Pasar "Kaget"
Kompas 15 Juni 2006
Oleh dahlia irawati
Bicara soal pasar, tebersit gambaran kepadatan arus barang dan orang di satu lokasi tertentu. Namun, diakui atau tidak, pengelompokan para pekerja informal itu hingga bisa membentuk pasar merupakan ide cerdas memangkas biaya distribusi yang patut diacungi jempol.
Tak beda jauh dengan pasar pada umumnya, pasar di pinggir rel kereta api (KA) di Jalan Karya Timur Kota Malang Kecamatan Blimbing (sekitar pabrik rokok Sampoerna) juga berimplikasi sama. Bagi pekerja di pabrik rokok itu, keberadaan pasar "kaget" seakan dewa penolong.
Karyawan/karyawati yang masuk sejak pukul 05.30 (kadang tidak sempat membeli kebutuhan sehari-hari) tetap bisa memenuhi kebutuhannya di pasar "kaget" itu. Mulai dari buah-buahan, sayur- mayur, lauk-pauk, sabun, hingga berbagai kebutuhan harian dijual di sepanjang pinggir rel KA dekat pabrik rokok Sampoerna. Artinya, sepulang kerja, mereka masih bisa memasak untuk keluarganya tanpa repot harus masuk pasar dahulu.
Pasar yang mulai menunjukkan aktivitas sekitar pukul 13.00 hingga pukul 18.00 itu mayoritas dibuat oleh para "pendatang". Ada pula sebagian pedagang yang berjualan di pagi hari sekitar pukul 05.00 sesaat sebelum karyawan masuk pabrik. Rata-rata penjualnya adalah orang Kabupaten Malang yang juga merupakan perantau dari Madura, Lumajang, Banyuwangi, dan berbagai wilayah lain di Indonesia.
Keunikan pasar yang membujur arah utara-selatan mengikuti rel KA itu adalah para pedagang menjajakan sayur-mayur dan dagangan lain hanya beralaskan terpal plastik di atas tanah berbatu, persis di samping rel KA. Pembeli dari berbagai lokasi pun dengan enak melenggang di rel tanpa takut tertabrak KA. Alasannya, kalau ada KA pasti ada yang memberikan tanda. Jika ada kereta api lewat (sekitar pukul 14.10 dan pukul 17.00), ada sebagian yang menutup dagangannya dengan terpal plastik dan ada yang membiarkannya. Mereka sangat hapal, kereta api tidak akan melindas barang dagangan mereka. Sektor informal
Munculnya pasar "kaget pinggir rel" tak ubahnya dengan banyaknya pedagang kaki lima yang beroperasi di pinggir-pinggir sudut Kota Malang. Tentu hanya kapasitas pelakunya yang berbeda. Mari kita tengok pedagang lemari keliling yang mengumpul di Jalan Muharto, pedagang keripik tempe Sanan, rujak, dan buah-buahan di belakang Wearness Jalan Jakarta, serta sejumlah pedagang kaki lima lain yang ada di Kota Malang.
Fenomena munculnya pasar informal seperti di atas, menurut Hernando De Soto dalam bukunya, The Other Path (1998), merupakan ciri ketidakmampuan pemerintah kota menyediakan sumber-sumber ekonomi bagi warganya, termasuk mengatur dan menata pedagang informal. Oleh karena jalan-jalan kota tidak lagi bisa menampung pekerja informal itu, mereka membentuk pasar sendiri tanpa campur tangan pemerintah.
Sedikit demi sedikit masyarakat pinggiran yang cerdas menyikapi mahalnya biaya distribusi akan terus membanjiri Kota Malang (dengan menjajakan sendiri dagangannya ke kota, tentu ongkos distribusi bisa dipangkas).
Disadari atau tidak, pembangunan memusat yang dilakukan pemkot bagaikan magnet bagi sektor informal (sebab kemampuan yang ada memaksa orang terjun di sektor informal).
Jika pemkot tidak awas dan terlena dengan proyek mercusuar sarana ekonomi kelas menengah atas di pusat kota, yang terjadi, menurut ilmuwan Hans Dieter-Ever (1990), adalah efek lompat katak.
Kaum "berada" pusat kota justru akan mulai meninggalkan kota dan memilih lokasi pinggiran yang belum terlalu sesak dengan semua aktivitas. Lalu, akankah pusat kota Malang dipenuhi dengan sektor informal sementara sektor formal justru kabur akibat jenuh?
No comments:
Post a Comment