Indira Permanasari
Masa kanak-kanak Iin (17) terhenti pada usia 14. Pada usia itu Iin sudah dihadapkan pada pilihan yang dalam bayangan sebagian orang mestinya dihadapi manusia dewasa. Pilihan untuk bekerja, bahkan keluar kampung demi membahagiakan keluarganya. Tak terpikirkan masa depannya.
Iin hanya sempat mengecap pendidikan menengah pertama selama sepekan, selulusnya dari sekolah dasar negeri di Kampung Cipedang, Kecamatan Bongas, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat,
”Enak sebetulnya sekolah, tetapi tidak ada biaya. Waktu itu harus bayar seragam, buku, dan pendaftaran,” ujarnya. Tak dapat memenuhi semua tuntutan tersebut, Iin pun terpental.
Di mata Iin tidak ada pilihan lain. Orangtua menginginkannya segera bekerja membantu ekonomi keluarga. Ayah Iin seorang penjual telur dengan pendapatan Rp 10.000 per hari dan ibunya buruh tani yang tidak selalu berhasil mendapatkan pekerjaan. Orangtuanya tidak mempunyai kebun dan sawah sejengkal jua.
Seorang sepupunya, yang sudah terlebih dahulu bekerja di ibu kota, lalu menawarkan bekerja di Jakarta sebagai salah satu staf binatu di sebuah apartemen di Jakarta Barat. Tugasnya mengantarkan pakaian yang sudah dicuci ke pemiliknya.
Empat hari bekerja, gadis tersebut merasa tidak betah dan pulang kampung. Seorang kerabatnya yang lain kemudian menawarkan bergabung dengan yayasan penyalur tenaga kerja. Iin berhasil mendapatkan pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta. Majikannya yang mempunyai rumah lain di Medan kemudian membawanya ke kota tersebut selama satu tahun.
”Saya kirim uang juga ke orangtua di kampung,” katanya. Selama bekerja sebagai pembantu rumah tangga, ia harus pandai membawa diri.
Mulai bosan, Iin kembali ke kampung dan lagi-lagi kerabatnya yang lain menawarkan bekerja di Surabaya sebagai pembersih sarang burung walet dengan gaji Rp 300.000 per bulan.
Kini, bagi Iin jauh lebih enak tinggal di kota. ”Di kota lebih mudah cari uang,” ujar Iin yang sudah tidak tertarik lagi melanjutkan pendidikan.
Akibat kemiskinan
Persoalan klasik tetapi nyata, kemiskinan pula yang membuat Datem kini ”kehilangan” adiknya yang bekerja di Jakarta sebagai pembantu rumah tangga di sebuah keluarga di kawasan Cipinang, Jakarta Timur.
Warsih (13), adik Datem, lulus dari sekolah dasar pada tahun lalu. Warsih sempat didaftarkan oleh Datem di sekolah menengah pertama negeri di desanya, tetapi hanya bertahan satu bulan. ”Ada saja yang harus dibayar. Kalau sedang tidak ada uang, ya tidak ada betulan. Jadi, saya suruh berhenti saja,” ujarnya.
Warsih menjadi tanggung jawab Datem. Orangtua mereka hanya bekerja sebagai buruh nelayan di desa lain.
Datem sendiri masih harus membiayai ketiga anaknya dan dua di antaranya waktu itu masih duduk di kelas VI dan IV sekolah dasar. Anaknya, Chasnawi, yang baru lulus sekolah dasar baru-baru ini mengikuti jejak Warsih, tidak melanjutkan sekolah.
Chasnawi hanya bertahan empat hari di sekolah baru. Saat harus membeli pakaian seragam sendiri yang harganya sekitar Rp 70.000 satu setel dan membayar uang pembangunan, Chasnawi mental dari sekolah. Padahal, sudah tidak ada lagi pungutan buku atau iuran bulanan.
Kembali ke kisah Warsih. Kata Datem, pekerjaan pertama gadis kecil tersebut di Cikampek dan di Surabaya. Warsih sempat mengirim uang ke orangtuanya sebesar Rp 400.000 dan ke Datem Rp 400.000. Uang tersebut dipakai Datem untuk makan sehari-hari.
Ketika ditanya tempat tinggal adiknya dan cara menghubunginya, Datem hanya menggelengkan kepala, tidak tahu. Ia melihat Warsih terakhir kali ketika seorang pencari tenaga pembantu rumah tangga membawa pergi adiknya.
Akrab dengan keseharian
Bagi Heni Heriani, guru di SDN Margamulya 03 dan Mts Darul Fallah, sejak datang ke kampung tersebut belasan tahun lalu, kisah Iin dan Warsih akrab dengan kesehariannya sebagai pendidik di Kecamatan Bongas. Terlebih lagi ia juga menjadi fasilitator untuk pencegahan human trafficking bersama lembaga swadaya masyarakat di desanya.
Anak-anak di kawasan tersebut kehilangan masa kanak-kanaknya dalam usia sangat muda. Lembaga pendidikan belum mampu sepenuhnya menahan mereka tetap berada di sekolah.
Jangankan saat belum ada pembebasan iuran sekolah, sekarang pun saat sudah sebagian sekolah membebaskan biaya, ternyata urusan sepatu, seragam, dan buku tulis masih dapat mementalkan anak dari bangku sekolah. Tidak hanya itu, anak yang bekerja dapat menopang ekonomi atau mengurangi beban keluarga di daerah yang sebagian besar bekerja sebagai buruh tani atau serabutan. Hambatan biaya sekecil apa pun kemudian memperkuat alasan anak menjauh dari sekolah.
Para anak-anak yang sudah terlebih dahulu bekerja ke kota dan pulang ke kampung pada saat Hari Raya dengan ”gaya kota” menjadi godaan tersendiri bagi anak-anak di desa.
”Tidak sekolah tinggi, mereka melihat teman-temannya sudah mandiri. Mereka bisa membeli barang-barang, seperti baju dan aksesori, yang dilihat di sinetron-sinetron. Tanpa peduli berat dan risiko bekerja,” ujarnya.
Heni berkisah bahkan ada masanya, anak-anak terdorong bekerja ke kota di lokasi berbahaya, seperti di kafe-kafe plus. Mereka kemudian rawan terjerumus menjadi pekerja seks komersial. ”Di sini ada istilah luru duit yang identik dengan pekerjaan sebagai PSK,” ujarnya.
Ketika pertama kali mengajar di Bongas, ia punya pengalaman terkait istilah itu. ”Di hadapan murid saya katakan, saya sedang luru duit. Anak-anak tertawa. Setelah bertanya kepada para guru, ternyata anak-anak SD itu salah mengartikan maksud saya,” ujar Heni yang terpaksa kembali ke kelas dan menjelaskan yang dimaksud luru duit adalah bekerja ditugaskan pemerintah sebagai guru mereka.
Iin termasuk yang pernah diminta oleh orangtuanya untuk bekerja luruh duit, tetapi dengan bantuan seorang sepupunya yang pernah punya pengalaman tersebut, ia berhasil menghindari keinginan orangtuanya.
Realitas pekerja anak tidak hanya dialami oleh anak-anak Kecamatan Bongas. Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat, terdapat sekitar 11 juta anak usia 7-8 tahun yang tak terdaftar di sekolah di 33 provinsi. Pada tahun 2004 terdapat 2,1 juta anak putus sekolah, kebanyakan di jenjang sekolah menengah pertama. Usia mereka 7-17 tahun. Kemiskinan yang terdengar klise, tetapi tidak demikian bagi yang mengalaminya, menjadi faktor pendorong anak keluar sekolah dan bekerja.
Ke luar negeri
Belakangan Iin disibukkan dengan persiapan menjadi tenaga kerja wanita di luar negeri. Ia berencana pergi ke Timur Tengah atau tepatnya ke Abu Dhabi. Gadis tersebut sudah mengurus berbagai kepentingan dokumen melalui sebuah ”PT”, demikian Iin menyebutnya, di daerah Kampung Melayu, Jakarta Timur. ”Sudah tes kesehatan dan paspor-an,” ujar Iin berseri-seri.
Di desanya, bekerja sebagai tenaga kerja di luar negeri sudah menjadi tren. Iin belum menikah dan umurnya baru 17 tahun sehingga usianya pun kemudian dipalsukan menjadi 21 tahun.
Iin belum pandai berbahasa Arab dan hanya sepotong-potong berbahasa Inggris. Ia pun tidak mengetahui berapa gaji yang akan diterimanya nanti. Hanya pakaian dan pembalut yang dipersiapkannya.
”Saya takut bingung soalnya belum tahu bahasa Arab-nya pembalut itu apa,” kata Iin tersenyum, dengan kepolosan anak-anak tersisa, dunia yang sudah ditinggalkannya sejak lama.
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/23/00405767/mereka.yang.terpental.bekerja
No comments:
Post a Comment