Friday, November 28, 2008

Menolong Bos Yes, Menolong Rakyat No!

Rabu, 19 November 2008 | 14:00 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: "Masak, Bakrie hanya sedikit dibantu satu-dua hari tidak boleh. Tidak ada diskriminasi. Itu terlalu kecil bantuannya kalau hanya minta tolong diawasi jika dibanding yang lain," ujar Wakil Presiden Jusuf Kalla seperti ditulis Koran Tempo, 15 November 2008. Pernyataan itu sekaligus sebuah pengakuan bahwa pemerintah benar-benar telah menolong PT Bumi Resources, salah satu bagian Grup Bakrie, dari kebangkrutan.

Dalih nasionalisme pun dilontarkan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk membenarkan tindakan tersebut. Logika yang dipakai adalah Grup Bakrie merupakan perusahaan nasional, maka wajar dibantu, apalagi korporasi tersebut juga merupakan pembayar pajak di negeri ini. Mungkin Wakil Presiden lupa bahwa bukan kali ini saja pemerintah "menolong" Grup Bakrie. Saat Lapindo, yang merupakan bagian dari Grup Bakrie, mengalami konflik dengan penduduk lokal Sidoarjo akibat semburan lumpur panas, pemerintah juga dengan sigap menolongnya.

Di saat ribuan warga Sidoarjo terusir dari tempat tinggalnya dan hidup dalam kondisi lingkungan yang buruk akibat semburan lumpur Lapindo, pemerintah dengan cepat mereduksi persoalan ganti rugi yang harus ditanggung oleh Lapindo menjadi sekadar jual-beli aset fisik korban. Akibatnya, kerugian warga yang berupa meningkatnya biaya kesehatan akibat semburan lumpur Lapindo tidak masuk hitungan. Padahal fakta di lapangan menunjukkan semburan lumpur panas itu telah berdampak buruk bagi lingkungan hidup dan kesehatan.

Akhir Agustus lalu, beberapa korban lumpur Lapindo mendatangi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk melakukan mediasi dengan Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, yang juga Dewan Pengarah dari Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Dengan disaksikan oleh anggota Komnas HAM dan beberapa wartawan, korban Lapindo mengeluhkan buruknya kondisi lingkungan hidup dan kesehatan setelah semburan lumpur panas muncul di Sidoarjo. Polusi udara dan sulitnya air bersih adalah bagian yang dikeluhkan warga pada saat itu. Menurut penuturan korban Lapindo, beberapa warga, bahkan anak balita, pun telah menjadi korban buruknya kondisi lingkungan hidup di kawasan Porong, Sidoarjo.

Pada saat itu Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto berjanji akan menindaklanjuti keluhan warga korban Lapindo atas buruknya kondisi lingkungan hidup, di antaranya dengan memberikan air bersih. Namun, hingga tulisan ini dibuat, janji itu belum terwujud. Bahkan, dalam sebuah diskusi di Jakarta beberapa waktu yang lalu, salah satu anggota komisioner Komnas HAM, Ridha Saleh, mengatakan hasil mediasi tersebut di lapangan adalah nol besar alias tidak dilaksanakan.

Bayangkan, setelah Lapindo "dibebaskan" dari mengganti rugi dampak buruk lumpur panas bagi lingkungan hidup dan kesehatan, pemerintah pun enggan melaksanakan hasil mediasi dengan korban Lapindo untuk menyediakan air bersih bagi korban Lapindo.

Bukan itu saja kenikmatan yang diperoleh salah satu bagian Grup Bakrie tersebut. Sebelumnya, pemerintah juga, tanpa merasa bersalah, mengambil miliaran rupiah uang rakyat yang ada di APBN untuk ikut merehabilitasi infrastruktur dan kerugian publik lainnya di luar peta dampak yang seharusnya tak menjadi kewajiban pemerintah. Kucuran uang rakyat itu 100 persen gratis karena tidak ada kewajiban bagi Lapindo untuk menggantinya di kemudian hari.

Bahkan, jika dirunut ke belakang, pertolongan pemerintah kepada Lapindo itu telah ada jauh sebelum muncul semburan lumpur. Bagaimana tidak, Peraturan Daerah Mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sidoarjo Tahun 2003-2013 sebenarnya dengan jelas menyatakan bahwa kawasan Porong, khususnya wilayah Siring, Renokenongo, dan Tanggulangin, adalah wilayah permukiman dan budidaya pertanian. Namun, dengan berbagai argumentasi yang seakan-akan ilmiah dan masuk akal, RTRW Kabupaten Sidoarjo itu pun dilanggar. Izin untuk melakukan eksplorasi pertambangan di kawasan padat penduduk pun dikeluarkan. Akibatnya, bukan gas yang keluar, melainkan justru semburan lumpur panas yang muncul. Di saat semburan lumpur semakin besar dan dampak lingkungan semakin luas, dengan tanpa merasa bersalah pemerintah kembali menggelar karpet merah bagi Lapindo.

Dari uraian di atas, dengan jelas terlihat perbedaan perlakuan yang dilakukan pemerintah terhadap Grup Bakrie di satu sisi dan terhadap rakyat jelata di sisi lainnya. Begitu mudahnya tangan pemerintah diulurkan untuk menolong Grup Bakrie, namun begitu sulitnya tangan yang sama terulur untuk menolong rakyatnya yang menjadi korban lumpur Lapindo di Sidoarjo. Padahal korban Lapindo seharusnya lebih pantas mendapat pertolongan daripada sebuah korporasi yang telah bergelimang kekayaan. Kini korban Lapindo masih hidup di pengungsian dan rumah-rumah kontrakan, sementara pemilik korporasi yang ditolong pemerintah itu tetap tinggal dengan nyaman di rumah mewah dengan segala fasilitasnya.

Kebijakan pemerintah yang telah menolong Grup Bakrie untuk kesekian kalinya ini tak lebih merupakan ketidakadilan yang dipertontonkan kepada 200 juta lebih rakyat Indonesia secara telanjang. Sebagai rakyat yang memiliki kedaulatan di negeri ini, tentu kita harus bersikap atas hal itu. Pada Pemilu 2009, pejabat yang menjadi aktor ketidakadilan tersebut sudah saatnya tidak diberi kesempatan lagi memimpin negeri ini. *

Firdaus Cahyadi, pengamat lingkungan hidup, tinggal di Jakarta

http://www.tempointeraktif.com/hg/kolom/2008/11/19/kol,20081119-43,id.html

No comments: