KOMPAS/WISNU WIDIANTORO / Kompas Images Aktivitas warga bantaran Sungai Ciliwung di kawasan Bukit Duri, Jakarta Selatan, Selasa (20/1). Bagi mereka, setiap musim hujan, banjir bukan lagi sebuah ancaman. |
Oleh M Zaid Wahyudi
Banjir tak selalu identik dengan bencana yang membawa penderitaan. Kejadian yang terus berulang tanpa penyelesaian tuntas dari pemerintah malah melahirkan sikap adaptif untuk berdamai dengan keadaan.
Bagi warga Bukit Duri, Jakarta Selatan, dan Kampung Pulo, Kampung Melayu, Jakarta Timur, banjir bukanlah peristiwa istimewa. Setiap tahun, saat hujan mencapai puncaknya antara Januari dan Februari, mereka sudah mengamankan barang-barang berharga ke tempat yang lebih tinggi.
”Kalau banjir mau datang, silakan saja…. Kami sih tidak kaget, tenang-tenang saja,” kata Hasan (36), warga RT 6 RW 12 Bukit Duri, Selasa (20/1).
Akibatnya, rutinitas sesaat menjelang puncak musim hujan bukan lagi menjadi hal yang melelahkan. Memindahkan aneka perabotan kayu dan alat elektronik ke lantai dua atau menyiapkan makanan instan untuk mengantisipasi jika terisolasi banjir adalah sebagian kegiatan yang harus dilakukan sebelum banjir.
Hal serupa diungkapkan Nanang (30), warga Kampung Pulo, RT 15 RW 02 Kampung Melayu, yang tinggal di bantaran Ciliwung. Saat banjir datang, tak ada yang bisa diperbuat warga untuk mencegahnya. Warga hanya bisa bersiaga agar banjir tak sampai menimbulkan kerugian jiwa dan materi.
Upaya yang dilakukan adalah membangun sistem peringatan dini terkait akan datangnya banjir. Di sejumlah pos RT maupun dinding rumah warga di Bukit Duri dan Kampung Pulo dipasang papan pengumuman tentang ketinggian air di Bendung Katulampa dan Pos Pemantau Air Ciliwung di Depok, yang terus diperbarui dalam rentang waktu tertentu. Para ketua RT di wilayah yang rawan banjir itu umumnya juga dibekali dengan radio komunikasi untuk memudahkan penyebaran informasi tentang ancaman banjir.
Meski demikian, masih banyak warga yang tak peduli dengan banjir saat air bah itu benar-benar melanda perkampungan mereka. Menurut Widodo (29), pemuda yang biasa membantu evakuasi warga, sebagian masyarakat enggan mengungsi meski banjir sudah hampir menenggelamkan seluruh permukiman dan mengisolasi rumah mereka. Padahal, persediaan makanan dan minum mereka belum tentu mencukupi hingga banjir usai.
Selain membangun rumah bertingkat hingga tiga lantai, strategi adaptasi lain dari warga Bukit Duri adalah dengan menempatkan berbagai barang elektronik milik mereka di tempat yang tinggi. Lemari es yang umumnya diletakkan di atas lantai, ditaruh di atas meja setinggi 1 meter di atas lantai.
Lucia Ken Ayu MP dari kelompok pemberdayaan masyarakat Sanggar Ciliwung Merdeka mengakui, sebagian besar warga Bukit Duri dan Kampung Pulo yang tinggal di bantaran Ciliwung adalah warga pendatang ilegal. Mereka umumnya bekerja sebagai pedagang maupun buruh di kawasan niaga Jatinegara. Mereka menggantikan sebagian penduduk asli kedua kampung yang tak tahan dengan bencana yang terus berulang dan memilih pindah ke sejumlah daerah penyangga Jakarta, seperti Bekasi atau Depok.
Upaya masyarakat berdamai dengan banjir memang tak akan mampu mencegah banjir yang terjadi. Beberapa kelompok masyarakat mulai mencoba mengurangi dampak banjir dengan menanam sejumlah tanaman di bantaran sungai yang tersisa atau mengolah sampah masyarakat yang tak tertangani oleh pemerintah.
Lahan ilegal
Sebagian masyarakat yang tinggal di bantaran Ciliwung menyadari bahwa mereka tinggal secara ilegal di lahan terlarang. Namun, untuk mencari alternatif tempat tinggal lain bukan perkara mudah. Warga yang umumnya berprofesi sebagai pedagang itu membangun rumah di Kampung Pulo atau Bukit Duri karena lokasinya berdekatan dengan kawasan niaga Jatinegara.
Menurut Lucia, pembangunan permukiman baru yang mengokupasi daerah aliran sungai marak terjadi sejak tahun 2000. Lebar Ciliwung yang membelah Bukit Duri dan Kampung Pulo yang semula 14 meter kini hanya tersisa 8 meter. Kondisi ini selaras dengan pantauan Ekspedisi Kompas Ciliwung 2009 dari tengah Ciliwung. Selepas jembatan Kampung Melayu hingga Pintu Air Manggarai, terjadi penyempitan sungai secara masif di sejumlah tempat membuat lebar sungai tinggal 8 meter.
Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane Pitoyo Subandrio mengatakan, lebar Ciliwung seharusnya 30 hingga 45 meter plus bantaran sungai 10 hingga 15 meter. ”Banyak pihak yang menyebut warga korban banjir telah bersahabat dengan banjir. Sebenarnya, mereka bukan akrab dengan banjir, tetapi malah sengaja mendatangi banjir,” ujarnya.
Dosen Sosiologi Universitas Indonesia, Paulus Wirutomo, mengungkapkan, kecenderungan masyarakat di bantaran sungai memilih untuk bersahabat dengan banjir menunjukkan kemampuan mereka beradaptasi dengan lingkungan. Segala konsekuensi dari pilihan itu telah mereka terima dan dicoba untuk diatasi.
Warga bantaran sungai yang ilegal dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu tinggal sementara atau tinggal untuk menetap.
Mereka yang tinggal sementara umumnya datang dari kampung halaman ke Jakarta mencari penghidupan dengan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk berbagai keperluan di desa. Mereka yang masuk dalam kategori ini umumnya memiliki kepedulian untuk memperbaiki kualitas hidup dan mengatasi banjir.
”Bagi warga di bantaran sungai, tinggal di atas sejengkal tanah di Jakarta sudah merupakan perjuangan besar. Asalkan bisa tetap punya uang, mereka siap hidup dengan serba minimal. Risiko itu tidak besar karena mereka siap dengan hidup apa adanya,” kata Paulus.
Sementara itu, warga yang berorientasi menetap di bantaran sungai cenderung takut pindah karena tidak ada kepastian hidup setelah pindah. Kondisi itu terjadi akibat ketidakmampuan pemerintah menyediakan hunian layak.
Karena itu, lanjut Paulus, sudah saatnya pemerintah menyiapkan alternatif tempat tinggal yang layak bagi masyarakat.
Pemerintah juga harus tegas dalam menata kota dengan membebaskan permukiman di bantaran sungai agar tata ruang kota tidak semakin hancur.(LKT/WAS/NEL/ELN)
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/01/21/03110242/mereka.telah.bersahabat.dengan.banjir
No comments:
Post a Comment