Wednesday, October 8, 2008

"Nyinden" dan "Nyiter" untuk Bertahan Hidup

Urbanisasi

KOMPAS/SRI REJEKI / Kompas Images
Kelompok penyinden membawakan tembang-tembang Jawa di depan rumah makan Pecel Solo di Jalan Dr Supomo, Solo, Selasa (7/10). Dalam mengamen, mereka menggunakan siter, gendang, serta gong.
Kamis, 9 Oktober 2008 | 03:00 WIB

Oleh Sri Rejeki

”Kowe nangis yo? Wis ojo nangis,” hibur Kamiyem (50) kepada Sriyatun (40) yang tiba-tiba merebak air matanya saat mengingat setiap hari harus tidur berjejal dengan sesama pengamen musik tradisional.

"Enggak, aku enggak nangis. Aku ini pilek,” kata Sriyatun mencari alasan sambil mengalihkan wajahnya dari tatapan orang-orang di sekitarnya.

Sebelumnya, sambil sesekali melempar senyum, Sriyatun menceritakan kisah hidupnya kepada Kompas. Sriyatun, perempuan asal Ngawi, Jawa Timur, sudah sekitar 20 tahun menjadi pesinden keliling, termasuk di Kota Solo, Jawa Tengah. Empat tahun terakhir, ia bersama empat rekannya, Pawirorejo (83), Kamiyem, Marjuki (60), dan Zainah (80), menjadi ”musisi” tetap yang mangkal di depan rumah makan Pecel Solo di Jalan Dr Supomo, Solo.

Sekilas pandang saja, kelompok tua-tua ini menjadi bagian wajah Solo dan tradisi Jawa yang ngelangut dan antik itu.

Penghasilan kelimanya dengan mengamen sejak pukul 10.00 sampai pukul 15.00 atau 16.00 dirasakan lumayan. Dalam sehari setidaknya masing-masing bisa membawa pulang Rp 20.000.

Dengan makan siang disediakan oleh rumah makan Pecel Solo, menurut Sriyatun, setiap hari ia bisa menyisihkan Rp 7.000 setelah mengeluarkan uang untuk makan dan kebutuhan sehari-hari lainnya. ”Jika uang sudah terkumpul cukup banyak, saya bawa pulang. Uangnya untuk jajan anak, bayar sekolah, dan ongkos bolak-balik ke kampung dari Solo,” kata Sriyatun di tengah petikan suara siter dan lantunan rekannya menyinden.

Saat pengunjung rumah makan sangat ramai dan murah hati, masing-masing bisa membawa Rp 75.000 dalam sehari, seperti saat Lebaran kemarin.

Menjadi pesinden awalnya ”kecelakaan” bagi Sriyatun. Ia sebelumnya buruh tani tebu. Lalu, ia diajak temannya ke Jakarta. ”Eee ... bukan kerja di Jakarta, malah diajak jadi sinden keliling di Pacitan. Pernah juga saya mengamen di Ngawi. Tapi, di sana sepi. Jadi, kami pindah ke Solo,” ujar Sriyatun yang kini fasih mendendangkan tembang Jawa Caping Gunung, Ali-ali, dan banyak lagi lagu yang mengiris hati.

Hal serupa dialami Marjuki. Sudah 40 tahun ia mengamen. Keahliannya bermain gendang. Agar mengirit biaya, ia dan rekan-rekannya sesama pengamen musik tradisional dari Ngawi menyewa sebuah kamar kos di Kampung Pringgading, Kelurahan Stabelan, Kecamatan Banjarsari, Kota Solo. Kamar kos berukuran 5 x 4 meter itu tidak jarang ditempati 14 orang sekaligus, paling sedikit 4-6 orang.

Biaya sewanya, menurut Sriyatun, Rp 1.500 per hari dan hanya dibayarkan bila menginap di kamar itu. ”Teman-teman dari Ngawi berasal dari Brangkal, Geneng, Munggut, dan Dungprau. Kami semua sudah seperti saudara, saling bantu bila ada kesulitan. Tapi, soal utang, ya, tetap harus bayar,” katanya.

Rekan-rekannya sesama pengamen musik tradisional mangkal di rumah makan di Sumber, Loji Wetan, dan Gading. Bagi Marjuki, mengamen menjadi pekerjaan paling menjanjikan. Marjuki pandai menabuh gendang setelah rajin memerhatikan orang bermain gendang. Sebelum mengenal dunia musik, ia adalah petani singkong dengan penghasilan tak menentu. ”Belum tentu setahun sekali bisa panen. Kalau mengamen begini, sehari saya bisa dapat penghasilan yang cukup buat beli sekeranjang telo,” kata Marjuki.

Demikian pula dengan Kamiyem. Ibu rumah tangga ini belajar menyinden saat bergabung dengan perkumpulan ibu-ibu PKK di kampung tempat tinggalnya di Joyotakan, Solo. Saat ketiga anaknya masih kecil, ia menyambi membuat keset. Pernah pula ia berjualan pecel, bakmi, dan lotis untuk menambah penghasilan keluarga.

”Ada seorang kenalan yang kemudian mengajak saya mengamen. Katanya hasilnya lumayan untuk tambah-tambah membayar uang sekolah anak,” kata Kamiyem, ibu tiga anak.

Bagi Kamiyem yang tidak pernah mengecap bangku sekolah, melakoni diri sebagai pesinden jalanan memberi hasil yang cukup lumayan buat ekonomi keluarganya. Dalam kondisi tak memiliki keterampilan khusus, Kamiyem juga tak punya banyak pilihan menjalani profesi yang diinginkannya.

”Saya tidak punya keterampilan apa-apa. Tidak punya ijazah. Mau kerja di pabrik sudah tidak ada yang mau pakai tenaga saya karena sudah tua,” papar Kamiyem dalam balutan kebaya brokat hijau dan kain batik lengkap dengan konde di kepala.

Pawirorejo awalnya pembuat siter. Lama-kelamaan ayah enam anak ini malah menjadi pengajar instrumen siter. ”Lha saya juga tidak tahu, banyak orang bule datang ke sini minta diajari main siter,” kata Pawirorejo. Kerja di proyek bangunan seperti saat muda tak mungkin lagi, sedangkan pesanan siter sebulan paling 3-4 buah.

”Harga siter saya itu Rp 500.000-Rp 800.000,” kata lelaki tua yang tinggal di Kampung Sambeng, Kelurahan Mangkubumen, Solo, itu.

Sriyatun dan teman-teman sepuhnya itu niscaya tak sekadar mencari sesuap nasi. Mereka menghibur para pencinta pecel di rumah makan itu sembari memperpanjang usia tradisi sastra dan karawitan Jawa....

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/10/09/03021155/nyinden.dan.nyiter.untuk.bertahan.hidup


No comments: