St Sunardi
Dalam salah satu cerpennya, Surga Anak-Anak, novelis nobelis Mesir, Najib Mahfûz, menggambarkan bagaimana agama yang gagap menghadirkan dirinya dalam masyarakat modern. Rasa gagap ini berakhir tragis: agama digugat oleh anak-anak.
Agama—yang diwakili oleh sang ayah—belingsatan: seolah-olah mampu, padahal tak berdaya mempertanggungjawabkan kekuasaannya.
Karena kehabisan kata-kata, sang ayah berusaha menunda persoalan: ”Engkau masih kecil, sayang; nanti kalau kau sudah besar, engkau akan mengerti …” atau ”Tidakkah kau sabar, sayangku, menunggu sampai engkau besar?”
Seandainya sang anak mengikuti nasihat ayahnya, pengertian agama macam apa yang sedang menanti saat anak menjadi dewasa? Pengertian agama yang bikin sang ayah panik atau pengertian yang bisa membebaskan sang anak dari garis batas yang ditarik atas nama agama? Pengertian agama yang diajarkan di kelas dan mimbar-mimbar atau pengertian agama yang didapatkan lewat praktik kehidupan? Wallahualam!
Sayang bagi sang ayah: jawaban-jawaban semi-standar yang diberikan sang ayah pada waktu itu tidak memuaskan si kecil. Apalah artinya bagi si kecil jawaban sang ayah atas pertanyaan-pertanyaan tentang Allah (”Lalu Allah itu siapa, ayah?”, ”Allah itu hidup di mana, ayah?”), tentang nabi, tentang kematian (Mengapa kita tidak terus tinggal di dunia saja?), tentang moral, kalau semuanya itu tidak menjadi pendorong bagi sang anak untuk bersahabat dengan siapa saja?
Oleh karena itu, sang anak bersikeras dengan jawabannya sendiri—bukan jawaban yang sudah terlembaga, melainkan jenis jawaban praktis: ”Pokoknya saya ingin terus-menerus bersama Nadiya! […] Juga pada pelajaran agama”. Inilah suara sang anak, suara sang ayah yang dititipkan pada sang anak, suara penulis cerpen, dan barang kali juga suara kita para pembaca cerpen itu. Barang kali ini juga suara agama!
Regim dalam diri
Itulah gambaran agama yang menyerah pada (terkadang malah memperebutkan) lembaga-lembaga modern (dalam kasus ini lembaga pendidikan modern). Birokrasi masyarakat modern yang semestinya dikritisi terus-menerus supaya mempunyai daya refleksivitas justru sering kali diperebutkan karena lembaga-lembaga itu memang cocok untuk mereproduksi kekuasaannya terus-menerus. Hasilnya? Saya sebut tragis karena agama mengira bahwa agama berhasil menghadirkan dirinya dalam sistem masyarakat modern, padahal cara kehadirannya seperti itu bukannya tanpa masalah. Spesialisasi masyarakat modern dengan halus menjadi legitimasi ampuh untuk memisahkan anak-anak.
Dari dialog dalam Surga Anak-Anak kita menangkap adanya sejenis regim yang membuat orang sulit meninjau ulang kekuatan agama yang kita butuhkan pada zaman ini. Regim itu tidak berada di sana, melainkan di sini, tidak berada dalam kitab, tetapi diinskrikpsikan dalam pikiran kita. Regim inilah yang membuat sang ayah—seperti saya katakan di atas—tiba-tiba belingsatan menghadapi berbagai pertanyaan sang anak.
Regimlah yang memiliki kekuatan mengekslusikan, kekuatan membuat garis demarkasi pada berbagai level kehidupan. Islam dan Kristen hanyalah salah satu contoh hasil dari eksklusi produksi regim tersebut.
Regim apakah gerangan ini? Kalau Marx mengatakan, begitu lahir kita sudah berada dalam hubungan sosial yang tak adil, di sini kita bisa mengatakan bahwa begitu lahir kita sudah berada dalam hubungan sosial yang terkotak-kotak oleh regim itu.
Itulah regim yang sedang ditinjau ulang dalam cerpen Mahfudz tadi agar ia menampakkan dirinya dan demikian juga agar wilayah kehidupan manusia yang direpresi oleh regim itu terdengar jeritannya. Dengan cara inilah, menurut hemat saya, sastra berfungsi untuk terus-menerus menemukan kembali kekuatan spiritualnya dan mencoba melakukan fiksionalisasi bentuk-bentuk yang dibutuhkan oleh kekuatan spiritual tersebut. Jadi, spiritualitas adalah nama bagi sejenis pembebasan manusia. Selama ini, spiritualitas ini dikaitkan dengan lingkungan keagamaan. Namun, seperti akan kita lihat, mengaitkan spiritualitas hanya dalam lingkungan keagamaan juga bisa menjadi sejenis monopoli.
Mengingat besarnya potensi regim ini dalam menciptakan kekuasaan yang tiranis, tidak mengherankan Mahûz menempatkan persoalan akidah menjadi satu di antara tiga alasan mengapa dia menciptakan karya-karyanya.
Dua persoalan lainnya adalah politik (al-siyâsa) dan seks (al-jins). Tiga tema inilah, menurut pengakuannya, tidak pernah absen dalam karya-karyanya. Pendapatnya ini pasti bukanlah sebuah preskripsi untuk menulis karya sastra.
Pendapat ini lahir dari seorang Mahfûz yang hidup dalam suatu masyarakat di mana masalah seks, politik, dan akidah menjadi instrumen paling ampuh untuk mengatur gerak-gerik individu baik dalam rumah maupun di luar rumah.
Dunia seks, politik, dan akidah dibahas sedemikian rupa supaya dunia ini bisa menampakkan sisi-sisi lainnya (seperti afrodisia, power, spirit) dan tidak semata-mata menampakkan regim yang mengatur belaka.
Di antara karya paling menarik yang mengangkat tema seks-politik-akidah secara bersamaan tentu saja adalah Trilogi-nya yang ditulis pada tahun 1956 dan 1957. Dalam karya ini kita bisa menyaksikan bagaimana keluarga (pelembagaan seks), negara (pelembagaan kekuasaan politik), dan agama (pelembaga akidah-spiritual) saling tumpang-tindih memperebutkan individu-individu untuk menjadi obyek pengaturan.
Dalam novel ini kita melihat berbagai jenis spiritualitas, seperti spiritualitas ”bisu” yang dihayati oleh orang-orang tertindas dan kalah seperti ibu rumah tangga maupun spiritualitas artikulatif sebagaimana terdengar di kalangan orang-orang terpelajar yang mempunyai kompetensi untuk menyuarakannya dalam masyarakat.
Diwakili oleh tokoh Aminah, dalam spiritualitas jenis pertama secara sepintas kita mengira bahwa orang jenis ini hanya patuh secara buta menjalankan perintah-perintah agama sebagaimana direpresentasikan dalam diri sang suami Ahmad Abdul Jawâd.
Ternyata tidak. Mereka mempunyai caranya sendiri untuk ”membangkang”, untuk mengatasi berbagai kontradiksi perintah. Spiritualitas ini mirip dengan yang ada di lingkungan Katolik di mana banyak orang berdevosi pada Bunda Maria.
Jenis spiritualitas yang lebih artikulatif diwakili oleh Kamâl. Dalam jenis ini, spiritualitas tidak hanya terkait dengan agama. Seperti saya sebut di atas, karena keluarga, politik, dan agama saling tumpang-tindih dalam membangun regim, spiritualitas dalam agama bersuara senada dengan suara pembebasan dalam keluarga dan politik. Setiap bidang seakan memiliki spiritualitasnya masing-masing.
Jadi sastra bisa menjadi bentuk bahasa untuk menyuarakan spiritualitas dalam arti bahwa sastra membiarkan kekuatan spiritual terus bergerak dari ancaman regim dalam berbagai bentuknya. Lewat salah satu aforisme dalam autobiografinya, Mahfûz menggarisbawahi aspek dinamis spiritualitas ini dengan: ”Shaikh Abd-Rabbih al-Ta’ih berkata: ’Orang-orang datang pada saya dan mengatakan bahwa mereka memutuskan untuk terus diam sampai akhirnya mereka menemukan makna kehidupan’. Saya berkata pada mereka: ’Teruslah bergerak tanpa henti karena makna kehidupan ini tersembunyi dalam gerak’”.
Sastra imanensi manusia
Berangkat dari cerpen Surga Anak-Anak yang mengambil tema pendidikan agama dalam masyarakat modern dan dilanjutkan pengamatan singkat atas sejumlah karya Mahfûz, saya bisa menyimpulkan bahwa sastra mempunyai kekuatan spiritualitas justru karena sastra menyuarakan imanensi manusia (batas-batas kemanusiaan) dan bukannya melantunkan ”suara dari langit”.
Spiritualitas berkaitan dengan suara manusia yang terus-menerus mencari dan mencari yang lain. Malah, nuansa spiritual tidak mesti terkait langsung dengan agama. Dalam konteks ini sastra malah mempunyai caranya sendiri untuk mendefinisikan dan meredifinisikan apa itu ”spiritualitas”.
Berkaitan dengan ini tidak mengherankan kalau Umberto Eco dalam artikelnya ”The Sacred Is Not Just a Fashion” menyoroti spiritualitas (dia memilih istilah The Sacred) di wilayah-wilayah yang oleh kebanyakan orang disebut wilayah- wilayah sekuler. Pengalaman akan Yang Kudus atau spiritual tidak mesti merupakan pengalaman di wilayah yang selama ini disebut religius atau keagamaan oleh suatu regim seperti saya jelaskan di atas.
Maksudnya, spiritualitas atau pengalaman akan The Sacred cenderung menamai dirinya sendiri, tidak diimposisi oleh suatu regim dari luar. Kekuatan menamai sendiri inilah yang kita butuhkan dari bentuk tulisan yang kita sebut sastra.
Oleh karena itu, dengan tenang Eco juga bicara tentang secular mystics. Peringatan Eco ini pasti menarik dipertimbangkan di masyarakat kita di mana pembedaan biner, sekuler/religius masih bisa menjadi senjata ampuh untuk apa saja.
ST SUNARDI Pengajar Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
No comments:
Post a Comment