Wednesday, August 27, 2008

Tangan Buruh Ngenam Melepuh

Kompas, Selasa, 26 Agustus 2008 | 01:51 WIB

Rami (65) berada di antara buruh di sentra produksi ikan pindang Desa Tasik Agung, Rembang, Senin (4/8). Jemari tangannya basah dan ujung jarinya memutih. ”Sudah mulai melepuh karena memegang ikan bergaram terus-terusan. Satu dua hari lagi pasti sakit. Saya terpaksa tidak masuk kerja sampai satu minggu,” kata Rami.

Itulah rutinitas kehidupan sehari-hari Rami, potret buruh ngenam, perajin ikan pindang di Rembang, Jawa Tengah. Tidak hanya tangan yang melepuh, badan pun pegal-pegal lelah luar biasa karena setiap hari para perempuan buruh ngenam nyaris tanpa istirahat sejak pukul 08.30-17.00 demi upah Rp 8.000-Rp 10.000 per hari.

Ratusan hingga jutaan warga desa pesisir pantai utara Jawa terjebak dalam kemiskinan yang sama dengan Rami. Tanpa tanah yang dimiliki untuk digarap, tanpa kapal untuk berlayar di tengah laut, Rami terjebak menjadi buruh harian lepas. Tidak ada ikatan kerja yang jelas dengan pemilik usaha. Ketika sakit dan tidak bisa bekerja, uang dijamin tidak akan berlabuh ke tangannya. Pemenuhan kebutuhan pokok pun makin sulit.

Senin pagi itu Rami duduk berkelompok dengan dua perempuan lain, Meri (52) dan Tasmi (45), mengelilingi setumpuk ikan segar berukuran kecil. Mereka berdesakan dengan buruh lainnya di ruangan tembok 6 meter x 12 meter. Tumpukan ikan dan kreyeng, semacam keranjang kecil dari anyaman bambu, berserakan.

Perjuangan

Sepanjang hari, dengan lutut tertekuk hampir menyentuh dagu, kepala tertunduk, mata terfokus pada ikan, jemari para buruh terus sibuk memilih dan menata ikan. Tanpa penutup hidung, sarung tangan, apalagi sepatu bot sebagai pelindung.

Perjuangan mendapatkan rupiah dimulai sejak matahari baru saja terbit. Mereka mengayuh sepeda selama 40 menit dari rumah mereka di Desa Waru, Desa Ngotet, dan sejumlah desa lain di Kecamatan Rembang menuju sentra pembuatan ikan pindang di Desa Tasik Agung. Kayuhan sepeda kontras dengan deru truk-truk pengangkut sibuk melintasi jalan pantai utara, salah satu urat nadi perekonomian di Jawa dan Nusantara. Truk- truk itulah yang mengantar berbagai komoditas, termasuk ikan pindang, bernilai miliaran rupiah ke pusat-pusat industri atau kota besar.

Di Tasik Agung, sedikitnya terdapat 15 sentra pembuatan ikan pindang. Setiap sentra menyerap tenaga kerja antara belasan hingga 200 buruh perempuan dan sedikit buruh laki-laki. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2005, para buruh itu termasuk dalam 99.068 keluarga miskin di Rembang. Dengan total penduduk mencapai 160.876 keluarga, warga miskin di kabupaten ini mencapai 61,5 persennya.

”Pilihannya, kalau tidak jadi buruh tanam sawah, ya ngenam. Ngenam lebih enak karena tidak harus berpanas-panas kena matahari. Cuma jaraknya jauh dari desa kami. Namun, kalau tidak begini, keluarga nanti makan apa?” kata Tasmi, asal Desa Ngotet.

Rami, perempuan asal Desa Waru, mengaku telah bekerja sejak awal tahun 2000 di sentra ikan pindang Alfian Putra, usaha pembuatan ikan pindang kelas menengah dengan tingkat produksi sekitar 4 ton per hari.

Tempat produksi ikan pindang Alfian Putra terletak tepat di depan Pelabuhan dan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Tasik Agung. Di TPI ini setiap pagi para nelayan berlabuh dan melelang ikan-ikan segar tangkapan langsung dari laut. Para pemilik usaha ikan pindang segera memborong ikan banyar, layang, juwi, siro, atau tongkol.

Sukarno (40), petugas pengawas produksi di Alfian Putra, mengatakan, setelah dibersihkan dan digarami, ikan-ikan dipilah berdasarkan jenis dan ukurannya, kemudian ditata di dalam kreyeng. Setiap 8-20 kreyeng disatukan dalam ikatan tali rafia. Tumpukan ikatan kreyeng direbus selama lima menit di air mendidih bergaram. Seusai ditiriskan, ikan-ikan pindang siap dipasarkan hingga ke Jawa Timur dan Jawa Barat dengan harga Rp 2.000-Rp 4.000 per kreyeng.

”Buruh perempuan mendapat Rp 250 per ikat kreyeng, yang laki-laki Rp 200 per ikat. Total dalam satu hari rata-rata setiap pekerja kami mendapat Rp 8.000-Rp 10.000. Kalau ikan sedang banyak, mereka bisa kerja lembur sampai pukul 20.00 dan mendapat uang Rp 15.000 per hari,” kata Sukarno.

Dengan uang tersebut, Rami dapat membeli beras dan lauk untuk dirinya bersama anak perempuannya yang sakit-sakitan serta seorang cucu usia 12 tahun yang telah putus sekolah. ”Suami anak saya jadi buruh proyek di Semarang. Setiap pulang 2-3 bulan sekali, cuma bawa Rp 400.000-Rp 500.000,” kata Rami.

Komentar

Sosiolog Universitas Indonesia, Tamrin Amal Tomagola, pernah mengatakan, kemiskinan yang menimpa Rami adalah potret kemiskinan di Indonesia, yaitu kemiskinan struktural yang terkait erat dengan sumber daya manusia (SDM) tidak berkualitas, adanya faktor penghambat seseorang memanfaatkan kesempatan yang tersedia, dan kekurangan fasilitas permukiman, pendidikan, infrastruktur, serta pelayanan publik. Menurut Tamrin, diperlukan upaya bersama antara pemerintah dan warga untuk pengentasan masyarakat dari kemiskinan. Salah satu hal yang penting adalah program tepat sasaran dan harus memotong sekian banyak jalur birokrasi serta praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Jika tidak, jari-jemari melepuh akan terus menjadi bagian siklus hidup Rami-Rami lain pada masa kini dan masa depan. Kemiskinan pun akan terus bertahan.... (Neli Triana)

No comments: