. Kemudian, dia akan mengorganisasi ibu-ibu anggota pengajian Al Istiqomah untuk mengiringi kepergian anak-anak itu dengan doa agar mereka selamat di perjalanan.
Karsinah juga bersedia jadi teman curhat anak-anak vespa. ”Saya dengarkan apa saja keluhan mereka, kemudian saya beri nasihat, ’boleh saja ikut vespa gembel, asal tetap punya iman’. Alhamdulillah, beberapa anak yang tadinya tidak benar, akhirnya tobat,” katanya.
Karena Karsinah begitu baik, anak-anak vespa betah tinggal di rumahnya yang jadi markas Klub Maskot. Mereka bisa menginap di sana sehari, seminggu, sebulan, bahkan setahun, seperti Mozer, anggota klub vespa Dejavu asal Blok M, Jakarta.
Anak-anak itu tidur di mana saja di rumah sederhana Karsinah di Gang Saidin. Di rumah itu tidak ada barang mewah. Yang ada, tumpukan onderdil motor dan ”bangkai” vespa di hampir setiap sudut.
Dunia vespa memang lekat di kehidupan Karsinah. Suaminya, Idup Maulana (47) alias Babe Segel, adalah dedengkot vespa di Pamulang sejak tahun 1980-an. Dia memiliki sembilan vespa dan 13 mesin vespa.
Empat anak laki-lakinya, yakni Aditya Lukmansyah alias Ableh (24), M Syahrul Permana alias Yayung (21), M Rizkiyansyah alias Kimoy (20), dan M Rizqoil (14) adalah penggila vespa gembel. Anak bungsu dan perempuan satu-satunya, Karistia Dupriyandini (11), juga sudah mulai ikut-ikutan main vespa.
Karsinah terjun ke komunitas ini semata karena sayang kepada anak-anaknya. Awalnya, tahun 2005 dia datang ke sebuah acara komunitas vespa. Di sana dia menemukan anaknya, Yayung, dalam keadaan super dekil dan mabuk.”Dia tidak mengenali saya. Sejak saat itu saya benar-benar mengawasi anak-anak saya dan teman-temannya. Saya tidak ingin anak-anak saya menjadi pemabuk dan pencandu narkoba,” katanya.
Karsinah bersama suami juga tidak segan-segan bergabung dengan tur yang diikuti anak-anaknya. ”Biasanya saya dibonceng Babe atau Yayung pakai vespa butut merah. Lama-lama saya jadi ketagihan ikut tur,” kata Karsinah. Karsinah punya cita-cita, suatu saat bisa tur keliling Indonesia bersama suami tercinta. Berdua saja. (BSW/IAM)
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/07/01151045/biar.gembel.asal.beriman
No comments:
Post a Comment