KOMPAS/SOELASTRI SOEKIRNO / Kompas Images Industri kecil pembuatan tempe di Kelurahan Sirnagalih, Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang, berdenyut lagi sejak harga kedelai turun menjadi Rp 5.800 sampai Rp 6.000 per kilogram. Seorang perajin, Senin (20/10), menata tempe setengah jadi. |
Sarie Febriane
Matahari baru saja tergelincir. Aktivitas hidup manusia tentunya sedang giat-giatnya berlangsung. Namun, tidak di sentra perajin penganan rakyat ini. Produksi sudah selesai. Meski matahari tengah terik-teriknya, mendung bergayut di wajah para pejuang tahu dan tempe ini.
”Beginilah, biasanya magrib baru selesai. Sekarang lohor saja sudah kelar,” kata Wardi (48), sembari menyikat tahang, wadah kayu penampung bubur tahu.
Wardi, pria asal Pekalongan Jawa Tengah, itu adalah satu dari ratusan perajin tahu dan tempe skala mikro dan kecil di Kelurahan Tegal Parang, Jakarta Selatan. Meski harga kedelai tengah turun dan subsidi dari pemerintah masih berjalan, gairah usaha mereka tampak jelas melesu.
Penurunan harga dan subsidi kedelai tak juga mengoreksi iklim usaha mikro para perajin tahu dan tempe menjadi lebih bergairah. Kapasitas produksi kian merosot. Padahal, segala akrobat telah dilakukan. Minyak tanah diganti kayu bakar. Listrik dihemat. Buruh harian dikurangi.
Senang dengan turunnya harga kedelai? Wardi tersenyum tipis. Tanpa mengeluh, dia menjawab. ”Harus disyukuri, masih bisa produksi. Masih sisa empat pegawai dari delapan orang yang pernah ada,” ucap Wardi.
Pengurus Prima Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Primkopti) Swakerta Jakarta Barat Handoko Mulyo menerangkan, saat ini harga kedelai di pasaran sebesar Rp 5.800-Rp 6.200 per kilogram. Turun sekitar Rp 1.000 per kg dari sebelumnya Rp 6.500-Rp 7.500 per kg.
Dulu, ketika kedelai masih di kisaran Rp 480.000 per kuintal (awal tahun 2008), Wardi mampu mengolah 2 kuintal kedelai per hari. Namun, ketika harga kedelai meroket hingga mencapai lebih dari Rp 700.000 per kuintal, Wardi dan ratusan pedagang lain kolaps. Demonstrasi digelar. Kebijakan dadakan dibuat. Kedelai disubsidi Rp 1.000 per kg dan akan berakhir pada pengujung tahun 2008 ini.
Untuk wilayah Jakarta saja dibutuhkan sedikitnya 5.000 ton kedelai setiap minggu. Ribuan ton kedelai itu diolah menjadi tahu dan tempe oleh sekitar 4.500 perajin di Ibu Kota ini.
Saat ini perajin menebus kedelai subsidi di harga Rp 500.000 per kuintal. Namun, kapasitas produksi para perajin tahu dan tempe hingga saat ini sudah merosot lebih dari 50 persen. Wardi, misalnya, kini hanya sanggup mengolah 80 kg kedelai setiap hari.
Lain lagi nasib Suwarno (48). Di tengah kondisi suram itu, tempat usaha tahunya—yang sudah dirintis 25 tahun—habis terbakar dua pekan lalu. Salah satu penyebabnya, kayu bakar yang menumpuk di pabriknya menyempurnakan ”pembakaran” tersebut.
”Kami ganti kayu bakar karena minyak tanah sudah tidak terjangkau. Pakai gas mimpi sajalah. Kayu bakar pun kami beli, tidak gratis,” kata Surani (35), adik ipar Suwarno. Tak dapat dipastikan kapan usaha Suwarno dapat berdiri lagi.
Siasat wong cilik
Sebagai gambaran, selain kedelai, komponen produksi tahu setiap kelompok perajin adalah kayu bakar Rp 700.000 per satu mobil bak. Sewa diesel untuk menggiling kedelai Rp 40.000 per kuintal. Solar Rp 6.500 per liter, sewa tempat kisaran Rp 450.000 per bulan, listrik Rp 250.000 per bulan per kelompok. Upah pegawai rata-rata Rp 15.000 per orang.
Dengan demikian, subsidi kedelai seolah seperti gula-gula sesaat bagi para perajin untuk bertahan. Sementara beban komponen produksi lainnya dipanggul mereka sepenuhnya. Dengan segala kecerdikan bersiasat khas wong cilik.
Soal solar, misalnya. Para perajin kini terpaksa membeli solar di atas harga resmi. Penyebabnya, petugas di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum menolak perajin tahu dan tempe yang hendak membeli solar dengan jeriken. ”Harus ada izin. Macam-macam syaratnya. Kami mentok,” kata Sutarno (37), perajin tahu lainnya.
Akhirnya, para perajin saat ini titip beli pada truk atau bus yang mengisi solar (Rp 5.500 per liter) di SPBU. Baru kemudian, perajin menyedot solar dari tangki BBM bus atau truk tersebut. Dengan cara ini, solar terpaksa ditebus perajin seharga Rp 6.500 per liter.
Bagi Cahyoto (49), perajin tempe di Jalan N, Haji Ung, Kelurahan Utan Panjang, Jakarta Pusat, iklim usaha para perajin akan membaik lebih signifikan jika harga kedelai turun di kisaran Rp 3.000 per kg. Setidaknya, harga itu untuk kompensasi ongkos komponen produksi lainnya yang sudah sulit disiasati begitu rupa.
Cukup untuk makan
Meski kondisi belum menjanjikan, dibayangi rasa waswas, para pejuang tahu dan tempe ini tetaplah bersyukur. Begitu juga yang dirasakan para perajin tempe di Kelurahan Sirnagalih, Kecamatan Neglasari, dan Kelurahan Koang Jaya di Kecamatan Karawaci, keduanya di Kota Tangerang. Mereka merasa, setidaknya bisa bernapas lagi setelah sempat tercekik saat harga kedelai meroket tanpa ampun.
Perajin tempe, Riadi dan Tarmuji, misalnya, mengaku masih bisa meraih untung tipis dengan memproduksi 40 kg kedelai menjadi 320 lonjor tempe. Ukuran cukup bagi para perajin tahu dan tempe ini adalah, ”Cukup untuk bayar pegawai, listrik, dan makan sekeluarga,” kata Kartono, perajin tempe asal Pemalang yang menjadi ketua kelompok perajin tempe di Koang Jaya.
Kendati harga kedelai mulai turun, para perajin khawatir harga akan naik lagi. Terlebih, Amerika Serikat—negara asal kedelai yang mereka olah—tengah krisis finansial.
Di tengah kondisi yang dibayangi ketidakpastian ini, setidaknya masih ada satu hal yang pasti. Tiada lain, kesetiaan para perajin, yang masih terus tekun memproduksi penganan sumber protein rakyat paling terjangkau saat ini.
”Bikin tempe adalah takdir saya,” kata Robin (61), perajin tempe di Tegal Parang, sejak 40 tahun lalu. (NEL/TRI)
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/10/21/00181926/kesetiaan.pejuang.tahu.dan.tempe
No comments:
Post a Comment