KOMPAS/HERU SRI KUMORO / Kompas Images Siswa SMP Gratis Ibu Pertiwi melakukan voting atau pengambilan suara terbanyak saat mengikuti pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di teras rumah Ade Pujiati, pendiri sekolah tersebut, di Jalan Pancoran Timur VIII, Jakarta Selatan, akhir Agustus lalu. Sekolah gratis banyak didirikan untuk menampung siswa yang tidak bisa masuk sekolah formal karena terbentur biaya. |
Senin, 8 September 2008 | 03:00 WIB
Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Begitu bunyi Pasal 31 Ayat 2 Amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Namun, hingga saat ini, amanat itu belum sepenuhnya terlaksana.
Ade Pujiati (41) adalah guru piano jebolan Fakultas Sastra Inggris Universitas Indonesia semester IV. Tahun 2005, Ade gelisah dan marah dengan pendidikan nasional. Itu gara-gara anak asuhnya, Intan yang duduk di bangku sekolah dasar, dibebani pungutan liar di sekolah untuk pelajaran tambahan. Karena tidak bersedia membayar, Intan diancam tidak lulus dan dicopot dari anggota Paskibraka.
”Saya nangis sampai berhari-hari, setelah itu saya bertekad mendirikan sekolah sendiri,” ujar Ade di rumahnya, Jalan Pancoran Timur VIII Nomor 48, Kompleks Perdatam, Jakarta Selatan, akhir Agustus lalu. Ade lalu mendirikan SMP Gratis Ibu Pertiwi di teras rumahnya.
SMP Gratis Ibu Pertiwi ditujukan bagi lulusan SD dari keluarga miskin yang tidak diterima di SMP negeri dan tidak mampu melanjutkan ke SMP swasta yang termurah sekali pun. Ade menilai, kalangan ini lekat dengan kebodohan dan kemiskinan sehingga harus dientaskan melalui pendidikan. Selama ini, golongan tersebut masih belum tertampung dalam sistem pendidikan nasional.
Guru yang direkrut berasal dari kalangan pendidik maupun praktisi. ”Guru direkrut dengan seleksi. Mereka harus rela bekerja tanpa mendapat bayaran. Oleh karena itu, hampir semuanya merupakan orang yang berpenghasilan cukup,” katanya.
Dalam menyelenggarakan pendidikan, Ade percaya pada konsep pendidikan komprehensif. Selain aspek akademis formal, pemahaman soal kepemimpinan, kewirausahaan, dan eksplorasi kreativitas mutlak diajarkan.
Materi yang diberikan tidak hanya pelajaran sekolah formal. Ade juga mengajarkan keterampilan membuat telur asin berkualitas. Para siswa dilibatkan dari proses pemilihan telur hingga pemasaran. Telur asin dijual Rp 3.000 per butir, dengan disertai jaminan. ”Kami memang menjual telur di atas harga pasar, namun kalau sampai ada yang busuk akan ditukar secara gratis. Jadi anak-anak dilatih bertanggung jawab terhadap produksi mereka,” kata Ade.
Dengan bekal keterampilan yang diperoleh di sekolah, Ade berharap anak didiknya dapat mandiri. Ia juga menyelenggarakan pelatihan teater untuk memupuk rasa percaya diri siswa.
Tidak sampai di situ, SMP Gratis Ibu Pertiwi juga memberikan bimbingan psikologi dan jaminan kesehatan kepada siswa. Bimbingan psikologi dilakukan untuk memulihkan mental anak-anak, yang sebagian besar pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
Berikan penyuluhan
Untuk mendukung keberhasilan pendidikan, Ade memberikan penyuluhan kepada orang- tua murid, setiap enam bulan sekali. Ia juga menerapkan aturan khusus bagi siswa yang orangtuanya merokok, untuk membayar iuran Rp 1.000 per hari.
Meskipun terkesan kejam, aturan itu ternyata membuahkan hasil. Tiga dari delapan orangtua siswa yang sebelumnya merokok, saat ini sudah menghentikan kebiasaan mereka.
Guru Bimbingan dan Konseling SMP Gratis Ibu Pertiwi, Teddy Pranatyo, menyebutkan, persoalan awal siswa di sekolah tersebut adalah rasa minder yang sangat besar.
”Karena itulah pendidikan menjadi muara persoalan, bukan soal pintar atau tidak pintar, namun lebih pada karakter,” kata Teddy yang sempat menjabat sebagai presiden direktur salah satu perusahaan kosmetik terkemuka di Indonesia.
Untuk menyelenggarakan sekolah, Ade membutuhkan biaya Rp 6 juta per bulan. Uang itu di antaranya digunakan untuk pengadaan alat tulis, biaya transportasi siswa yang rumahnya jauh, santunan orangtua siswa, makanan dan susu untuk siswa, serta biaya telepon dan internet. Biaya itu berasal dari uang pribadi serta donatur tidak tetap.
Banyak kalangan
Ade tidak sendirian. Beberapa orang yang peduli pada pendidikan juga mendirikan sekolah serupa. Dedi Rosaidi (48) mendirikan Yayasan Nurani Insani untuk anak-anak jalanan di Jalan Petamburan III Nomor 4, Jakarta Selatan.
Reinhard Hutabarat mendirikan Sekolah Anak Jalanan (SAJA) di bawah pintu Jembatan Tol Gedong Panjang, Kampung Kakap, Jakarta Utara, sejak 2001.
Begitu pula Sunarsih Wijaya (48) dari Ri’ayatul Ummah di Jakarta Barat membantu pendidikan anak miskin dengan membina Taman Pendidikan Al Quran, serta Vergina Veryastuti mendirikan Komunitas Kerja Sosial (KKS) Melati di Jalan Ampera II Nomor 17A, Jakarta Selatan. Jumlah siswa di tiap-tiap sekolah bervariasi, seperti di SMP Gratis Ibu Pertiwi ada 37 siswa, Yayasan Nurani Insani 224 siswa, dan di SAJA sekitar 80-an siswa.
Selain karena keprihatinan terhadap mahalnya biaya pendidikan, sebagian penggiat mendirikan sekolah gratis karena prihatin pada mutu pendidikan.
Hal itu seperti dilakukan Jakarta Butuh Revolusi Budaya (JBRB) di Meruya, Jakarta Barat, yang berdiri sejak 2007.
”JBRB melihat sistem pendidikan di Indonesia hanya fokus pada aspek pengetahuan saja dan menjadikan murid sebagai obyek pendidikan,” kata Mohamad Rusdi Indradewa (24), penggiat komunitas JBRB.
Rusdi mendirikan JBRB bersama rekannya, Tasa Nugraza Barley (24). Ia mengurus pergerakan peningkatan mutu pendidikan sesuai dengan konsep ideal tadi. Tasa yang lulusan MBA di Strayer University, Maryland, Amerika Serikat, menggarap modul dan menjalankan lobi internasional dengan menyelenggarakan kegiatan budaya di Kedutaan Besar Indonesia di Washington DC.
Modul pengajaran bernama Berburu (Berbudaya Itu Seru) mengharuskan peserta didik melakukan presentasi, diskusi terbuka, diskusi kelompok, dan mengerjakan proyek kelas.
Ada yang tutup
Meskipun dilandasi keinginan memajukan pendidikan, tidak semua gerakan tersebut mendapat dukungan. Supriadi (28), penggiat Forum Pemuda Kampung Baru (Fodaru) di Kampung Baru, Sukabumi Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, hanya bisa mempertahankan gerakannya pada 2003-2005. Fodaru yang memberikan bimbingan belajar gratis kepada anak SD terpaksa tutup karena gedung SMP yang biasa digunakan untuk aktivitas tidak boleh digunakan lagi.
Munculnya sekolah nonformal sebagai bentuk ketidakpuasan masyarakat terhadap sistem pendidikan yang ada dibenarkan pengamat pendidikan dari Institute for Education Reforms Universitas Paramadina, Utomo Dananjaya.
Menurut dia, sekolah di Indonesia dibedakan menjadi sekolah negeri, sekolah swasta, dan sekolah saudagar atau sekolah yang didirikan oleh dan untuk kalangan tertentu.
”Celakanya, ada anak yang tidak bisa masuk ke tiga-tiganya sehingga tidak bisa sekolah. Oleh karena itu, ada yang mendirikan sekolah nonformal,” ujarnya.
Data dari Departemen Pendidikan Nasional yang diolah Litbang Kompas, jumlah siswa putus pendidikan dasar (SD dan SLTP) tahun pelajaran 2006/2007 sebanyak 848.245 orang.
Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional Suyanto mengatakan, berdirinya sekolah nonformal merupakan fenomena yang biasa dan tidak perlu ditanggapi secara berlebihan. Hal itu sebagai bentuk partisipasi masyarakat, bukan bentuk protes terhadap pemerintah. Sekolah serupa juga bermunculan di negara lain.
”Sekolah-sekolah nonformal tidak perlu diberi status karena didasari perbedaan cara pandang dengan pemerintah,” ujarnya.
Meskipun pemerintah menganggap berdirinya sekolah non- formal sekadar sebagai bentuk partisipasi, sebagian penggiat menganggap sebaliknya.
”Saya paling benci kalau pemerintah bilang pendidikan itu bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Enggak bisa, (pendidikan) itu tanggung jawab pemerintah,” ujar Ade. Ia mengaku, mengelola sekolah itu tidak dengan tujuan membantu pemerintah, tetapi lebih sebagai upayanya untuk menyatakan konsep pendidikan komprehensif yang ideal. (INK/WIE/KUM)
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/08/00334193/cara.unik.menggugat.pendidikan
No comments:
Post a Comment