Thursday, November 6, 2008

Mulai dari Sila Keadilan


KOMPAS/WISNU WIDIANTORO / Kompas Images
Pemulung cilik di Banjir Kanal Barat di kawasan Jati Petamburan, Jakarta Pusat, awal September 2008. Jumlah warga yang senasib dengan mereka cukup banyak dan seolah-olah sila keadilan sangat jauh dari lingkungan mereka sehari-hari.

Jumat, 7 November 2008 | 03:00 WIB

Wacana melaksanakan nilai-nilai Pancasila dengan urutan terbalik, mulai dari paling dasar, dari sila Keadilan Sosial, cenderung meluas. Lebih-lebih karena bersifat konkret.

paya menegakkan keadilan, terutama dalam bidang ekonomi, merupakan langkah nyata bagi pelaksanaan Pancasila. Nilai keadilan tidak hanya menjadi jargon, tetapi kenyataan dalam kehidupan berbangsa.

Selama Pancasila hanya digunakan dan diperalat untuk kepentingan politik dan bahan retorika, maknanya sebagai ideologi akan melorot dan hambar. Jauh lebih penting lagi, bagaimana keinginan itu tidak berhenti pada wacana atau retorika, tetapi benar-benar diikat dalam program aksi yang dapat dirasakan secara langsung oleh seluruh warga masyarakat.

Sekadar perbandingan, neososialisme di Amerika Latin menjadi kuat karena benar-benar dipraktikkan secara nyata untuk menjawab kebutuhan dan kepentingan rakyat banyak. Sebelumnya, neososialisme dicemooh karena hanya menciptakan retorika dan kesadaran palsu yang tidak membawa perubahan apa-apa bagi rakyat, terutama yang terpinggirkan.

Para pemimpin Amerika Latin, seperti Presiden Venezuela Hugo Chavez dan Presiden Paraguay Fernando Lugo, mengagumi ajaran Bung Karno tentang nasionalisme dan sosialisme. Pengalaman Amerika Latin, sejauh bidang dibanding-bandingkan, memperlihatkan bahwa nilai kemanusiaan harus dibangun di atas landasan ekonomi. Dalam kebutuhan ekonomi, seluruh manusia dipertemukan dan dipersatukan. Semua butuh makan.

Prinsip-prinsip Pancasila dikenal luas di Amerika Latin, terutama di kalangan yang mengenal para pendiri bangsa seperti Bung Karno. Namun, sampai sekarang ide-ide yang banyak memberikan inspirasi itu hanya menjadi kunyahan dan omongan.

Persoalan macam ini pernah dialami juga di Amerika Latin. Para pemimpin sangat pandai berbicara tentang kemajuan dan upaya memberantas korupsi dan kemiskinan, tetapi tidak ada perubahan.

Partai-partai juga hanya bicara visi dan misi, tetapi tidak melakukan pekerjaan lapangan. Hanya pandai berkata-kata, tetapi tidak mampu melakukan transformasi ide dan perilaku yang membebaskan rakyat dan bangsa dari keterbelakangan.

Panggilan sejarah telah mendorong para pemuka agama dan politisi di Amerika Latin berubah. Kata-kata dan ungkapan dijadikan kerja. Iman tidak hanya mencari ilmu pengetahuan, fides quarens intellectum, tetapi juga pencari kesejahteraan, bonum commune.

Gotong royong merupakan kata lain untuk solidaritas dalam melakukan pekerjaan. Keberadaan dan keberlangsungan hidup bangsa Indonesia antara lain karena mampu mempertahankan prinsip itu dalam praktik.

Ibarat anak tangga

Wacana untuk melaksanakan Pancasila dalam urutan terbalik, mulai dasar, dari sila Keadilan Sosial, cenderung berkembang luas, lebih-lebih belakangan ini. Argumennya tergolong kuat. Secara visual, ibarat anak tangga, sila kelima terletak paling bawah, yang perlu ditapaki pertama sebelum melangkah ke atas.

Secara sosiologis, keadilan sosial, terutama dalam bidang ekonomi, menjadi tuntutan fundamental. Kesenjangan sosial akan memberi komplikasi rumit bagi berbagai aspek kehidupan lainnya. Jika prinsip keadilan dan kesejahteraan ekonomi terjamin, jalan menuju sila ke-4, ke-3, ke-2 dan ke-1 menjadi lebih kuat dan lebih mantap.

Tidak terbayangkan kehidupan demokrasi yang dijamin oleh sila ke-4 jika kehidupan ekonomi masih morat-marit. Makna dan kualitas demokrasi akan rendah jika tidak diperkuat oleh kesejahteraan ekonomi.

Kehidupan demokrasi dalam situasi ketidakadilan sama sekali hambar. Orang sulit bersikap demokratis dalam situasi kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi.

Tidak mungkin membayangkan sila keempat, Permusyawaratan Rakyat, jika dijalankan dalam perut lapar karena kesenjangan dan kemiskinan. Kualitas demokrasi antara lain ditentukan oleh kadar kemajuan ekonomi.

Proses demokrasi tidak dapat dijalankan dengan tenang dan aman jika perut lapar. Pembangunan ekonomi bersifat membebaskan dari kemiskinan, sekaligus memperkuat kadar demokrasi.

Basis yang kuat dalam bidang ekonomi akan memperkukuh pula penghayatan terhadap sila ketiga, kedua, dan pertama. Kunci masuk ke dalam Pancasila haruslah melalui sila kelima.

Jika pijakan sosial ekonomi kuat sesuai dengan sila ke-5 dan demokrasi kuat sesuai dengan sila ke-4, kegairahan hidup bersama dan persatuan yang ditegaskan dalam sila ke-3 akan menjadi kuat.

Keadilan sosial dan kehidupan yang demokratis akan memperkuat persatuan bangsa. Orang akan saling menghormati dan menghargai sebagai sesama warga masyarakat dalam semangat demokratis.

Jika sila ke-5, ke-4, dan ke-3 dilaksanakan, tangga sila ke-2 akan terlaksana dengan sendirinya. Kemanusiaan akan tercipta dalam keadilan sosial, demokrasi, dan persatuan.

Tidak mungkin kemanusiaan akan dihormati jika tidak ada keadilan sosial, tidak ada demokrasi, dan tidak ada persatuan. Perpecahan atau permusuhan akan membahayakan kemanusiaan.

Jika empat sila itu dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, penghayatan sila Ketuhanan akan semakin kokoh. Rasa ketuhanan akan rendah jika orang terus bergulat dalam kemiskinan, tidak demokratis, tidak menghargai persatuan dan kemanusiaan.

Tuhan dimuliakan

Tuhan harus dimuliakan dalam perut yang kenyang, bukan dalam wajah yang muram oleh kelaparan dan kemiskinan. Luar biasa pikiran dan ide para pendiri bangsa yang telah merumuskan Pancasila dan Pembukaan UUD 1945, yang menunjukkan arah dan orientasi perjuangan.

Namun, dalam perkembangannya, ide-ide besar Pancasila dan Mukadimah UUD 1945 masih sebatas retorika dan jargon yang hanya membentuk kesadaran palsu dan sama sekali tidak menggerakkan tindakan nyata.

Namun, jauh lebih hebat lagi bagaimana mendapatkan makanan itu. Maka, kemandirian dan kedaulatan pangan diperjuangkan. Tidak gampang mengapai semua itu.

Bagi kelompok miskin yang baru berupaya mengapai kemajuan, makan memang sangat penting, tetapi jauh lebih penting bagaimana mengelola rasa lapar.

Persoalan makan dan kelaparan menjadi enteng jika semua orang mengembangkan semangat persaudaraan, persahabatan dan pertolongan, yang mengacu pada spiritualitas keagamaan. (rikard Bagun)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/07/01375167/mulai.dari.sila.keadilan

No comments: