Hermas E Prabowo
Konsentrasi produksi pangan dan perdagangan pangan global berada pada negara maju. Negara berkembang, seperti Indonesia, hanya menjadi sasaran empuk pasar negara maju dan produk industri raksasa multinasional (multinational corporations/MNCs).
Ahli peneliti utama bidang kebijakan pertanian pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Husein Sawit, dalam penelitiannya mengemukakan, negara maju yang saat ini memegang kendali produksi pangan dunia meliputi Amerika Serikat (AS), Uni Eropa, Australia, Selandia Baru, dan Kanada.
Komoditas yang diperdagangkan meliputi jagung, minyak kedelai, gandum, daging unggas, beras, kedelai, buah, dan sayur. Juga daging sapi, susu bubuk skim, mentega, dan keju.
Memang produk pertanian hanya mengambil pangsa 9 persen dari total perdagangan global. Namun, yang amat riskan dari 9 persen itu sekitar 70 persen merupakan komoditas pangan. Komoditas paling strategis.
Laporan South Center tahun 2005 menunjukkan, dari volume perdagangan pangan 70 persen, sebanyak 85-90 persen dikontrol oleh lima industri raksasa MNCs. Sekitar 75 persen total perdagangan serealia, seperti beras dan gandum, malah hanya dikuasai Chargill dan Archer Daniels Midland.
Institute for Agriculture and Trade Policy (IATP) pada tahun 2007 melaporkan, di antara sedikit MNCs yang merambah dunia terdapat di AS dan Uni Eropa. Chargill beroperasi di 63 negara di dunia, termasuk Indonesia. Archer Daniels Midland berada di AS, Kanada, negara-negara Amerika Latin, Eropa, negara Pasifik, dan Afrika. Adapun Monsanto beroperasi di 61 negara, termasuk Indonesia.
Sejumlah perusahaan raksasa MNCs ini menguasai industri hulu, seperti sarana produksi pertanian meliputi benih, pupuk, dan pestisida. Juga menguasai industri hilir pangan, seperti industri pengolahan, pengepakan, dan standardisasi.
Sarana produksi
Hasil penelitian International Food Policy Research Institute (IFPRI), seperti dikemukakan Braun, sekitar 6,5 miliar konsumen pangan global dilayani oleh perusahaan MNCs. Konsumen global itu tersebar di sejumlah benua, seperti Asia, Afrika, dan Amerika.
Masih seperti yang dikemukakan Braun, sarana produksi pertanian global, termasuk Indonesia, dipasok oleh sepuluh perusahaan besar dengan nilai penjualan mencapai 40 miliar dollar AS atau sekitar Rp 364 triliun.
Lima perusahaan raksasa itu adalah Syngenta, Monsanto, Bayer Crop, BASF AG, dan Dow Agro. Sepuluh besar industri hulu agro-input termasuk lima yang disebutkan di atas menguasai pasar 450 juta usaha tani. Mereka umumnya petani kecil dengan kepemilikan lahan kurang dari dua hektar.
Melihat kondisi di atas, jelas petani kecil tengah berhadapan dengan raksasa industri maju. Memang petani mendapatkan keuntungan dari produksi benih itu dengan peningkatan produktivitas tanaman yang mereka tanam, tetapi keuntungan yang didapat tidak sebanding dengan yang diperoleh industri besar tadi.
Ketergantungan petani dengan lahan sempit ini terhadap industri raksasa multinasional semakin besar yang pada akhirnya akan memperlemah posisi tawar petani. Petani kecil, termasuk di Indonesia, tak mampu lagi menghindar dari suplai sarana produksi industri besar.
Makin terpuruk lagi ketika petani kecil yang juga net cumsumer alias petani yang juga konsumen itu juga bergantung dari pangan yang perdagangannya dikendalikan MNCs. Petani dan masyarakat miskin lain bergantung dari industri olahan dan perdagangan pangan global.
Lima perusahaan penguasa industri pengolahan pangan dan perdagangan global di antaranya Nestle, Cargill, ADM, Unilever, dan Kraft Foods. Sepuluh besar perusahaan raksasa pengolahan dan perdagangan—termasuk lima lainnya seperti disebutkan di atas—menguasai total penjualan senilai 409 miliar dollar AS atau sekitar Rp 3.721,9 triliun.
Bahkan, cengkeraman negara maju melalui perusahaan multinasional merasuk ke pasar ritel. Total penjualan sepuluh perusahaan ritel besar di dunia malah mencapai 1.091 miliar dollar AS. Lima di antara sepuluh ritel besar itu meliputi Carrefour, Wal-Mart, Metro Group, Tesco, dan Seven & 1.
Melihat fenomena di atas, tampak nyata bahwa industri raksasa MNCs menguasai bisnis pertanian mulai dari hulu sampai hilir. Mereka mengeksploitasi petani kecil dan miskin untuk dijadikan buruh tanam, lalu menjadikan konsumen yang umumnya juga petani kecil dan warga miskin makin menjadi sasaran empuk penjualan produk mereka.
Bagaimana negara maju dan MNCs menguasai dunia, termasuk Indonesia?
Strategi
Berbagai strategi dilakukan oleh negara maju agar produk pangan mereka bisa mendominasi pasar global. Negara maju, seperti AS dan Uni Eropa, menyubsidi produk pertanian mereka secara berlebih untuk sejumlah komoditas pangan, terutama beras, jagung, kedelai, gula, gandum, daging sapi dan unggas, susu, serta komoditas hortikultura seperti sayur.
Berbagai ragam subsidi tersebut tampak dari besaran angka produser support estimate/PSE, antara lain market price support, payments based on area planted/animal numbers/input use/input contraints.
Sebagai gambaran, pendapatan petani beras, gula, dan daging sapi di negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang berasal dari bantuan pemerintah mencapai berturut-turut 78 persen, 51 persen, dan 33 persen. Itu artinya hanya 22 persen pendapatan petani beras di OECD yang berasal dari usaha mereka sendiri. Selebihnya disubsidi.
Dampak kebijakan subsidi pangan yang besar dari negara maju akan memukul usaha tani di negara berkembang, termasuk Indonesia. Kasus kedelai bisa menjadi contoh nyata.
Pada saat subsidi pangan dilakukan secara besar-besaran, membuat harga pangan di dunia rendah. Persaingan menjadi tidak adil. Hal itu akan berpengaruh negatif terhadap petani di negara berkembang seperti Indonesia.
Misalnya saja petani menjadi malas menjalankan usaha taninya sehingga lama-lama produksi komoditas pangan turun. Dan, pada akhirnya Indonesia akan bergantung sepenuhnya dari pangan impor.
Fakta lainnya, ketika terjadi perubahan kebijakan pangan global akibat isu substitusi energi nabati, harga pangan menjadi mahal. Negara yang telanjur bergantung pangan impor menghadapi krisis pangan dan inflasi besar-besaran. Begitu pula ketika terjadi bencana hama-penyakit berlangsung meluas dan negara yang mengalami ketergantungan pangan kesulitan mengakses pangan.
Adapun perusahaan raksasa MNCs menangguk keuntungan dari negara berkembang.
Berdasarkan laporan Agro Observer tahun 2006, dalam beberapa tahun terakhir, banyak produk agroindustri dan agro- pangan yang secara lokal sudah terkenal mereknya dijual ke perusahaan asing.
Saham perusahaan lokal diakuisisi oleh perusahaan asing, seperti oleh Danone (Perancis), Unilever (Inggris), Nestle (Swiss), Coca Cola (AS), Hj Heinz (AS), Campbels (AS), Numico (Belanda), dan Philip Morris (AS). Lihat tabel
Ada sejumlah alasan mereka tertarik masuk ke pasar Indonesia. Pertama karena jumlah penduduk Indonesia dan pendapatan penduduk yang terus meningkat, urbanisasi juga bertambah. Ada sekitar 12 persen penduduk kota yang memiliki penghasilan tinggi yang membutuhkan makanan berkualitas.
Juga alasan lain karena perusahaan di dalam negeri kesulitan mendapatkan modal kerja, nilai aset yang dimiliki murah, sedangkan utangnya tinggi, terutama itu terjadi di era krisis moneter.
Sebagai gambaran, produk kecap, sirup, dan saus merek ABC sebagian besar sahamnya, sekitar 65 persen, dimiliki Hj Heinz (AS). Seluruh saham teh milik PT Sari Wangi dibeli oleh Unilever, juga kecap Cap Bango dan makanan ringan merek Taro.
Begitu pula produk air minum kemasan merek Aqua dan Ades yang masing-masing sahamnya sebesar 74 persen dan 100 persen sudah dikuasai Danone (Perancis) dan Coca Cola (AS).
Sesungguhnya globalisasi sistem pangan dan konsumsi produk pangan bernilai tinggi telah menawarkan peluang besar bagi petani kecil di negara berkembang. Sayangnya, petani negara berkembang menghadapi beratnya hambatan untuk masuk pasar negara maju.
Semakin banyaknya gerai Carrefour, luasnya konsumsi Aqua dan Ades, sedapnya kecap Cap Bango, dan harumnya teh Sari Wangi menjadi contoh nyata negara seperti Indonesia hanya menjadi bulan-bulanan negara maju.
No comments:
Post a Comment